Melukai Diri (Tathbir): Pandangan Ayatullah Fadhil Lankarani
Melukai Diri (Tathbir): Pandangan Ayatullah Fadhil Lankarani
Peringatan duka atas kesyahidan Imam Husain as adalah salah satu acara besar yang selalu diselenggarakan setiap tahun, khususnya oleh para penganut mazhab Syiah di mana pun mereka berada. Pada sepuluh hari di awal bulan Muharram begitu pula hari Arbain (hari ke-40) yang berada di bulan Safar, biasanya digelar acara-acara dengan nuansa berkabung dan penuh kesedihan.
Tentunya acara-acara peringatan itu akan berbeda satu sama lain disebabkan oleh perbedaan budaya yang ada. Namun hal itu tidak memudarkan nilai aslinya yakni ungkapan kesedihan dan kedukaan.
Namun lain halnya dengan fenomena tathbir (melukai diri) yang mana hal ini selain menimbulkan bahaya bagi pelakunya juga malah mencoreng citra peringatan duka Imam Husain as itu sendiri, atau bahkan lebih umumnya terhadap Islam. Dan anehnya hal inilah yang malah digambarkan sebagai wajah Syiah oleh pihak-pihak tertentu. Oleh sebab itu, banyak ulama Syiah yang tidak setuju bahkan mengharamkan pratik tersebut, sebab dampaknya bukan hanya membahayakan personal melainkan juga menjatuhkan nama baik mazhab atau agama yang dianut.
Salah satunya adalah Ayatullah Muhammad Fadhil Lankarani, salah seorang marja (ulama rujukan) di Iran, sebagaimana pandangannya terkait masalah ini tercatat dalam kitab Jamiul Masail yang memuat fatwa-fatwa beliau tentang berbagai persoalan agama. Berkenaan dengan tathbir disebutkan:
Pertanyaan ke-2045: Apakah tathbir dibolehkan? Dan apa taklif bagi orang yang bernazar dengan hal tersebut?
Baca juga : Islam Memberi Kemudahan
Beliau menjawab, “Dengan melihat perhatian yang terjadi dalam kaitannya dengan Islam dan tasyayyu (penganut mazhab keislaman Syiah) setelah kemenangan revolusi Islami di Iran di seluruh dunia, dan Iran dikenal sebagai Ummul Qura (pusat) di dunia Islam, sehingga sikap dan prilaku bangsa Iran dianggap sebagai model dan contoh bagi Islam. Oleh sebab itu seharusnya pengadaan acara berkabung untuk penghulu syuhada dan ayah dari orang-orang merdeka, Imam Husain as dalam bentuk yang dapat menarik lebih banyak orang serta menggiring mereka secara lebih luas disebabkan tujuannya yang suci dan tinggi. Dan sudah jelas dalam kondisi saat ini bahwasannya tathbir tak hanya tidak menyajikan peristiwa Husaini, bahkan (malah) menyebabkan antipati dari orang-orang begitupun penolakan para penentang terhadap penjelasan apapun untuk hal itu, seperti halnya terdampak oleh pengaruh maklumat yang buruk. Maka dari itu wajib bagi Syiah yang mencintai madrasah imam Husain as menjauhi hal itu (tathbir), dan barang siapa bernazar dengan tathbir maka nazarnya tidak memenuhi syarat sah, yang mana kemudian nazarnya tidak berlaku.” (Jamiul Masail, jil. 1, hal. 580-581)
Dalam pernyataan di atas secara jelas beliau melihat fenomena tathbir sebagai praktik yang bermuatan negatif sehingga wajib dijauhi ataupun ditinggalkan. Di sisi lain, beliau juga menganggap nazar dengan hal itu (tathbir) sebagai tidak sah, dan nazarnya tidak berlaku.
Dari sini, juga postingan-postingan lainnya terkait pandangan para ulama mengenai tathbir, kita dapat belajar bahwa terkadang apa yang dikerjakan suatu kelompok belum tentu sesuai dengan ajaran mereka atau paling tidak dengan pandangan para ulama mereka, sehingga perbuatan mereka tidak dapat dijadikan sebagai tolak ukur dalam menilai ajaran tersebut.
Tim Muslim Menjawab, Imam Husain dalam Kitab-kitab Sejarah
Baca juga : Penghambat Harmonisasi Islam Menurut Hizbullah