Editorial
Organisasi sebagai Suluk Sosial, Jalan Penghambaan Kolektif, dan Disiplin Ideologis
Catatan Pengantar
Naskah ini merupakan hasil perumusan ideologis dari sambutan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Ahlulbait Indonesia (DPP ABI), Ustadz Zahir Yahya, yang disampaikan pada Pembukaan Rapat Pleno DPP Ahlulbait Indonesia Tahun 2025, Jumat, 12 Desember 2025, di Aula Lantai 4 Deheng House, Jakarta.
Sambutan tersebut tidak hanya memuat arahan organisatoris, tetapi juga merumuskan kerangka nilai dan pandangan ideologis yang menjadi dasar penyusunan naskah ini sebagai refleksi sekaligus peneguhan jalan penghambaan, suluk sosial, dan disiplin ideologis Ahlulbait Indonesia.
Oleh: Redaksi Media ABI
Ahlulbait Indonesia, Jakarta 28 Desember 2025 — Setiap organisasi yang mengatasnamakan agama berhadapan dengan satu ujian mendasar, yaitu kecenderungan menjadikan organisasi sebagai tujuan, bukan sebagai jalan. Ketika kecenderungan ini dibiarkan, pengabdian akan mudah bergeser menjadi rutinitas, dan amanah perlahan akan kehilangan ruh penghambaan.
Berangkat dari kesadaran tersebut, slogan Ahlulbait Indonesia tahun 2026 ditegaskan bukan sebagai hiasan retorika, melainkan sebagai orientasi eksistensial organisasi. “Bersama Ormas ABI, Meniti Jalan Taklif, Menggapai Ridha Allah SWT.”
Slogan ini menegaskan satu prinsip mendasar. ABI tidak diposisikan sebagai tujuan akhir, melainkan sebagai jalan. ABI tidak dimaknai sebagai tempat berlindungnya ego, tetapi sebagai medan pengabdian. ABI tidak dipahami sebagai organisasi formal belaka, melainkan sebagai perjalanan ruhani kolektif menuju Allah SWT. Dari titik inilah seluruh bangunan ideologis ABI harus dibaca dan dipertanggungjawabkan.
Organisasi sebagai Jalan Penghambaan
Ormas Ahlulbait Indonesia menempatkan organisasi bukan sebagai instrumen administratif semata, tetapi sebagai jalan penghambaan. Rapat pleno, struktur kepengurusan, program kerja, dan aktivitas sosial dipahami sebagai bagian dari tazkiyatun nafs kolektif, yaitu proses penyucian diri yang dijalani bersama melalui organisasi.
Ideologi ini tidak dibangun di atas asumsi organisasi sebagai ruang steril. ABI secara sadar mengakui organisasi sebagai ruang manusiawi, tempat bertemunya niat baik dengan keterbatasan, idealisme dengan kelelahan, serta pengabdian dengan potensi ego. Karena itulah organisasi dipilih sebagai medan suluk dan pembentukan diri, bukan sebagai zona aman yang terbebas dari ujian spiritual.
Visi Menyeluruh: Membangun Umat, Bukan Struktur Administratif
Visi Ahlulbait Indonesia berpijak pada terbangunnya komunitas pengikut Ahlulbait secara menyeluruh. Menyeluruh dimaknai sebagai keterpaduan dimensi spiritual, sosial, ekonomi, budaya, hukum, dan kemanusiaan. Dengan kerangka ini, ABI menolak reduksi agama menjadi urusan privat yang terlepas dari tanggung jawab sosial.
Visi ini menuntut ABI hadir secara konstruktif di tengah masyarakat. Peran organisasi tidak berhenti pada pengelolaan struktur, tetapi terwujud dalam pembangunan manusia dan komunitas sebagai subjek utama gerakan. Pembangunan dipahami sebagai proses yang menyentuh seluruh aspek kehidupan, bukan hanya semata-mata pemenuhan kebutuhan administratif.
Dalam kerangka tersebut, dimensi spiritual menempati posisi fundamental. Tanpa fondasi spiritual yang kokoh, penguatan sosial dan kelembagaan berisiko kehilangan orientasi penghambaan. Karena itu, pembangunan struktur tanpa pembangunan manusia dipahami sebagai kegagalan ideologis.
Spiritualitas tidak diperlakukan sebagai salah satu program organisasi, melainkan sebagai orientasi yang memberi arah dan makna bagi seluruh kerja ABI. Dari pemahaman inilah organisasi diposisikan sebagai ma‘bad, ruang ibadah yang hidup dan tempat kerja sosial, kepemimpinan, dan tanggung jawab publik dijalankan dalam kesadaran penghambaan.
Organisasi sebagai Ma‘bad: Suluk dalam Tanggung Jawab Sosial
Karena organisasi dipahami sebagai ma‘bad, maka seluruh aktivitas di dalamnya dituntut memiliki ritme ibadah. Tanggung jawab pimpinan dan pengurus tidak berhenti pada pengelolaan program, tetapi memastikan organisasi benar-benar berfungsi sebagai ruang penghambaan yang hidup dan bermakna.
Gagasan ini memiliki akar kuat dalam tradisi pemikiran Islam kontemporer. Ayatullah Mohammad Hossein Beheshti menegaskan prinsip “tashkilat yek ma‘bad ast”, organisasi adalah ma‘bad, tempat ibadah. Pernyataan ini menempatkan organisasi sebagai ruang pembentukan manusia dan penyempurnaan diri.
