Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Cyber Handala dan Runtuhnya Mitos Benteng Digital Israel

Published

on

Oleh: Muhlisin Turkan

Ahlulbait Indonesia, 25 Desember 2025 — Selama puluhan tahun, Israel merawat citra dirinya sebagai adidaya siber yang nyaris tak tertembus. Narasi “negara start-up” dipoles sebagai jaminan keamanan dan legitimasi politik: teknologi tinggi dianggap mampu menutup defisit moral dan politik dari proyek pendudukan yang berlarut. Metafora “villa berteknologi tinggi di tengah hutan belantara” terdengar lebih seperti slogan pemasaran ketimbang deskripsi realitas strategis.

Masalahnya, dunia nyata tidak membaca brosur.

Serangkaian operasi kolektif peretas pro-Palestina, Handala, secara sistematis membongkar ilusi tersebut. Yang terungkap bukan benteng digital, melainkan rumah kartu: mengilap dari jauh, rapuh ketika disentuh. Pergeseran Handala dari vandalisme digital menuju ekstraksi intelijen mendalam menandai fase baru, pembongkaran struktural atas klaim keunggulan teknologi Israel yang selama ini dijadikan fondasi legitimasi.

Momen paling memukul datang lewat “Operasi Gurita” pada 17 Desember. Peretasan iPhone 13 milik mantan Perdana Menteri Naftali Bennett, yang berujung pada bocornya sekitar 1.900 percakapan pribadi, bukan hanya mempermalukan klaim keamanan siber negara. Insiden ini memicu skandal politik domestik dan menghidupkan kembali “Qatargate”: tuduhan pemalsuan intelijen serta kebocoran data sensitif demi kepentingan lobi asing.

Beberapa hari kemudian, serangan lanjutan pada 20 Desember mempertegas pesan psikologis Handala. Judul provokatif, “Hari Perhitungan Menanti Para Pembunuh Anak-Anak”, dirancang menembus ruang privat elite politik dan keamanan Israel, memperlihatkan bahwa tekanan tidak lagi berhenti di ranah simbolik.

Alih-alih menunjukkan ketangguhan institusional, respons negara justru menyingkap kepanikan internal. Ketegangan antara Shin Bet dan Direktorat Siber Nasional berubah menjadi saling curiga, sebuah pengakuan implisit bahwa enkripsi tingkat negara pun tak mampu melindungi kepemimpinan yang rapuh oleh intrik politik dan budaya saling menyalahkan.

Handala juga menyasar aktor-aktor teknokratis yang selama ini beroperasi di balik anonimitas: perancang sistem Iron Dome, Arrow, dan David’s Sling. Dengan membocorkan identitas, alamat, dan data pribadi, serta membuka sayembara intelijen, para insinyur ini dipaksa keluar dari zona nyaman. Kebocoran serupa terhadap desainer drone dan ilmuwan nuklir di Pusat Riset Soreq semakin menelanjangi ekosistem militer-teknologi yang minim akuntabilitas.

Kerentanan ini bukan insiden sesaat, melainkan kegagalan kronis masyarakat yang hiper-terhubung secara digital namun rapuh secara struktural. Riwayat peretasan fasilitas air (2020) hingga kebocoran data aplikasi kencan Atraf menegaskan paradoks tersebut: teknologi canggih tidak otomatis menghasilkan ketahanan sipil.

Jejak Handala meluas ke perusahaan yang diduga terkait Unit 8200 dan jalur pendanaan intelijen, serta pembobolan akun figur elite seperti Benny Gantz dan Ehud Barak. Serangan terhadap kontraktor militer, dengan eksfiltrasi puluhan terabyte data, dan temuan backdoor pada perangkat Vidisco memperlihatkan eskalasi dari kebocoran menuju ancaman sistemik.

Ironi kian tajam ketika rilis puluhan ribu email Jeffrey Epstein tanpa sensor ikut mengemuka, menyingkap persilangan gelap antara jaringan keuangan rahasia, teknologi pengawasan, dan kampanye pengaruh global. Klaim keunggulan moral ekosistem intelijen-teknologi Barat runtuh di bawah bobot dokumen-dokumen itu.

Israel selama ini diposisikan sebagai laboratorium teknologi bersenjata: Palestina sebagai subjek uji coba. Raksasa teknologi AS menyediakan infrastruktur AI bagi sistem penargetan otomatis seperti “Lavender”, namun gagal melindungi data dan proyek strategis yang menopangnya. Backdoor dalam proyek seperti Nimbus bukan hanya risiko keamanan, melainkan ancaman langsung terhadap kepercayaan mitra internasional dan investasi global.

Dalam konteks ini, kemunculan cyber-intifada bukanlah anomali, melainkan konsekuensi logis dari ketimpangan ekstrem. Rezim yang menggantungkan kelangsungan hidupnya pada mitos ketangguhan teknologi akan terus goyah ketika retakan internalnya disorot tanpa henti.

Operasi Handala, terlepas dari kontroversinya, memaksa satu kesimpulan tak nyaman: “benteng siber” Israel lebih menyerupai macan kertas. Dan dalam sejarah kekuasaan, macan kertas selalu runtuh saat diuji, terutama ketika ia lupa bahwa dirinya juga berada dalam bidikan. []