Kegiatan ABI
Beragama Maslahat dalam Membangun Supremasi Hukum dan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik
Jakarta, 21 Juli 2025 — Di tengah kompleksitas persoalan sosial, krisis integritas birokrasi, dan tantangan ekologis yang kian mendesak, Ahlulbait Indonesia (ABI) kembali menegaskan perannya sebagai organisasi masyarakat Islam yang bukan hanya menjadi saksi, tetapi juga aktor perubahan. Pada Sabtu, 19 Juli 2025, pukul 08.00–12.00 WIB, Departemen Litbang DPP ABI menyelenggarakan Diskusi Tematik Seri ke-3 bertajuk “Beragama Maslahat dalam Membangun Supremasi Hukum dan Good Governance.” Kegiatan ini merupakan bagian dari komitmen jangka panjang ABI dalam mengeksplorasi, mendiskusikan, dan mengarusutamakan konsep beragama maslahat sebagai paradigma alternatif dalam merespons persoalan kebangsaan secara konstruktif dan substantif.
Diskusi yang dilaksanakan secara daring ini menghadirkan atmosfer intelektual dan spiritual yang kuat. Sejak awal, forum ini dirancang bukan semata sebagai ruang akademik, melainkan sebagai pertemuan antara kesadaran keagamaan, nalar publik, dan realitas sosial-politik Indonesia kontemporer. Dalam sambutannya selaku keynote speaker, Dewan Pakar Bidang Pemerintahan DPP ABI, Mufti Makarimal Akhlaq, menyampaikan secara tegas bahwa gagasan beragama maslahat bukanlah jargon normatif, melainkan bentuk artikulasi keagamaan yang lahir dari keprihatinan kolektif terhadap merosotnya keadilan substantif dalam sistem kenegaraan. Ia menekankan bahwa ABI terpanggil untuk menjadikan konsep ini sebagai jalan tengah antara idealisme iman dan kenyataan sosial. Menurutnya, Indonesia saat ini tengah menghadapi tiga kegelisahan besar: ketimpangan sosial dan ekonomi, lemahnya supremasi hukum dan layanan publik, serta kerusakan ekologis akibat eksploitasi sumber daya alam yang masif.
Mufti memaparkan data konkret yang mencerminkan urgensi persoalan tersebut: angka pengangguran nasional mencapai 7,2 juta jiwa, tingkat kemiskinan, berdasarkan standar Bank Dunia meliputi lebih dari 60% penduduk, serta indeks persepsi korupsi dan demokrasi yang terus menurun. Menurutnya, kemajuan ekonomi formal belum menyentuh akar permasalahan keadilan. Dalam konteks ini, beragama maslahat dihadirkan sebagai pendekatan etis yang menyeimbangkan antara kemajuan material dan peradaban spiritual. “ABI hadir bukan untuk menggurui, melainkan membersamai. Kita ingin menjadikan agama sebagai mitra etis dalam menata negara dan menegakkan keadilan substantif,” ujar Mufti.
Diskusi yang dipandu oleh Dr. Sabara Nuruddin, Ketua Departemen Litbang DPP ABI, merupakan bagian dari rangkaian lima seri diskusi tematik Beragama Maslahat yang akan dihimpun dalam bentuk buku book chapter. Inisiatif penerbitan ini bertujuan untuk mengisi kekosongan narasi kebijakan mengenai praktik keberagamaan yang maslahat dalam konteks kenegaraan. Sebab, meskipun istilah beragama maslahat secara eksplisit telah tercantum dalam dokumen RPJMN dan RPJPN, hingga kini belum tersedia rumusan konseptual yang memadai mengenai bentuk aplikasinya dalam kebijakan publik. Oleh karena itu, diskusi ini tidak hanya penting secara teoritis, tetapi juga strategis dalam membangun fondasi konseptual bagi arah pembangunan nasional yang lebih manusiawi dan inklusif.
