Kegiatan ABI
Beragama Maslahat dalam Pelestarian Lingkungan: Dari Spiritualitas ke Kesadaran Publik
Jakarta, 7 Oktober 2025 – Krisis lingkungan hidup dewasa ini bukan semata krisis alam, melainkan juga krisis spiritual manusia modern. Hilangnya rasa suci dalam memandang alam telah menjauhkan manusia dari keseimbangan hidup yang diajarkan agama. Dari kesadaran itulah, Departemen Penelitian dan Pengembangan DPP Ahlulbait Indonesia (ABI) penyelenggaraan Diskusi Tematik Beragama Maslahat Seri V bertema “Green Religion: Beragama Maslahat dalam Pelestarian Lingkungan.”
Acara yang berlangsung Minggu, 5 Oktober 2025 pukul 13.00–16.00 WITA secara daring ini diikuti peserta dari berbagai daerah di Indonesia. Diskusi dipandu oleh Sulton Ahmad Lubis dan menghadirkan tiga narasumber: Prof. Khusnul Yaqin, Dr. Syamsurrijal, dan Dr. Otong Sulaiman. Dr. Sabara Nuruddin selaku Ketua Departemen Litbang DPP ABI sebagai final speaker yang menutup seluruh rangkaian lima seri Diskusi Beragama Maslahat sepanjang tahun 2025.
Prof. Khusnul Yaqin: Ekologi Transenden dan Kesadaran Spiritual
Pembicara pertama, Prof. Khusnul Yaqin, Guru Besar Fakultas Perikanan Universitas Hasanuddin, membuka dengan subtema “Ekologi Transenden: Jalan Alternatif Kesadaran Pengelolaan Lingkungan.” Ia menjelaskan bahwa krisis ekologis berakar dari paradigma antroposentris yang menempatkan manusia sebagai pusat kehidupan dan penguasa tunggal atas alam.
“Modernitas telah menjauhkan manusia dari kesadaran kosmik,” ujarnya. Dalam pandangan Islam, lanjutnya, seluruh wujud saling terhubung dalam kesatuan eksistensial (tasykīk al-wujūd). Alam adalah cerminan sifat Ilahi, dan merusaknya berarti merusak tatanan spiritual manusia sendiri.
Prof. Khusnul mengajak umat beragama membangun ekologi transenden, yakni kesadaran yang menempatkan pemeliharaan bumi sebagai tanggung jawab spiritual, bukan semata teknis atau ekonomi. Kesadaran ekologis, katanya, adalah bagian dari zikir: bentuk pengingat manusia terhadap kehadiran Tuhan dalam semesta.
Dr. Syamsurrijal: Spiritualitas Ekologis dari Kearifan Lokal
Sebagai pembicara kedua, Dr. Syamsurrijal, peneliti Pusat Riset Khazanah Keagamaan dan Peradaban BRIN, membahas “Spiritualitas Ekologis: Tradisi Religius dan Kearifan Lokal dalam Pelestarian Lingkungan.” Syamsurijal menyoroti praktik masyarakat adat Patuntung di Tana Toa Kajang, Sulawesi Selatan, yang hidup berdasarkan prinsip keseimbangan spiritual antara manusia dan alam.
“Bagi masyarakat Kajang, tanah adalah ibu,” ujarnya. Prinsip kamase-mase (hidup sederhana), larangan menebang hutan keramat (Borong Karama), dan ritual Andingi Borong (mendinginkan hutan) menunjukkan betapa kesadaran ekologis melekat dalam sistem kepercayaan mereka.
Menurut Syamsurrijal, kearifan lokal seperti ini merupakan bentuk nyata eko-spiritualisme yang sejalan dengan nilai-nilai Islam. “Mereka mempraktikkan etika ekologis bukan karena wacana modern, tapi karena keyakinan bahwa alam adalah ruang sakral tempat manusia menegakkan tanggung jawab spiritualnya,” jelasnya.
Baca juga : Kesbangpol Hadiri Pelantikan Muslimah ABI Samarinda dan Rakercab 2025
Dr. Otong Sulaiman: Maslahat Bumi, Maslahat Umat
Pembicara ketiga, Dr. Otong Sulaiman, Ketua Dewan Penasehat Ahlulbait Indonesia, memaparkan subtema “Maslahat Bumi, Maslahat Umat: Perspektif Agama dalam Pelestarian Lingkungan.” Ia menegaskan bahwa konsep maslahat dalam Islam adalah prinsip universal yang menuntun manusia untuk menjaga keseimbangan kehidupan.
