Kegiatan ABI
Hamparan Hikmah dari Silaturahmi DPW DKI bersama Ustadz Abdullah Assegaf
Ciomas, Minggu, 13 Juli 2025 — Sekira pukul 11.00 WIB, dua orang pengurus Dewan Pimpinan Wilayah Ahlulbait Indonesia (DPW ABI) DKI Jakarta tiba di kediaman Ustadz Abdullah Assegaf, anggota Dewan Syura ABI, di kawasan Ciomas, Jawa Barat. Mereka disambut dengan hangat dalam suasana yang memancarkan ketulusan, kelembutan, dan keluasan jiwa sang tuan rumah.
Adalah Anies Muhammad, Ketua DPW ABI DKI, dan Abdul Hakim, Sekretaris DPW, yang datang membawa niat bersilaturahmi, menjemput ilmu dan keberkahan. Dari siang hingga menjelang petang, tepat pukul 17.00 WIB, ‘ngangsu ilmu’ berlangsung khidmat, mengalir dalam keheningan yang penuh makna. Majelis tersebut menjadi ruang bagi pertukaran pandangan, peneguhan komitmen, dan penyemaian hikmah dari sang guru yang telah lama menjadi lentera umat.
Dari pertemuan sederhana ini, mereka membawa pulang oleh-oleh paling berharga, yakni hamparan butiran hikmah, sulaman nasihat, dan mutiara kebijaksanaan. Nilainya melampaui ukuran materi, karena tak setiap perjumpaan menghadirkan curahan ilmu yang menyejukkan dan menggugah seperti ini.
Kini, oleh-oleh rohani itu kami sajikan kepada para pembaca website ABI agar manfaatnya menjalar lebih luas, dan cahayanya menembus relung jiwa siapa pun yang membacanya. Semoga menjadi bekal perjalanan spiritual, penguat langkah perjuangan, serta pengingat akan pentingnya silaturahmi dalam membangun peradaban umat.
Perjuangan adalah Denyut Nadi Seorang Mukmin
Ustadz Abdullah Assegaf membuka nasihatnya dengan menegaskan bahwa perjuangan adalah denyut nadi kehidupan seorang mukmin. Bukan sekadar usaha lahiriah, melainkan juga pergulatan batin untuk tetap setia pada jalan Allah di tengah gelombang realitas dunia yang penuh tantangan. Dalam perjalanan itu, nilai-nilai keimanan menjadi kompas yang menuntun, lentera yang menerangi, dan kekuatan yang meneguhkan.
Pesan ini mengurai makna perjuangan dalam Islam, menggali keterkaitan antara akidah dan kehidupan sehari-hari, serta menjelaskan tahapan menuju derajat mulia sebagai hamba terbaik di sisi Allah.
Menolong Agama Allah: Janji Kemenangan Ilahi
Beliau mengutip ayat dalam Al-Quran: “Intansurullaha yansurkum wayutsabbit aqdamakum” (QS. Muhammad: 7), yang berarti: “Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Allah akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” Ayat ini, menurut beliau, adalah janji suci yang menegaskan bahwa ketika seorang hamba mengerahkan potensi terbaiknya dalam menegakkan agama Allah, maka Allah, Yang Maha Penolong (Allah Hua Nasirun), akan membimbing, membantu, dan memenangkannya.
“Menolong agama Allah bukan sekadar tindakan fisik,” ujarnya, “melainkan juga menjaga kemurnian hati, memperjuangkan kebenaran, dan menyebarkan nilai-nilai kebaikan dalam setiap aspek kehidupan. Ketika seorang hamba berjuang dengan ikhlas, Allah menjanjikan pertolongan-Nya yang tak terbatas, meneguhkan langkahnya di jalan yang lurus, dan melindunginya dari kegoyahan.”
Menyambungkan Akidah dengan Realitas Kehidupan
Beliau menjelaskan bahwa sering kali pengetahuan tentang akidah, seperti ketauhidan, kenabian, hari akhir, dan Imamah dianggap sebagai konsep abstrak yang terpisah dari kenyataan hidup sehari-hari. Padahal, akidah adalah fondasi yang menghidupkan setiap tindakan seorang mukmin.
“Pengetahuan tentang ketauhidan, misalnya, bukan hanya tentang meyakini keesaan Allah,” paparnya, “tetapi juga bagaimana keyakinan itu membentuk sikap dan perilaku dalam menghadapi tantangan hidup. Memahami bahwa Allah Maha Bijaksana dan Al-‘Alim (Maha Mengetahui) mendorong seorang hamba untuk bertindak dengan kesadaran, kepekaan, dan kebijaksanaan dalam kehidupan sosial.”