Baca juga : PTD ABI Sulsel: Menumbuhkan Kesadaran Baru, Meneguhkan Jalan Pengkhidmatan
Hadir pula Dr. Anik Farida, peneliti senior dari Pusat Riset Kebijakan Publik BRIN, yang telah lama menekuni isu kebijakan publik dan moderasi beragama. Dalam paparannya yang tajam dan reflektif, Anik menegaskan bahwa beragama maslahat merupakan kelanjutan logis dari moderasi beragama. Jika moderasi adalah moda kendaraan menuju kerukunan, maka maslahat adalah tujuan akhirnya, yakni kemaslahatan umat manusia dan keadilan sosial. Ia menyoroti bahwa meskipun konstitusi menjamin kebebasan beragama, praktik diskriminatif masih dilegitimasi oleh kebijakan negara. Contoh konkretnya mencakup: komunitas Syiah di Sulawesi Selatan yang mengalami eksklusi administratif, penghayat kepercayaan di Jawa Barat yang kesulitan memperoleh status hukum sebagai masyarakat adat, serta kelompok Ahmadiyah yang masih menghadapi pembatasan layanan publik. “Setelah moderat, apa langkah selanjutnya? Harus maslahat. Agama tidak boleh berhenti pada toleransi, tetapi harus menghadirkan kemanfaatan konkret di ruang publik,” tegas Anik, yang juga turut menyusun Buku Putih Moderasi Beragama Kementerian Agama pada 2019.
Menurutnya, akar dari berbagai bentuk ketidakadilan tidak hanya bersumber dari aspek sosial, tetapi juga dari pola pikir aparatur negara yang cenderung mayoritarian. Ia mendorong agar negara menyusun blueprint beragama maslahat sebagai dokumen kerja yang mengikat secara struktural melalui Peraturan Presiden, kebijakan lintas sektor, hingga kurikulum pendidikan aparatur. Dengan pendekatan ini, nilai-nilai keagamaan tidak berhenti pada seremoni spiritual, tetapi benar-benar menjadi fondasi etis bagi birokrasi dan pelayanan publik.
Pembicara berikutnya, Nur Ihsan Sahabudin, S.H., M.H., praktisi hukum yang kini bertugas di Mahkamah Agung, mengajak peserta menelaah supremasi hukum dari dimensi praksis dan ideologis. Dalam paparannya yang kritis dan mendalam, Ihsan menjelaskan bahwa sistem hukum Indonesia yang menganut civil law merupakan produk politik hasil konsensus legislatif. Oleh karenanya, kualitas hukum sangat ditentukan oleh etika para pembuatnya. Ia juga menyoroti pergeseran paradigma hukum pidana nasional, dari keadilan retributif menuju keadilan restoratif dan korektif sebagaimana tercermin dalam KUHP terbaru. Dalam konteks ini, pendekatan maslahat menjadi kunci dalam menghidupkan nilai keadilan. “Hukum hanya bermakna jika ditegakkan oleh pribadi yang berintegritas dan berhikmah. Nilai maslahat harus menjadi jiwa dalam setiap proses penegakan hukum,” ujarnya.
Sementara itu, Dr. Amar Fauzi, anggota Dewan Syura ABI sekaligus akademisi Filsafat Islam di STAI Shadra, menegaskan bahwa maslahat bukan sekadar perangkat dalam fikih, melainkan fondasi dari maqashid syariah sebagai tujuan utama syariat Islam. Dalam konteks kenegaraan, maslahat dapat dijadikan landasan etik dan spiritual dalam perumusan kebijakan yang adil, berkelanjutan, dan menyejahterakan. Amar menekankan urgensi membebaskan agama dari sekadar ritualisme dan menjadikannya panduan moral dalam mengelola negara dan membangun masyarakat. “Maslahat adalah prinsip maqashid syariah yang tidak boleh dipersempit hanya pada fikih. Ia adalah fondasi spiritual, etis, dan kultural yang harus menjiwai tata kelola negara,” ujarnya penuh keyakinan. Amar menambahkan, negara tidak dapat dibangun semata-mata melalui hukum dan kekuasaan; ia memerlukan roh yang bersumber dari nilai-nilai luhur keagamaan. “Negara memerlukan jiwa, dan jiwa itu adalah nilai maslahat,” pungkasnya.
Diskusi ini ditutup dengan semangat kolaboratif. ABI menegaskan kesiapannya menjadi mitra kritis sekaligus strategis bagi negara dalam mendorong transformasi kebijakan yang berbasis nilai-nilai keadilan spiritual. Dengan menjadikan beragama maslahat sebagai titik temu antara iman, akal, dan etika publik, ABI mengajak seluruh elemen bangsa untuk menapaki kembali jalan keadilan yang menyatukan keberagaman, menjunjung martabat manusia, dan membangun tata kelola pemerintahan yang lebih beradab. Di tengah krisis multidimensi yang melanda negeri ini, diskusi seperti ini menjadi secercah cahaya yang menandakan bahwa jalan maslahat masih terbuka bagi siapa pun yang bersedia memperjuangkannya dengan niat tulus dan keberanian intelektual. []
Baca juga : Ketum ABI Tegaskan Dua Pilar Strategis Pengembangan Komunitas dalam Peluncuran ASIC
