Internasional
Amerika dan Perang Keluarga Bersenjata
Ahlulbait Indonesia, 30 Desember 2025 — Jika kekerasan senjata api dapat dicatat sebagai cabang olahraga, Amerika Serikat tidak memerlukan olimpiade. Rekornya konsisten, grafiknya stabil, dan arena pertandingannya kini semakin intim. Ruang keluarga.
Menjelang akhir 2025, ketika kalender hampir habis namun daftar korban belum juga reda, kekerasan senjata api terus merenggut nyawa di Amerika Serikat. Ironinya, medan paling mematikan bukan lagi sekolah, taman, atau rumah ibadah, melainkan rumah warga sendiri, tempat yang dalam narasi publik selalu disebut paling aman.
Berbagai laporan media menunjukkan bahwa penembakan massal memang sering menyita perhatian ketika terjadi di ruang publik seperti toko, restoran, atau sekolah. Namun data berbicara dengan kejujuran yang tidak dramatis. Sekitar 64 persen penembakan massal di Amerika Serikat justru terjadi di rumah warga. Sisanya tersebar dalam porsi yang lebih kecil. Bisnis menyumbang sekitar 12 persen, ruang publik 6 persen, sekolah 2 persen, tempat ibadah 1 persen, sementara lokasi lain mengisi sisa statistik.

Sejak 2006, dari hampir 500 penembakan massal yang tercatat, lebih dari 300 terjadi di rumah. Para pelaku sering kali bukan orang asing, melainkan individu yang memiliki hubungan personal dengan korban. Sekitar seperempat pelaku membunuh orang tua, anak, atau anak tiri mereka sendiri, sementara hampir seperempat lainnya membunuh pasangan atau mantan pasangan. Dalam beberapa kasus, tragedi keluarga bahkan menjadi pembuka sebelum tragedi publik, sebuah pola yang terlalu sering berulang untuk disebut kebetulan.
Kekerasan ini tidak mengenal batas geografis. Hampir semua jenis komunitas di puluhan negara bagian telah mengalaminya. Negara bagian dengan populasi besar mencatat jumlah kasus tertinggi, sejalan dengan logika statistik yang dingin dan tak berempati.
Sepanjang 2025, ribuan orang tewas dan puluhan ribu lainnya terluka akibat kekerasan senjata api. Ratusan di antaranya diklasifikasikan sebagai penembakan massal. Anak-anak dan remaja ikut menanggung konsekuensi dari kebebasan yang terlalu sering disalahartikan sebagai hak tanpa batas untuk memiliki dan menggunakan senjata mematikan.

Pada titik ini, kekerasan senjata api tidak lagi dapat dipahami semata sebagai kegagalan kebijakan. Kekerasan ini telah berkembang menjadi krisis budaya. Di Amerika Serikat, senjata api bukan hanya alat, melainkan simbol. Senjata api dirawat sebagai lambang kebebasan individu, sementara kekerasan dilekatkan erat pada identitas nasional. Film laris, permainan video, dan media sosial turut memperhalus narasi ini dengan mengemas agresi sebagai hiburan dan menormalkan rasa takut sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
Negara juga tidak sepenuhnya berada di luar lingkaran ini. Aparat penegak hukum dipersenjatai secara masif dan beroperasi di tengah masyarakat yang juga bersenjata. Pertemuan antara warga sipil dan polisi kerap berlangsung dalam suasana saling curiga. Di banyak negara Barat lain, situasi semacam ini dianggap pengecualian. Di Amerika Serikat, situasi semacam itu telah menjadi rutinitas.
Maka perang keluarga bersenjata terus berlangsung. Sunyi, domestik, dan sering kali luput dari sorotan utama. Di negeri yang terbiasa dengan suara tembakan, tragedi di ruang tamu tidak selalu dianggap sebagai berita besar. [HMP/MT]
Sumber:
1. Mizanonline
2. The Trace
3. Pew Research
4. CNN
5. Gun Memorial