“Menjaga bumi adalah bagian dari menjaga kehidupan (ḥifẓ al-bī’ah). Tanpa bumi yang sehat, tidak ada kehidupan yang maslahat,” tegasnya. Ia menambahkan bahwa syariat Islam menempatkan pelestarian lingkungan sebagai bagian dari tujuan moral agama (maqāṣid al-syarī‘ah).
Menurut Dr. Otong, pelestarian alam harus menjadi panggilan iman. “Kemaslahatan tidak akan tegak di atas kerusakan bumi. Maka, menjaga lingkungan adalah ibadah sosial yang mencerminkan keadilan Ilahi,” ujarnya.
Dr. Sabara Nuruddin: Final Speaker Menutup Lima Seri Diskusi
Sebagai final speaker, Dr. Sabara Nuruddin, Ketua Departemen Penelitian dan Pengembangan DPP Ahlulbait Indonesia, menutup diskusi sekaligus seluruh rangkaian lima seri Diskusi Beragama Maslahat yang telah berlangsung sepanjang tahun.
Dalam paparannya Sabara menegaskan bahwa rangkaian diskusi ini bukan sekadar kegiatan ilmiah, tetapi perjalanan spiritual dan intelektual untuk menghidupkan kembali agama sebagai sumber nilai publik. “Agama yang maslahat adalah agama yang hadir di tengah masyarakat, menuntun akal dan tindakan menuju kebaikan bersama,” ujarnya.
Sabara menjelaskan bahwa paradigma Beragama Maslahat memadukan wahyu, akal, dan realitas sosial sebagai satu kesatuan nilai. Gagasan ini, menurutnya, kini menemukan relevansinya dalam arah pembangunan nasional melalui RPJPN 2025–2045 dan RPJMN 2025–2029, yang menempatkan Beragama Maslahat dan Berkebudayaan Maju sebagai nilai pengarah pembangunan manusia Indonesia yang beriman dan berkeadilan.
Sabara menutup dengan refleksi bahwa agama sejati tidak berhenti di ruang ibadah, melainkan hidup dalam tindakan sosial, kebijakan publik, dan tanggung jawab ekologis. Beragama maslahat, katanya, adalah upaya terus-menerus untuk menyeimbangkan wahyu dan akal demi kemaslahatan manusia dan alam.
Dari Diskusi ke Buku: Melanjutkan Gerak Kesadaran Publik
Dr. Sabara Nuruddin menegaskan, rangkaian lima seri Diskusi Beragama Maslahat resmi ditutup. Sejak awal, seluruh seri membahas tema-tema strategis mulai dari agama dan keadilan sosial, kemanusiaan, kebudayaan, hingga spiritualitas ekologis.
Departemen Litbang DPP Ahlulbait Indonesia mengumumkan bahwa seluruh materi dan pemikiran dari lima seri diskusi ini akan dibukukan dalam satu terbitan komprehensif, yang merangkum pandangan para narasumber dari berbagai disiplin ilmu (agama, filsafat, sosial, ekonomi, kebudayaan dan ekologi). Buku tersebut rencananya akan diluncurkan pada bulan Desember 2025 sebagai wujud konkret dari komitmen ABI dalam mengembangkan Beragama Maslahat sebagai paradigma ilmiah dan praksis sosial.
Melalui inisiatif ini, Ahlulbait Indonesia (ABI) menegaskan komitmennya untuk terus menyumbangkan gagasan dan pemikiran strategis bagi pembangunan bangsa. Rangkaian lima seri Diskusi Beragama Maslahat yang membahas dimensi agama, keadilan sosial, hukum, ekonomi dan ekologi, menjadi wujud nyata kontribusi ABI dalam menghadirkan agama sebagai sumber inspirasi bagi kebijakan publik dan arah pembangunan nasional yang berkeadaban. Beragama Maslahat bukan sekadar tema diskusi, tetapi gerakan intelektual dan moral untuk memastikan bahwa kemajuan bangsa selalu berpijak pada nilai iman, akal, dan kemaslahatan manusia serta alam. [SN]
Baca juga : Pelantikan Pengurus Baru DPD ABI Jakarta Selatan 2024–2029 Resmi Digelar, Diawali Rakerda
