Kegiatan ABI
Ketua Umum ABI: Haji Bukan Sekadar Ritual, Tapi Jalan Menuju Makrifah
Jakarta, 29 Mei 2025 – Ketua Umum Ahlulbait Indonesia (ABI), Ustadz Zahir Yahya, menyampaikan refleksi tajam mengenai hakikat dan orientasi ibadah haji dalam sambutan pembuka rapat rutin dengan Dewan Pimpinan Pusat ABI di Jakarta, Kamis (29/5). Beliau menekankan bahwa haji adalah ibadah yang paling rentan dipenuhi niat selain karena Allah, lantaran bersifat terbuka dan disaksikan banyak orang.
“Haji itu ibadah yang sangat terbuka. Karena itu, sangat mungkin disusupi motif selain penghambaan kepada Allah; bisa jadi wisata, bisa jadi bisnis, atau sekadar prestise sosial,” ujar Ustadz Zahir di hadapan para pengurus pusat ABI.
Renungan Pemaknaan Fisik Ibadah
Dalam momentum menjelang Idul Adha yang bertepatan dengan musim haji, Ustadz Zahir mengajak merenungkan kembali alasan utama di balik pelaksanaan ibadah tersebut. Beliau mempertanyakan realitas modern di mana jutaan orang berduyun-duyun ke Tanah Suci, sementara dampak spiritual sering kali tak sebanding dengan pengorbanan yang dikeluarkan.
“Kenapa kita melaksanakan ibadah haji? Kita menyaksikan orang berbondong-bondong ke Makkah, ke sebuah tempat yang semakin dipadati bangunan, sementara keuntungan ekonominya justru dinikmati pihak-pihak non-Muslim. Bahkan sering kali menimbulkan korban jiwa. Maka kita perlu bertanya; kita berhaji untuk apa?” katanya.
Menurutnya, ibadah haji hanya akan bermakna jika mampu mengantarkan pelakunya pada Makrifah, yakni pengenalan yang mendalam terhadap Allah. Beliau mengingatkan bahwa ritual fisik dalam ibadah haji hanya akan tampak absurd jika tidak dipahami dengan makna batinnya.
“Kalau berhenti pada aspek lahiriah, haji bisa terlihat konyol di mata orang luar, seperti berlari-lari kecil, mencium batu, melempar jumrah. Namun semua itu adalah simbol yang menggambarkan perjalanan jiwa menuju Tuhan,” jelasnya.
Haji Sebagai Jalan Menuju Makrifah
Ustadz Zahir mengutip kisah Imam Ali Zainal Abidin yang merespons kekaguman seorang sahabat terhadap banyaknya jemaah haji pada masanya. Imam menjawab, “Betapa bisingnya suara, namun sedikit sekali yang benar-benar berhaji.”
Dalam pandangannya, esensi dari ibadah bukanlah pada jumlah maupun rutinitas ritual, tetapi pada pencapaian spiritual yang menumbuhkan kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam seluruh aspek kehidupan.
Baca juga : DPW ABI Jatim Resmi Lantik Pengurus Baru, Tekankan Kinerja Solid dan Ketaatan Spiritual
Ustadz Zahir merujuk pada penafsiran Imam Ja’far Shadiq atas ayat “Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku” (QS. Adz-Dzariyat: 56), bahwa tujuan ibadah bukan semata-mata ritual, melainkan pengenalan terhadap Tuhan.
“Ketika seseorang benar-benar mengenal Tuhannya, maka kekuatan, kelembutan, keteguhan dan ilmu yang ia miliki akan mencerminkan sifat-sifat Allah. Inilah makna sejati dari ibadah,” jelasnya.
Arafah: Puncak Haji Adalah Makrifah
Ustadz Zahir juga menekankan pentingnya wukuf di Arafah sebagai inti dari ibadah haji, merujuk pada hadis Nabi Muhammad SAW yang menyatakan, “Al-Hajju Arafah“, yakni “Haji adalah Arafah”. Kata Arafah, dari akar kata ‘arafa’ (mengenal), menunjukkan bahwa puncak haji adalah ketika seseorang mengenal Allah secara mendalam.
“Ibadah adalah wasilah, bukan tujuan akhir. Tujuan sejatinya adalah Makrifah. Maka seseorang yang mengenal Tuhan, akan mencerminkan nilai-nilai ketuhanan dalam hidupnya. Dan ini seharusnya menjadi hasil dari pelaksanaan haji,” tegasnya.
Menuju Allah Dalam Segala Dimensi Kehidupan
Sebagai penutup, Ustadz Zahir mengajak kita semua untuk menjadikan seluruh aktivitas kehidupan, baik ibadah ritual, sosial, maupun aktivitas organisasi, sebagai bagian dari perjalanan menuju Tuhan. Beliau menekankan pentingnya niat yang lurus dalam setiap amal.
“Saat seseorang meninggalkan rumah untuk berhaji, ia mengucapkan; minallah, billah, ilallah, dari Allah, bersama Allah, menuju kepada Allah. Ini seharusnya menjadi spirit dalam setiap ibadah, bahkan dalam aktivitas kita di ABI sekalipun,” pungkasnya.
Beliau menambahkan bahwa seseorang bisa jadi tidak berangkat ke Tanah Suci secara fisik, namun jika hidupnya dipenuhi amal yang membawa pada Tuhan, maka ia tetap tengah ‘berhaji’ dalam makna yang hakiki. []
Baca juga : DPP ABI Gelar Diskusi Tematik Seri II: “Beragama Maslahat” dalam Konteks Sosial dan Kemanusiaan
