Internasional
Perkembangan Tak Lazim di Yaman: Agenda Apa yang Dirajut Israel dan UEA terhadap Arab Saudi
Ahlulbait Indonesia, 31 Desember 2025 — Media Middle East Monitor melaporkan adanya dugaan pakta rahasia antara rezim Israel dan Uni Emirat Arab (UEA) yang bertujuan melemahkan, bahkan menghancurkan, peran Arab Saudi sebagai kekuatan regional utama di Teluk Persia. Sejumlah sumber menyebut bahwa sasaran akhirnya bukan hanya pengaruh politik, melainkan posisi strategis Riyadh di kawasan.
Dikutip dari Kayhan pada Rabu, 31 Desember, perkembangan di wilayah timur dan selatan Yaman bergerak dengan kecepatan yang nyaris melampaui kemampuan diplomasi untuk mengimbanginya. Mulai dari kemajuan pasukan bayaran yang didukung UEA di wilayah-wilayah koalisi, hingga respons keras Arab Saudi melalui serangan udara beruntun, seluruh rangkaian peristiwa ini menunjukkan bahwa kesabaran regional tampaknya telah mencapai batasnya.
Pertanyaan yang diajukan Middle East Monitor pun kembali mengemuka: apa yang sebenarnya berada di balik eskalasi ini? Untuk menjawabnya, krisis Yaman perlu ditarik kembali ke akar sejarahnya.
Krisis tersebut bermula dari gelombang protes Kebangkitan Islam pada 2011, ketika rakyat bangkit melawan pemerintahan Ali Abdullah Saleh, yang berujung pada pengunduran dirinya pada 2012. Kekosongan kekuasaan kemudian diisi oleh Abd Rabbu Mansour Hadi sebagai presiden sementara. Namun, Ansarullah di Yaman utara, yang lama memprotes marginalisasi dan diskriminasi, bersekutu dengan mantan Presiden Saleh dan merebut ibu kota Sana’a pada September 2014. Langkah ini secara signifikan melemahkan pemerintahan Hadi.
Hadi kemudian melarikan diri ke Aden di selatan, tetapi tetap mengklaim legitimasi dan menguasai sebagian wilayah negara. Pada pertengahan 2015, dia meminta bantuan Arab Saudi dan sekutunya. Permintaan tersebut melahirkan koalisi pimpinan Riyadh dan peluncuran operasi militer “Badai Penentu” dengan tujuan memulihkan pemerintahan yang diakui secara internasional. Sejak saat itu, Yaman berubah menjadi medan konflik terbuka yang menyedot energi politik dan militer kawasan.
Di Mana Perbedaan Itu Bermula
Meski Arab Saudi dan UEA sejak 2015 berada dalam satu koalisi melawan Ansarullah di Yaman utara, perbedaan mendasar sebenarnya telah muncul sejak awal perang. Arab Saudi mendorong gagasan Yaman yang bersatu dan mendukung pemerintah pusat melalui Dewan Kepemimpinan Presiden. Sebaliknya, UEA memberikan dukungan finansial dan militer kepada Dewan Transisi Selatan (SCT) yang bersifat separatis, demi memperluas pengaruhnya di wilayah selatan, pelabuhan strategis, dan sumber daya minyak.
Perbedaan orientasi ini semakin mengeras dalam beberapa tahun terakhir, terutama setelah penarikan sebagian pasukan Emirat pada 2020. Sejak itu, Abu Dhabi lebih mengandalkan kekuatan proksi di selatan. Pada bulan ini, pasukan SCT yang didukung UEA dengan cepat merebut Hadramaut yang berbatasan langsung dengan Arab Saudi, serta Al-Mahra yang kaya sumber daya energi. Hampir seluruh wilayah selatan pun jatuh ke tangan mereka.
Bagi Riyadh, kemajuan ini dipandang sebagai ancaman langsung terhadap keamanan nasional. Arab Saudi menuntut penarikan pasukan, tetapi ketika tuntutan itu diabaikan, serangan udara dilancarkan terhadap posisi dan jalur suplai Emirat. Untuk pertama kalinya, laporan-laporan menyebut bahwa dua sekutu utama dalam koalisi Yaman kini terlibat benturan langsung di medan konflik.
Serangan Langsung Arab Saudi terhadap Kapal Emirat
Menurut laporan ISNA, Rashad Al-Alimi, Ketua Dewan Kepresidenan Yaman yang berafiliasi dengan Arab Saudi, menyatakan penyesalan mendalam atas meningkatnya peran UEA dalam mendukung Dewan Transisi. Ia menyebut adanya bukti dan dokumen yang menunjukkan intervensi Abu Dhabi dalam memperburuk ketegangan militer, melemahkan otoritas pemerintah, serta membahayakan persatuan dan integritas wilayah Yaman.
Al-Alimi juga mengumumkan penetapan status darurat nasional selama 90 hari. Dewan Kepresidenan Yaman membatalkan perjanjian pertahanan bersama dengan UEA dan memberlakukan embargo udara serta darat di seluruh pelabuhan dan jalur perlintasan selama 72 jam.
