Kegiatan ABI
Ahlulbait Indonesia Soroti Kesetaraan dalam Forum Kebebasan Beragama
Jakarta, 18 September 2025 – Lebih dari tujuh puluh peserta dari beragam organisasi masyarakat sipil, orgaisasi kepemudaan hingga perguruan tinggi hadir dalam Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Muda Beda Bersuara: Refleksi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia.”
Forum yang digelar IMPARSIAL ini berlangsung di Warunk WOW KWB, Jakarta Selatan, pada Kamis (18/9) pukul 14.00–17.00 WIB.
Selain Ahlulbait Indonesia (ABI) dan Pandu Ahlulbait Indonesia (Pandu ABI), forum juga diikuti oleh sejumlah organisasi nonpemerintah pegiat HAM-KBB, organisasi kemasyarakatan, Badan Eksekutif Mahasiswa, jaringan Gusdurian, Sobat KBB, serta berbagai organisasi kepemudaan.
Ahlulbait Indonesia: Meluruskan Istilah, Menegakkan Kesetaraan
Forum ini membahas dinamika kebebasan beragama di Indonesia, yang hingga kini masih menyisakan berbagai persoalan. Ahlulbait Indonesia (ABI) yang hadir melalui Sekretaris Jenderal, Sayyid Ali Ridho Assegaf, menekankan dua isu utama yang kerap luput dari perhatian.
Pertama, soal istilah mayoritas dan minoritas dalam kebijakan publik. Menurutnya, negara tidak boleh menggunakan perspektif tersebut dalam menentukan arah kebijakan maupun pelayanan publik.
Baca juga : Ketum ABI: “Maulid Nabi, Momentum Menghadirkan “Risalah” Rasulullah dalam Kehidupan Sehari-hari”
“Perlu meluruskan istilah yang masih saja mengusik kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB) tersebut, yaitu mayoritas dan minoritas dari perspektif sosial, berbangsa dan bernegara. Utamanya pada negara , dimana negara tidak boleh menggunakan dan memandang warga negaranya dengan istilah tersebut dalam memberikan kebijakan, pelayanan, jaminan keamanan serta kebebasan berpendapat, semua warga negara apapun agama, keyakinan dan kelompoknya harus dipandang pada level dan hak yang sama.” tegas Sayyid Ali Ridho.
Kedua, mengenai pemaknaan ulang toleransi. Sayyid Ali Ridho menilai istilah ini sering dipahami sebatas sikap menahan diri atas perbedaan, padahal yang lebih penting adalah menjunjung nilai keadilan dan kesetaraan.
“Memaknai kembali istilah toleransi, dimana pada dasarnya toleransi merupakan bentuk menahan diri untuk tidak memaksakan kehendak, atau dengan kata lain sabar atas memandang perbedaan, maka sejatinya untuk menggapai kerukunan dan kedamaian dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara, dalam konteks HAM dan KBB yang lebih tepat adalah keadilan dan kesetaraan,” jelasnya lagi.
Sekjen ABI itu menambahkan, hanya dengan menjadikan keadilan dan kesetaraan sebagai landasan, kerukunan dan kedamaian dalam kehidupan berbangsa dapat tercapai. “Di situlah setiap warga negara memperoleh hak dan martabat yang sama, baik dalam interaksi sosial maupun di mata hukum dan negara,” tandasnya.
Baca juga : Pelatihan Relawan oleh ABI Responsif Bersama Relawan Malang Bersatu Diserbu Peserta dari Berbagai Daerah

YLBHI: Konstitusi Harus Hidup dalam Kesadaran
Dari sisi hukum, Arif Maulana dari YLBHI mengingatkan bahwa konstitusi Indonesia sebenarnya sudah memberi ruang luas bagi HAM dan KBB. Namun, ia menilai tanpa perjuangan bersama, aturan itu hanya akan menjadi “tumpukan kertas”.
