Internasional
Derita Tanpa Akhir di Rumah Sakit Gaza Akibat Perang yang Selesai di Atas Kertas
Ahlulbait Indonesia 30 Desember 2025 — Perang rezim Zionis terhadap Gaza secara administratif memang telah berakhir lebih dari dua bulan lalu. Namun seperti banyak keputusan politik yang diumumkan dengan penuh keyakinan dari podium, perang itu rupanya lupa memberi tahu rumah sakit. Di Gaza, sektor kesehatan masih hidup dalam kondisi darurat permanen, seolah gencatan senjata hanyalah jeda iklan, bukan penutup cerita.
Sistem medis Gaza bertahan bukan karena dukungan internasional yang memadai, melainkan karena rasa tanggung jawab moral para tenaga kesehatannya. Rumah sakit dan pusat medis menerima gelombang pasien tanpa henti dalam beberapa pekan terakhir, mulai dari penderita serangan jantung dan hipotermia hingga pasien penyakit kronis yang kondisinya memburuk akibat terputusnya perawatan selama perang. Jika masih ada keajaiban di Gaza, keajaiban itu bernama dokter yang tetap datang bekerja.
Ironisnya, ketika krisis medis mencapai titik kritis, perhatian global justru terpecah. Gaza, seperti biasa, menunggu giliran empati yang tak kunjung tiba.
Sistem Kesehatan yang Dipaksa Bertahan
Di lapangan, sistem kerja shift diperpanjang di tengah kekurangan staf, dokter, dan perawat. Banyak tenaga medis tidak lagi menerima gaji tetap. Yang tersisa hanyalah bonus sesekali, seolah pengabdian pada nyawa manusia dapat dibayar dengan ketidakpastian.
Kerusakan fisik rumah sakit mencerminkan kehancuran sistemik. Dari dua puluh sembilan departemen di Kompleks Medis Al Shifa, rumah sakit terbesar di Gaza utara, hanya tiga yang masih beroperasi sebagian. Sebagian besar bangunan kompleks yang dahulu menjadi tulang punggung layanan kesehatan kini hancur atau terbakar.
Lebih dari dua bulan setelah gencatan senjata dimulai, rumah sakit di Gaza masih menyerupai medan perang. Sektor kesehatan berada di ambang kehancuran dan hanya dapat berfungsi berkat kerja sukarela serta rasa tanggung jawab moral tenaga medis.
Di seluruh Gaza, dokter bekerja di bawah tekanan ekstrem, perawat menjalankan tugas di luar kapasitas mereka, dan pasien mengantre panjang untuk obat obatan yang tidak tersedia atau operasi yang ditunda tanpa kepastian. Tingkat hunian rumah sakit mencapai rekor tertinggi, dengan beberapa departemen beroperasi jauh melampaui batas normalnya.
Tim medis bekerja hampir tanpa apa pun. Obat obatan esensial habis, ventilator terbatas, ruang operasi tidak berfungsi, bahkan tempat tidur menjadi barang langka. Kekurangan suku cadang peralatan medis membuat kerusakan kecil saja cukup untuk menghentikan perawatan puluhan pasien.
Penyakit, Angka, dan Penantian
Sekitar tiga ratus lima puluh ribu orang dengan penyakit kronis sebagian besar tidak menerima perawatan rutin. Selain itu terdapat empat puluh dua ribu orang dengan cedera yang mengubah hidup mereka dan membutuhkan operasi berulang atau rehabilitasi jangka panjang yang tidak tersedia di Gaza.
Lebih dari enam belas ribu pasien membutuhkan evakuasi medis segera. Hampir seribu seratus sepuluh orang meninggal dunia saat menunggu izin keluar untuk mendapatkan perawatan darurat.
Direktur Jenderal Otoritas Kesehatan Gaza, Munir Al Barash, menyatakan stok tiga ratus dua puluh satu jenis obat esensial telah habis. Lebih dari tujuh ratus sepuluh jenis perlengkapan medis lainnya juga tidak tersedia. Layanan gawat darurat dan perawatan intensif beroperasi dengan defisit besar karena hanya sekitar tiga puluh persen kebutuhan medis dasar yang diizinkan masuk ke Jalur Gaza.
Kekurangan ini melumpuhkan layanan rumah sakit dasar. Operasi jantung terbuka, kateterisasi jantung, dan berbagai prosedur rutin ditangguhkan. Hampir seluruh operasi ortopedi tertunda. Layanan dialisis berada di ambang kehancuran, sementara diagnostik laboratorium runtuh dengan lebih dari separuh tes penting tidak lagi tersedia.
Ini adalah sistem yang sedang jatuh bebas, tegas Al Barash. Pernyataan itu terdengar lebih seperti laporan teknis daripada metafora, karena kehancuran memang bekerja tanpa kompromi.
Blokade sebagai Metode
Sementara itu, rezim Israel terus membombardir warga sipil dan memblokir masuknya obat obatan penyelamat nyawa, termasuk obat kanker, insulin, antibiotik, obat jantung, perlengkapan dialisis, dan cairan infus.
Sejak gencatan senjata berlaku pada sepuluh Oktober, sedikitnya empat ratus sebelas orang tewas dan seribu seratus dua belas lainnya terluka akibat serangan lanjutan. Jumlah korban akibat pemblokiran obat obatan sulit dihitung karena kematian yang tertunda jarang tercatat sebagai akibat kebijakan.
Seluruh beban ini ditanggung oleh tenaga medis yang telah lama bekerja melampaui batas fisik dan mental. Menurut Lembaga Bantuan Medis untuk Palestina, sedikitnya seribu tujuh ratus dua puluh dua tenaga medis gugur selama genosida, dan puluhan lainnya masih ditahan di penjara Israel.
Tenaga medis yang tersisa menghadapi pemandangan yang tak seharusnya menjadi rutinitas profesi mana pun. Bayi dan anak anak dengan kehilangan organ, lansia dengan cedera internal parah yang tidak dapat dioperasi, serta kaum muda dengan cedera tulang belakang dan kepala yang mengubah hidup mereka secara permanen.
Kelompok hak asasi manusia dan badan badan PBB menegaskan meskipun bantuan meningkat, rezim Israel terus memblokir pasokan medis dengan dalih kekhawatiran penggunaan lain. Alasan ini terdengar semakin absurd ketika rak rumah sakit kosong dan ruang operasi dibiarkan sunyi.
Direktur Kantor Media Pemerintah Gaza, Ismail al Thawabta, menyatakan ratusan barang vital tetap diblokir. Akibatnya lebih dari lima ratus ribu prosedur medis tertunda. Penundaan pengobatan, menurut dia, sering kali lebih mematikan daripada penyakit itu sendiri.
Sebagian besar bagian dari beberapa rumah sakit kini terpaksa ditutup karena kekurangan anestesi, instrumen bedah, dan bahan bakar. Tanpa akses segera terhadap peralatan tersebut, penutupan total rumah sakit bukan lagi kemungkinan, melainkan urusan waktu.
Penutup
Di Gaza, perang memang diumumkan selesai. Namun di rumah sakit, perang itu tidak pernah benar benar pergi. Perang hanya berganti bentuk, bekerja lebih senyap, dan terus menagih korban, tanpa perlu bom. [HMP/MT]
Sumber: Mizanonline