Dalam pernyataan terpisah, koalisi pimpinan Arab Saudi melaporkan bahwa dua kapal pengangkut senjata yang berangkat dari Pelabuhan Fujairah di UEA memasuki Pelabuhan Mukalla di Provinsi Hadramaut tanpa izin koalisi. Jaringan Al-Mayadeen mengutip pernyataan koalisi yang menyebut kedua kapal tersebut mematikan sistem pelacakan dan menurunkan muatan senjata untuk mendukung Dewan Transisi Selatan.
Koalisi Saudi menyatakan tidak ada korban jiwa dalam serangan udara yang dilakukan untuk mencegah pengiriman bantuan militer tersebut. Operasi di Mukalla, menurut mereka, dilaksanakan sesuai hukum internasional dan prinsip kemanusiaan. Namun, sumber lapangan melaporkan kepanikan di antara pasukan yang ditempatkan di sekitar pelabuhan, dengan sejumlah perwira Emirat dilaporkan meninggalkan wilayah tersebut.
UEA menolak tuduhan tersebut dan menyatakan bahwa pengiriman yang menjadi sasaran tidak berisi persenjataan militer. Dewan Transisi Selatan juga menegaskan bahwa Arab Saudi tidak memiliki kewenangan untuk mengeluarkan UEA dari koalisi Arab.
Riyadh Menilai Tindakan UEA Berbahaya
Kementerian Luar Negeri Arab Saudi mengeluarkan pernyataan resmi yang menilai tindakan UEA di Yaman sebagai sangat berbahaya dan tidak sejalan dengan prinsip koalisi yang mendukung pemerintah Aden. Riyadh menyesalkan tekanan Abu Dhabi terhadap SCT untuk melakukan operasi militer di Hadramaut dan Al-Mahra.
Pemerintah Saudi menegaskan bahwa setiap agresi atau ancaman terhadap keamanan nasionalnya merupakan garis merah, dan akan ditanggapi dengan langkah-langkah yang dianggap perlu tanpa keraguan.
Di Mana Israel dalam Dinamika Ini
Sejumlah analis berpendapat bahwa peran Israel dalam perkembangan ini tidak dapat diabaikan. Surat kabar berbahasa Ibrani Ma’ariv melaporkan bahwa Israel tengah mempertimbangkan kemungkinan pengakuan terhadap entitas politik baru di Yaman selatan yang didukung UEA. Langkah tersebut disebut menyusul pengakuan terhadap Somaliland dan bertujuan membangun kerja sama strategis di pesisir Laut Merah untuk menghadapi Ansarullah Yaman.
Sementara itu, Ahmed Ben Barik, Wakil Ketua Dewan Transisi Yaman Selatan, menyatakan bahwa pengumuman pembentukan negara Yaman selatan semakin dekat. Pernyataan ini, jika terwujud, berpotensi mengubah peta politik kawasan secara signifikan.
Laporan Penting dari Middle East Monitor
Seorang kolumnis Middle East Monitor menilai bahwa rezim Israel berada di balik pakta rahasia dengan UEA untuk menyingkirkan peran Arab Saudi sebagai kekuatan utama di Teluk Persia. Seorang anggota senior keluarga kerajaan Arab dikutip mengatakan bahwa persatuan Teluk selama ini hanyalah citra yang dibesarkan media, sementara di baliknya berlangsung persaingan dan pengkhianatan yang tajam.
Menurut sumber tersebut, Israel tengah membina UEA untuk menggantikan Arab Saudi sebagai pusat kekuatan regional. Kuwait disebut mulai mengalihkan orientasinya dari Riyadh ke Abu Dhabi setelah penandatanganan Perjanjian Abraham (Abraham Accord) oleh UEA dan Bahrain pada 2020. Sejumlah analisis bahkan menyimpulkan bahwa tujuan akhir dari seluruh dinamika ini adalah disintegrasi Arab Saudi.
Pengakhiran Kehadiran Militer UEA
Perkembangan terbaru menyebut Kementerian Pertahanan UEA mengumumkan pengakhiran total kehadiran militernya di Yaman. Pernyataan ini dikeluarkan di tengah memuncaknya ketegangan dengan Arab Saudi. Abu Dhabi menyatakan bahwa langkah tersebut diambil atas kehendaknya sendiri setelah melakukan penilaian terhadap kondisi baru, serta untuk melindungi kesehatan dan keselamatan pasukannya.
Pengumuman ini muncul setelah Arab Saudi secara resmi menuntut agar UEA menarik seluruh pasukan militernya dari Yaman dan menghentikan dukungan terhadap kelompok-kelompok bersenjata, disertai ultimatum selama 24 jam. Dalam dinamika geopolitik kawasan, istilah penarikan sukarela sering kali terdengar lebih diplomatis daripada realitas yang melatarbelakanginya. Sejarah, pada akhirnya, akan mencatat versi yang paling mampu bertahan. [HMP]
Dioleh dari berbagai sumber. Kayhan, Al-Mayadeen, ISNA, Middle East Monitor, Mehrnews dan Middle East Monitor.