Dalam ideologi ABI, kesempurnaan spiritual tidak ditempuh dengan menjauh dari masyarakat, tetapi melalui keterlibatan aktif di dalam realitas sosial. Kerja organisasi dan pengabdian kolektif dipahami sebagai medium suluk yang menyatukan tanggung jawab sosial dengan kesadaran Tauhid. Kerja sosial hanya bernilai suluk apabila dijalankan dalam orientasi penghambaan. Ketika orientasi ini bergeser, aktivitas mungkin tetap berjalan secara struktural, tetapi kehilangan legitimasi ruhani.
ABI tidak mengidealkan organisasi tanpa konflik. Perbedaan pandangan, kelelahan kader, dan kegagalan amanah dipahami sebagai realitas kerja kolektif. Justru di situlah organisasi berfungsi sebagai medan suluk paling konkret: kesabaran, kejujuran, dan pengendalian ego menjadi latihan spiritual yang menentukan kualitas penghambaan.
Batas Etis Aktivisme: Ketika Ruh Kehilangan Legitimasi
Suluk dipahami sebagai perjalanan spiritual yang ditandai oleh kesadaran berkelanjutan kepada Allah SWT. Tradisi spiritual kerap mengaitkannya dengan praktik personal, namun pertanyaan mendasarnya adalah apakah kesempurnaan hanya dapat ditempuh melalui ruang privat, atau juga melalui keterlibatan sosial.
Dalam perspektif ideologis ABI, setiap ruang kehidupan merupakan ruang perjumpaan dengan Allah SWT. Interaksi sosial, tanggung jawab publik, dan kerja kolektif juga menghadirkan manusia pada manifestasi sifat-sifat-Nya. Dengan demikian, kerja sosial dapat menjadi jalan suluk sepanjang dijalani dalam orientasi Tauhid.
Namun di sinilah batas etis ditegaskan. Aktivisme kehilangan nilai penghambaan ketika digerakkan oleh ego, pencitraan, atau dominasi simbolik. Dalam kondisi tersebut, aktivitas mungkin sah secara administratif, tetapi cacat secara ideologis.
ABI menolak spiritualitas yang menjauh dari tanggung jawab sosial, sekaligus menolak aktivisme yang kebal dari koreksi ruhani. Jalan penghambaan hanya terjaga ketika kerja sosial dan kesadaran spiritual saling mengikat dan saling membatasi.
Agar ideologi ABI tidak berhenti sebagai sumber inspirasi bagi kader yang tulus, tetapi juga berfungsi sebagai pagar nilai yang membatasi penyimpangan, ideologi ini ditegaskan bekerja melalui enam prinsip disiplin berikut:
- Dari Tafsir Menuju Tuntutan: Ideologi tidak hanya memberi makna, tetapi menetapkan tuntutan. Kerja sosial, kepemimpinan, dan loyalitas wajib dinilai dalam kategori sah, cacat, atau gugur secara ideologis, bukan hanya dinilai baik atau buruk secara moral.
- Legitimasi Ruhani sebagai Ukuran: Tidak semua yang berjalan rapi secara struktural sah secara ruhani. Aktivitas yang digerakkan oleh ego atau pencitraan dinyatakan cacat secara ideologis, meskipun sah secara administratif.
- Ego sebagai Pelanggaran Ketika Dipelihara: Ego yang disadari namun tetap dipertahankan tidak lagi berada pada wilayah ujian. Kondisi ini berubah menjadi pelanggaran nilai penghambaan. Kesalahan dapat dimaklumi. Pemeliharaan kesalahan merupakan penyimpangan ideologis.
- Muhasabah sebagai Kewajiban Lintas Hierarki: Koreksi internal merupakan kewajiban ideologis, bukan keberanian individual. Diam terhadap penyimpangan nilai bisa dipahami sebagai kelalaian spiritual. Jabatan tidak memberi kekebalan dari koreksi, melainkan memperberat tanggung jawab amanah.
- Rasa Malu Ideologis sebagai Instrumen Disiplin: Penyalahgunaan amanah, sikap anti kritik, dan orientasi citra diposisikan sebagai tanda ketidakmatangan ruhani. Ideologi tidak menyerang pribadi, tetapi mencabut legitimasi moral dari perilaku yang menyimpang.
- Ideologi sebagai Pagar Nilai: Ideologi ABI berfungsi sebagai pagar pembatas. Spiritualitas yang tidak mendisiplinkan ego akan mandul secara sosial. Aktivisme yang kebal dari koreksi akan kehilangan makna penghambaan.
Penutup: Ideologi yang Hidup dan Mengikat
Dengan kejujuran menghadapi realitas, penegasan batas etis, dan kewajiban koreksi, ideologi ABI berdiri sebagai ideologi yang hidup.
Ideologi ini tidak hadir untuk menenangkan ego atau membenarkan posisi, melainkan untuk menjaga kesetiaan pada jalan penghambaan dan mencegah kenyamanan dalam kesalahan. Pada titik inilah organisasi berfungsi sebagai jalan penghambaan, kerja sosial menjadi medan suluk, dan disiplin ideologis memastikan amanah tetap berada di jalurnya. []
