Kalam Islam
Salat dan Keilmuan: Pilar Keselamatan Sosial dalam Dinamika Kehidupan Umat

Oleh: Ustadz Ahmad Hidayat
Wakil Ketua Umum Ahlulbait Indonesia (ABI)
Ahlulbait Indonesia – Imam Ali bin Musa bin Ja‘far a.s., yang lebih dikenal sebagai Imam Ali ar-Ridha a.s. (148–203 H), merupakan Imam kedelapan dalam mazhab Syiah Itsna Asyariyah. Beliau memegang tampuk kepemimpinan selama 20 tahun: 10 tahun pada masa kekuasaan Harun al-Rasyid, 5 tahun pada masa Muhammad Amin, dan 5 tahun pada masa kekhalifahan Ma’mun. Dalam satu riwayat dari putranya, Imam Muhammad al-Jawad a.s., disebutkan bahwa gelar al-Ridha (yang diridhai) diberikan oleh Allah sendiri kepada beliau, sebagai pengakuan atas kemuliaan dan kesabaran beliau menghadapi ujian zaman.
Silsilah Imam Ali ar-Ridha a.s. tersambung secara langsung kepada Rasulullah SAW melalui jalur Imam Ali bin Abi Thalib a.s. dan Sayyidah Fatimah az-Zahra a.s.. Secara ringkas, silsilahnya adalah sebagai berikut:”Imam Ali ar-Ridha bin Imam Musa al-Kazhim bin Imam Ja‘far ash-Shadiq bin Imam Muhammad al-Baqir bin Imam Ali Zainal Abidin bin Imam Husain bin Imam Ali bin Abi Thalib dan Sayyidah Fatimah az-Zahra binti Rasulullah SAW.
Kelahiran dan Konteks Sejarah
Imam Ridha a.s., dilahirkan pada hari Kamis atau Jumat, bertepatan dengan tanggal 11 Dzulqa‘dah, atau menurut sebagian riwayat pada bulan Dzulhijjah atau Rabiul Awwal, tahun 148 H atau 153 H. Beliau lahir di bawah bayang kekuasaan Dinasti Abbasiyah, yang saat itu sarat dengan tekanan politik dan manipulasi intelektual. Dalam kondisi demikian, Imam Ridha a.s., memancarkan cahaya ajaran Islam yang otentik melalui dua instrumen utama: salat sebagai pilar spiritual, dan ilmu sebagai medium kebangkitan umat.
Imam menekankan pentingnya validitas salat dan transmisi ilmu dalam membangun fondasi spiritual dan sosial, serta menyoroti relevansi keduanya dalam menjawab tantangan zaman kontemporer.
Salat sebagai Tolok Ukur Keterhubungan Spiritual
Imam ar-Ridha a.s. bersabda:
«أوَّلُ ما يُحاسَبُ بِهِ العَبدُ الصَّلاةُ، فإن قُبِلَت قُبِلَ ما سِواها، وإن رُدَّت رُدَّ ما سِواها»
“Amalan pertama yang akan dihisab dari seorang hamba adalah salatnya. Jika salatnya diterima, maka seluruh amal lainnya pun akan diterima. Namun, jika salatnya ditolak, maka seluruh amal lainnya juga akan ditolak.”
Hadis ini menunjukkan bahwa salat bukanlah sekadar kewajiban ritual, melainkan tolok ukur utama integritas ibadah seseorang. Rasulullah SAW pun bersabda:
«الصَّلاةُ عِمادُ الدِّينِ، إن قُبِلَت قُبِلَ ما سِواها، وإن رُدَّت رُدَّ ما سِواها»
“Salat adalah tiang agama. Jika ia tegak, maka agama pun akan tegak. Jika ia runtuh, maka runtuh pula agama seseorang.”
Dalam perspektif Al-Quran, salat memiliki dimensi moral dan sosial, sebagaimana termaktub dalam firman Allah:
﴿إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ﴾
“Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al-Ankabut: 45)
Baca juga : Bekal Perjalanan Akhirat
Dengan demikian, ketidakefektifan salat dalam mencegah kemungkaran bisa menjadi indikator ketidaksempurnaan dalam pelaksanaannya, baik secara syariat maupun secara spiritual. Salat yang benar tidak hanya memenuhi rukun dan syarat formal, melainkan juga membuahkan akhlak yang luhur dan keteguhan moral.
Keilmuan sebagai Medium Perubahan Sosial
Imam ar-Ridha juga menekankan peran ilmu dalam menjaga dan menyebarkan ajaran Ahlul Bait a.s. Beliau bersabda:
«رَحِمَ اللهُ عَبْداً أَحْيَا أَمْرَنا»
“Semoga Allah merahmati hamba yang menghidupkan urusan kami.”
Seorang sahabat bertanya: “Bagaimana cara menghidupkan urusan kalian?”
Imam menjawab:
«يَتَعَلَّمُ عُلُومَنَا وَيُعَلِّمُهَا النَّاسَ»
“Dengan mempelajari ilmu-ilmu kami dan mengajarkannya kepada manusia.”
Penggunaan kata ahya (menghidupkan) menunjukkan bahwa ilmu dalam pandangan Ahlul Bait a.s, bukan hanya untuk dikonsumsi secara teoritis, tetapi harus dihidupkan dalam praktik sosial dan menjadi dasar perubahan. Dalam hal ini, ilmu tidak dapat dilepaskan dari sumber otoritatifnya, yaitu Ahlul Bait a.s,.
Ilmu dalam Islam, khususnya dalam tradisi Ahlul Bait, merupakan refleksi dari cahaya Ilahi yang hanya dapat ditafsirkan secara utuh melalui petunjuk para Imam maksum.
Relevansi Sosial-Kultural dalam Konteks Masyarakat
Dalam konteks hidup masyarakat, dengan segala keragaman budaya dan kompleksitas sosial-politiknya, dua prinsip Imam ar-Ridha a.s, ini menjadi sangat urgen. Salat yang sah dan ilmu yang benar akan melahirkan insan yang kuat secara spiritual, kritis secara intelektual, dan adil dalam laku sosial.
Banyak permasalahan umat hari ini bersumber dari keretakan dua fondasi ini: salat yang kehilangan ruh spiritual dan ilmu yang terlepas dari akar wahyu. Ketika salat dilakukan sekadar formalitas, dan ilmu diajarkan tanpa rujukan pada otoritas Ilahiah, maka umat akan mudah terombang-ambing oleh arus materialisme, liberalisme, dan hegemoni budaya global.
Imam ar-Ridha a.s. mengajarkan bahwa salat dan ilmu adalah dua sayap keselamatan. Salat melindungi dari kerusakan internal (spiritual), sementara ilmu mencegah kehancuran eksternal (sosial dan intelektual). Kombinasi keduanya merupakan jalan menuju rahmat Ilahi, sebagaimana tersirat dalam hadis-hadis beliau.
Bagi umat Islam, khususnya para pencinta Ahlul Bait a.s, menjaga keabsahan salat dan menghidupkan ilmu Ahlul Bait a.s, bukan hanya bentuk ibadah, tetapi juga ekspresi wilayah (loyalitas) terhadap para Imam suci. Dalam era penuh ketidakpastian dan turbulensi ini, keduanya menjadi kompas peradaban yang membimbing umat menuju keselamatan dunia dan akhirat. []
Baca juga : Mengingat Allah Dapat Memberikan Ketenangan Jiwa