Ikuti Kami Di Medsos

Kegiatan ABI

Bendum DPP ABI: Agama sebagai Jalan Maslahat untuk Keadilan Ekonomi

Departemen Litbang DPP ABI Gelar Diskusi Tematik Seri IV: Dorong Keadilan Ekonomi dan Kesejahteraan Umat

Jakarta, 23 Agustus 2025 – Departemen Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Dewan Pimpinan Pusat Ahlulbait Indonesia (DPP ABI) kembali menggelar Diskusi Tematik Seri IV dengan tema Beragama Maslahat: Mewujudkan Keadilan Ekonomi dan Kesejahteraan Umat”. Acara yang berlangsung Sabtu, 23 Agustus 2025, sejak pukul 08.00 WIB hingga selesai, digelar secara daring melalui Zoom Meeting dan disiarkan langsung di kanal YouTube ABI Official. Forum ini menjadi ruang refleksi penting di tengah meningkatnya ketimpangan ekonomi nasional maupun global.

Agama sebagai Orientasi Publik

Dalam sambutan pembuka, Sayyid Muhammad Assegaf, Bendahara Umum (Bendum) DPP ABI, menekankan bahwa konsep maslahat dalam Islam tidak boleh direduksi hanya pada ranah privat, melainkan mesti menjadi fondasi etika publik.

“Agama tidak boleh berhenti di ruang spiritual pribadi, melainkan harus hadir di ranah publik untuk menghadirkan solusi nyata,” tegasnya.

Menurutnya, agama bukan hanya ritual ibadah individual, tetapi juga pandangan hidup yang menuntun terciptanya maslahat sosial. Dengan demikian, agama harus hadir menjawab persoalan ketimpangan sosial, krisis lingkungan, hingga tantangan teknologi dan globalisasi.

Sayyid Muhammad menyoroti paradoks sosial-ekonomi Indonesia: kekayaan terkonsentrasi pada segelintir elit, sementara mayoritas rakyat masih terjebak dalam kerentanan struktural.

“Kita hidup dalam realitas paradoks. Sumber daya berlimpah, tetapi banyak umat masih miskin. Satu persen kelompok menguasai hampir separuh kekayaan nasional, sementara puluhan juta orang berjuang sekedar untuk hidup layak. Ini bukan hanya masalah ekonomi, melainkan juga krisis moral dan sosial,” ujarnya.

Instrumen Klasik, Tantangan Kontemporer

Islam, jelasnya, sejak awal telah menawarkan instrumen distribusi kekayaan melalui zakat, infak, wakaf, dan khumus. Namun, implementasi di lapangan sering kali belum sesuai potensi. Wakaf, misalnya, masih dipahami sebatas lahan makam atau pembangunan masjid, padahal dalam konteks modern dapat dikembangkan menjadi aset produktif untuk pendidikan, kesehatan, maupun pemberdayaan ekonomi.

“Tugas ini bukan hanya milik lembaga zakat, pemerintah, atau organisasi keagamaan semata. Kita semua memiliki tanggung jawab moral memastikan pembangunan ekonomi tidak meninggalkan siapa pun (nobody left behind),” tegasnya.

Tiga Subtema Kritis

Sayyid Muhammad menekankan bahwa diskusi kali ini menghadirkan tiga subtema utama yang menggambarkan bagaimana konsep maslahat bekerja nyata dalam kehidupan ekonomi umat.

“Pertama, kita membahas Ekonomi Syariah yang akan dijelaskan oleh Dr. Mukhaer Pakkanna. Ekonomi syariah tidak boleh dipahami sebatas sistem bebas riba, melainkan sebagai paradigma etis yang menghubungkan nilai spiritual dengan transformasi sosial. Pertanyaan kuncinya: apakah perbankan syariah di Indonesia sudah benar-benar menerapkan prinsip keadilan syariah, ataukah baru sekadar ganti judul? Apakah sudah berpihak pada kelompok rentan, atau masih terjebak pada orientasi keuntungan korporasi? Inilah yang akan dikupas lebih jauh oleh Dr. Mukhair,” jelasnya.

Baca juga : Pandu ABI Kaltim Lantik Pengurus Wilayah, Teguhkan Komitmen dan Regenerasi Kader

“Kedua, kita menyoroti Zakat dan Wakaf Produktif bersama Katib Syuriah PBNU, H. Sarmidi Husna, MA. Jika zakat dan wakaf dikelola dengan amanah, transparan, dan inovatif, ia bisa menjadi motor penggerak pemberdayaan ekonomi umat. Potensi dana zakat, wakaf, dan infak di Indonesia mencapai ratusan triliun rupiah per tahun. Pertanyaannya, apakah pengelolaan yang ada sudah benar-benar menghadirkan maslahat bagi kelompok lemah dan rentan? Hal ini akan dipaparkan lebih dalam oleh beliau,” lanjut Sayyid Muhammad.