Untuk menjembatani akidah dengan realitas, lanjutnya, dibutuhkan tindakan yang kontekstual dan terarah. Ilmu pengetahuan seperti sosiologi, antropologi, dan psikologi menjadi alat (ikhtiari) untuk memahami dinamika masyarakat dan kebutuhan zaman.
“Dengan ilmu, seorang mukmin dapat menentukan sikap yang tidak bertentangan dengan ajaran agama, namun tetap relevan dalam konteks kehidupan,” tandasnya. Beliau memberi contoh bagaimana prinsip keadilan dalam Islam dapat diterapkan dalam membangun sistem sosial yang inklusif, tanpa kehilangan esensi tauhid. “Sebab,” tegasnya, “kebenaran mensyaratkan ketepatan.”
Tantangan Duniawi dan Godaan Penyimpangan
Di era modern, menurut Ustadz Abdullah, banyak kaum Muslim memahami ajaran agama, namun terjebak dalam penyimpangan karena tergoda oleh gemerlap dunia. Realitas kehidupan, tekanan ekonomi, ambisi pribadi, atau budaya konsumtif sering kali membuat seseorang mengabaikan nilai-nilai keimanan.
“Mereka mungkin sadar bahwa perbuatannya bertentangan dengan syariat,” terangnya, “namun godaan duniawi membuat mereka memilih jalan yang keliru.”
Fenomena ini, menurut beliau, mencerminkan lemahnya Muqawamah, kekuatan untuk melawan tantangan batin seperti kemalasan, nafsu, atau ketakutan akan kegagalan. Muqawamah berasal dari akar kata qawama, yang merujuk pada keteguhan dalam menghadapi rintangan, baik dari dalam diri maupun dari luar.
“Seorang hamba yang memiliki Muqawamah,” jelasnya, “mampu melawan rasa malas, menundukkan nafsu, dan menjaga komitmen di jalan Allah.”
Namun, beliau menambahkan bahwa Muqawamah saja tidak cukup. Diperlukan Istiqomah, keteguhan hati untuk tetap berada di rel perjuangan tanpa goyah. “Istiqamah,” lanjutnya, “adalah kemampuan untuk konsisten dalam kebenaran meskipun dihadapkan pada berbagai godaan dan cobaan.”
Baca juga : Ketum ABI: Ikhtiar Organisasi dalam Mengemban Amanah Rencana Agung Ilahi
Dari Islam Kecil Menuju Iman Besar: Tahapan Perjuangan Jiwa
Untuk mencapai Istiqomah, seorang hamba harus melalui tahapan spiritual yang terstruktur. Perjalanan dimulai dari Islam Kecil, yaitu pengucapan syahadat: La ilaha illallah, Muhammadur Rasulullah. Dengan pengakuan ini, seseorang masuk Islam dan meninggalkan kekafiran, namun ini baru awal.
Tahap berikutnya adalah Islam Besar, di mana syahadat diresapi dalam hati dan menjadi pusat kehidupan. Allah berfirman: “Ya ayyuhalladzina amanu, aminu billahi wa rasulihi…” (QS. An-Nisa: 136), yang artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya…”
“Ayat ini menegaskan pentingnya memperdalam keimanan hingga menjadi keyakinan kokoh di dalam hati,” jelasnya, “sehingga seorang benar-benar menjadi Muslim, bukan hanya secara identitas, tetapi secara hakikat.”
Setelah itu, seorang hamba memasuki tahapan Iman Kecil, yakni menjalankan syariat Allah, mengerjakan yang wajib dan menjauhi yang haram.
“Namun perjalanan tidak berhenti di situ,” ujarnya. “Seorang hamba harus melangkah menuju Iman Besar, di mana syariat menyatu dengan hidupnya.” Misalnya, saat waktu salat tiba, ia segera menunaikannya tanpa tunda, dengan penuh keikhlasan.