“Kesadaran negara terhadap isu KBB masih minim. Aparatur berganti, pemahaman pun berubah-ubah. Karena itu, KBB harus terus diperjuangkan sebagai fungsi kontrol terhadap negara,” katanya.
Arif menambahkan, kabar baik datang dari revisi UU PNPS 1965 tentang Penodaan Agama, yang kini masuk ke KUHP dalam Pasal 300 dan 263. Meski begitu, ia menekankan pentingnya pengawalan agar aturan ini tidak berubah menjadi “pasal karet” yang berpotensi mengkriminalisasi kelompok rentan.
SEJUK: Media Jangan Jadi Corong Intoleransi
Dari kalangan jurnalis, Thowik dari SEJUK (Serikat Jurnalis untuk Keberagaman) menyoroti peran media dalam memperkuat atau melemahkan kebebasan beragama. Ia menilai masih banyak media yang lebih memberi ruang bagi kelompok intoleran ketimbang korban diskriminasi.
“Contohnya pelarangan Asyura di Bandung tahun lalu. Seharusnya media mendatangi kelompok Syiah sebagai korban, bukan malah mewawancarai kelompok intoleran. Masalahnya, ketika media ikut arus intoleransi, negara pun cenderung mengikuti,” ungkapnya.
Baca juga : Muslimah ABI DKI Jakarta Lantik Pengurus Baru, Fokus pada Keluarga dan Pemberdayaan Sosial
Thowik juga menyoroti kedekatan sebagian media lokal dengan pemerintah daerah, yang membuat pemberitaan sering kali selaras dengan kepentingan aparat. Karena itu, ia menegaskan, “Pelanggaran HAM hanya bisa dihentikan kalau kita terus bersuara, tidak boleh diam, baik lewat media arus utama maupun media sosial.”
Imparsial: Negara Kerap Jadi Pelanggar
Sementara itu, Wira Dika dari Imparsial mengingatkan kembali prinsip dasar HAM: masyarakat adalah pemangku hak, sedangkan negara adalah pemangku kewajiban. Sayangnya, ia menyebut negara justru kerap menjadi pelanggar, terutama lewat kebijakan diskriminatif.
“Sepanjang 2025, setidaknya ada 131 kasus pelanggaran HAM dan KBB yang tercatat. Jawa Barat menempati posisi tertinggi dengan 9 kasus, disusul Kalimantan Timur, Riau, dan Sumatra Barat,” ujarnya.
Kasus tersebut meliputi 13 pelanggaran terkait rumah ibadah, 9 kasus pelarangan ibadah, hingga 7 kasus perundungan anak karena perbedaan agama. Menurutnya, akar masalah ada pada lemahnya political will pemerintah daerah yang lebih sering tunduk pada kelompok dominan demi kepentingan politik.
“Imparsial akan terus mencatat dan merilis data pelanggaran. Itu harus jadi alat tekan terhadap kebijakan diskriminatif negara,” tegas Wira.
Baca juga : DPD ABI Jakarta Timur Resmi Terima Surat Keterangan Lapor (SKL) dari Kesbangpol

Suara Bersama, Tanggung Jawab Bersama
Forum siang itu berakhir sore. Meski diskusi ditutup, gema suara yang dihasilkan terasa masih menggantung di udara. Dari seruan keadilan ABI, peringatan hukum YLBHI, kritik media dari SEJUK, hingga catatan tajam Imparsial, semuanya berpaut pada satu benang merah: kebebasan beragama tidak bisa dijaga sendirian.
Kesetaraan, keadilan, dan keberanian bersuara menjadi tiga kunci yang terus diulang. Dan selama diskriminasi masih terjadi, suara-suara kritis ini tampaknya akan terus menggema, mengingatkan negara pada kewajiban dasarnya: melindungi setiap warga negara, tanpa kecuali. [Sekjen]
Baca juga : Musda Ke-3 DPD ABI Samarinda Tetapkan Sayyid Misbah sebagai Ketua Periode 2024–2029