“Ketiga, ada topik Khumus yang akan dipaparkan oleh Ustadz Abdullah Beik. Dalam tradisi Ahlul Bait, khumus merupakan instrumen teologis sekaligus ekonomi yang berfungsi menyeimbangkan distribusi kekayaan agar tidak terkonsentrasi secara eksklusif. Di Indonesia, praktik khumus memang masih terbatas, tetapi potensinya besar. Kita bisa belajar dari Iran, di mana khumus telah terbukti menjadi instrumen efektif dalam menopang kesejahteraan umat. Nanti Ustadz Abdullah akan menjelaskan secara rinci,” ungkapnya.

Sayyid Muhammad menegaskan bahwa ketiga instrumen tersebut, bila dikelola secara profesional dan berorientasi pada nilai maslahat, akan menjadi fondasi kokoh bagi terwujudnya ekonomi umat yang inklusif dan berkeadilan.

Analisis: Mengapa Maslahat Relevan?

Konsep maslahat menawarkan pendekatan integratif: spiritual sekaligus struktural. Dalam arus globalisasi dan kapitalisme yang menciptakan jurang kaya–miskin, paradigma maslahat dapat berfungsi sebagai pijakan etik kebijakan ekonomi.

Catatan Penting Sayyid Muhammad

Dalam kesempatan itu, Sayyid Muhammad juga menyampaikan tiga catatan penting terkait relevansi konsep maslahat dalam menjawab tantangan ekonomi kontemporer.

Pertama, maslahat menolak formalisme agama. Ekonomi Syariah tidak boleh berhenti pada label ‘bebas riba’. Ekonomi Syariah harus menghadirkan keberpihakan nyata pada kelompok lemah dan rentan.

Kedua, distribusi kekayaan adalah isu moral. Ketimpangan ekstrem bukan hanya soal angka dalam statistik, melainkan ancaman serius bagi keadilan sosial sekaligus potensi lahirnya krisis kepercayaan publik.

Ketiga, instrumen klasik perlu reaktualisasi. Sperti Zakat, Wakaf, dan Khumus tidak boleh dipahami hanya sebatas ritual Fiqih. Jika dikelola profesional, ini akan dapat menjadi pilar ekonomi alternatif yang melahirkan social safety net berbasis agama.

Agenda Strategis ke Depan

Sayyid Muhammad mengusulkan beberapa langkah strategis:

1. Penguatan ekonomi komunitas melalui koperasi dan kewirausahaan sosial berbasis nilai Islam, dengan dukungan regulasi dan permodalan.
2. Reformasi tata kelola zakat dan wakaf yang amanah, transparan, dan terintegrasi dengan sistem ekonomi nasional. Wakaf harus dikembangkan menjadi aset bisnis, pendidikan, dan kesehatan umat.
3. Kolaborasi lintas sektor antara ulama, akademisi, pemerintah, dan masyarakat sipil, agar pembangunan ekonomi berkeadilan tidak berhenti pada jargon.

Menurutnya, beragama maslahat adalah jembatan antara kesalehan spiritual dan tanggung jawab sosial.

“Kesejahteraan umat dan keadilan ekonomi adalah amanah, bukan pilihan. Tugas ini milik kita semua,” pungkasnya.

Penutup

Diskusi tematik ABI ini membuktikan bahwa wacana keagamaan bisa bergerak dari sekadar retorika menuju agenda praksis. Pesannya jelas: agama hadir bukan untuk memisahkan, melainkan menyatukan; bukan memperlebar jurang, melainkan meluruskan ketimpangan.

“Beragama maslahat” pada akhirnya adalah strategi realistis untuk menjawab tantangan kemiskinan struktural, ketimpangan, dan krisis moral, sekaligus meneguhkan agama sebagai sumber rahmat bagi semesta. []

Untuk lebih lengkap, saksikan tayangannya di kanal YouTube ABI Official melalui tautan berikut: https://www.youtube.com/watch?v=v0dfubsSQ80&t=40s

Baca juga : Afid Hasan Terpilih sebagai Ketua DPD ABI Blitar Periode 2024–2029

Continue Reading