“Inilah ciri seorang Mukmin sejati, lawan dari munafik,” tegasnya. Allah berfirman: “Innal munafiqina idza qamu ila sholati qamu kusala…” (QS. An-Nisa: 142) yang artinya: “Sesungguhnya orang-orang munafik, apabila berdiri untuk salat, mereka berdiri dengan malas…”
Setelah mencapai Iman Besar, seorang hamba dituntut untuk berhijrah dan berjihad. Allah berfirman: “Ya ayyuhalladzina amanu billahi wa rasulihi summa hajaru wa jahadu…” (QS. Al-Anfal: 74). “Hijrah,” terang beliau, “bukan sekadar perpindahan fisik, tetapi transformasi batin dari kepentingan pribadi menuju kepentingan umat.”
Sedangkan Jihad, tambahnya, “adalah ikhtiar keras melawan tantangan, baik dari dalam maupun dari luar, demi tetap berada di jalan Allah.”
Lima Sifat Mulia Menuju Derajat Ahsanul Ibad
Hamba yang telah menempuh tahapan tersebut akan dianugerahi lima sifat mulia yang menjadikannya Ahsanul Ibad (sebaik-baik hamba), yakni:
1. Bila berbuat kebaikan maka bergembira: Jika berbuat baik, seorang hamba bergembira karena ia telah menaati Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Kegembiraan ini bukanlah kesombongan, melainkan rasa syukur atas taufik dari Allah.
2. Bila bermaksiat maka memohon ampun: Jika terjerumus dalam maksiat, ia segera beristighfar, menyadari kelemahannya sebagai manusia dan memohon ampunan Allah. Istighfar adalah pintu taubat yang menjaga hati tetap bersih.
3. Bila peroleh nikmat maka bersyukur: Ketika diberi nikmat, ia bersyukur dengan menggunakan nikmat tersebut di jalan Allah, bukan untuk kesenangan duniawi semata. Syukur adalah tanda hati yang hidup.
4. Bila ditimpa cobaan maka bersabar: Saat menghadapi ujian, ia bersabar, meyakini bahwa setiap cobaan adalah bagian dari rencana Allah untuk menguatkan imannya. Sabar adalah benteng yang melindungi dari keputusasaan.
5. Berserah Diri kepada Allah: Sifat kelima ini adalah ketergantungan penuh kepada Allah dalam setiap langkah hidup. Seorang hamba yang bertawakkal menyerahkan hasil usahanya kepada Allah, sambil tetap berikhtiar dengan maksimal.
Derajat Ahsanul Ibad dan Ujian Tertinggi
Meski telah mencapai derajat Ahsanul Ibad, perjuangan belum usai. Hamba seperti ini akan diuji dengan menjaga rahasia Allah, termasuk perkara kegaiban seperti keberadaan Imam Mahdi. Ujian ini menuntut kesetiaan yang sempurna, meskipun realitas gaib sulit dijangkau oleh akal manusia.
Lebih jauh, derajat ini juga diuji untuk menghapus keakuan (ana’iyyah) hingga yang tersisa hanyalah Allah. Dia melihat dengan pandangan Allah, berbicara dengan lisan-Nya, dan mengetahui dengan cahaya-Nya.
Menutup tauisiyah, Ustadz Abdullah mengatakan bahwa, dalam Adab as-Shalat, Imam Khomeini memohon kepada Allah agar diberi ketaatan sempurna, ketaatan yang lahir dari cinta dan kepasrahan total. Itulah puncak perjuangan spiritual, yakni menjalankan perintah Ilahi bukan karena beban, melainkan karena cinta yang dalam.
Penutup: Menyinari Dunia dengan Cahaya Keimanan
Perjuangan seorang hamba adalah perjalanan panjang menuju Allah. Dengan Muqawamah dan Istiqomah, seorang Mukmin mampu melawan godaan dunia dan tetap teguh di jalan kebenaran. Melalui tahapan Islam Kecil, Islam Besar, Iman Kecil, dan Iman Besar, disertai Hijrah dan Jihad, akan membangun fondasi spiritual yang kokoh.
Kelima sifat mulia yaitu farah, istighfar, syukr, sabar, dan tawakkal, menjadikannya Ahsanul Ibad, hamba bercahaya yang menjadi petunjuk bagi sekitarnya. Pada akhirnya, perjuangan ini adalah tentang menyerahkan diri seutuhnya kepada Allah, sehingga setiap langkah, pandangan, dan ucapan menjadi cerminan kehendak Ilahi.
Semoga kita semua diberi taufik untuk menapaki jalan ini dengan keikhlasan dan keteguhan. []
Baca juga : ABI DKI dan GP Ansor Merajut Sinergi Keumatan di Tengah Keberagaman Jakarta
