Ikuti Kami Di Medsos

Kegiatan ABI

Ketum ABI: “Maulid Nabi, Momentum Menghadirkan “Risalah” Rasulullah dalam Kehidupan Sehari-hari”

Ketum ABI: "Maulid Nabi, Momentum Menghadirkan “Risalah” Rasulullah dalam Kehidupan Sehari-hari"

Jakarta, 16 September 2025 – Dalam suasana penuh khidmat dan kehangatan, Dewan Pimpinan Pusat Ahlulbait Indonesia (DPP ABI) menggelar rapat reguler di kantor pusat DPP ABI pada Selasa, 16 September. Agenda rutin ini dibuka dengan sambutan mendalam dari Ketua Umum DPP ABI, Ustadz Zahir Yahya. Dalam sambutannya, beliau mengajak seluruh peserta rapat yang terdiri dari unsur pimpinan dan berbagai departemen, untuk merenungkan kembali makna hakiki Maulid Nabi Muhammad Saw., yang marak diperingati umat Islam di berbagai penjuru tanah air.

Ustadz Zahir membuka sambutannya dengan menyoroti betapa kuatnya budaya maulid ini di tengah masyarakat Indonesia. Baginya, ini bukan hanya tradisi, tetapi cerminan cinta yang sangat dalam terhadap Rasulullah.

“Maulid Nabi merupakan momentum terpenting dalam kehidupan keberagamaan Muslim di Indonesia. Bisa dikatakan, tidak ada hari tanpa maulid di negeri ini,” ucapnya.

Ustadz Zahir menjelaskan bahwa lantunan pujian kepada Nabi, pembacaan kisah kelahiran beliau, dan berbagai bentuk penghormatan lainnya telah menjadi bagian dari kehidupan umat, bahkan dalam momen-momen pribadi seperti tasyakuran, pernikahan, hingga khitanan. Namun menurutnya, perayaan ini seringkali hanya berhenti di tataran simbolik.

“Permasalahannya bukan pada perayaan maulid itu sendiri. Tapi apakah kita benar-benar menghidupkan risalah dan ruh Rasul dalam kehidupan kita?” tanyanya retoris.

Baca juga : Pelatihan Relawan ABI Responsif Diserbu Peserta dari Berbagai Daerah

Risalah dan Ruhnya yang Hidup

Dalam pandangan Ustadz Zahir, sosok Nabi Muhammad Saw,. memang telah wafat secara fisik, namun misi kenabiannya tak pernah mati. Justru di sinilah letak tanggung jawab umat, menghadirkan kembali nilai-nilai kenabian dalam kehidupan yang nyata.

“Sosok Rasulullah hidup dengan risalahnya dan ruhnya, bukan dengan jasadnya. Jasadnya berakhir dengan wafatnya, tapi risalah dan ruhnya hidup hingga hari ini,” tegasnya.

Beliau menekankan bahwa perayaan maulid seharusnya menjadi momen untuk menyalakan kembali komitmen terhadap risalah Rasul, dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, dan dalam cara kita menyikapi persoalan-persoalan sosial.

“Kita harus menghadirkan sosok Rasul dalam segala aktivitas. Dalam bagaimana kita berjuang, bersikap, dan berbicara. Itulah cara kita hidup bersama beliau,” ucapnya penuh tekanan.

Sosok Nabi Bukan Hanya Sisi Pribadi

Lebih lanjut, Ustadz Zahir mengingatkan bahwa relasi umat dengan Rasulullah tidak cukup hanya mencukupkan pada aspek personal. Umat terlalu sering terjebak pada kekaguman terhadap pribadi beliau, tetapi lalai menggali kedalaman risalah yang dibawanya.

“Menyanjung Rasul secara fisik, sifat, dan karakternya tentu baik, terpuji dan layak jadi perhatian kita. Tapi jangan lupa, bahwa pribadi Rasul yang indah itu adalah pribadi yang membawa risalah. Dan risalah itulah yang terkait langsung dengan kita,” ungkapnya.

Beliau juga mengajak untuk memahami bagaimana Allah memperkenalkan Rasul kepada umat-Nya, bukan sebagai fisik Muhammad bin Abdullah semata, tapi sebagai utusan pembawa misi.

“Titik tekan Allah ketika mengenalkan Rasul adalah pada risalahnya. Dalam berbagai ayat, Rasulullah selalu disebut sebagai pembawa risalah,” jelasnya sambil mengutip QS Ali Imran: 144, QS Al-Ahzab: 40, dan QS Al-Kahfi: 110.

Ustadz Zahir Yahya menyoroti sebuah fenomena yang semestinya mendapat perhatian lebih dari umat Islam, yakni tingginya kepekaan terhadap penghinaan pribadi Rasulullah, namun lemahnya respons ketika ajaran dan risalah beliau diabaikan atau bahkan dilecehkan.

“Umat Islam lebih peka pada aspek personal daripada risalah. Padahal, ketika risalah dinistakan, kita seharusnya jauh lebih peka dan tegas,” ungkapnya.

Menurut beliau, aspek pribadi dan risalah Nabi semestinya tidak dipisahkan. Keduanya memiliki kedudukan penting dan harus mendapat perhatian yang seimbang dari umat Islam. Namun belakangan ini, muncul kecenderungan untuk mereduksi risalah kenabian hanya sebatas pada karakter pribadi Rasul yang santun dan penuh kasih, tanpa menggali kedalaman misi kenabiannya.

“Yang lebih berbahaya adalah ketika peran risalah direduksi menjadi hanya kelembutan personal Nabi. Misalnya, istilah rahmatan lil ‘alamin hanya dimaknai sebagai kelembutan beliau terhadap musuh-musuhnya. Padahal, makna rahmat itu berkaitan langsung dengan ajaran, bukan semata perasaan pribadi,” jelasnya.

Ustadz Zahir menegaskan bahwa risalah kenabian adalah rahmat karena Rasulullah mengajarkan cara pandang yang lebih manusiawi dan utuh terhadap sesama manusia.

“Rahmat ini bukan sekedar ungkapan indah. Ini bukan tentang rasa iba atau kelembutan semata. Risalah rahmat adalah ajakan untuk melihat manusia secara utuh, dengan empati. Memandang seseorang seolah-olah kita berada di posisinya. Dari sini akan lahir sikap toleran, persatuan, dan empati yang sejati,” paparnya.

Ustadz Zahir mengajak umat untuk Kembali merenung, sudahkah kita memahami Rasul dengan cara yang benar dengan tidak membatasi makna kenabiannya, tuturnya.

Baca juga : Muslimah ABI DKI Jakarta Lantik Pengurus Baru, Fokus pada Keluarga dan Pemberdayaan Sosial

Kelahirannya Dirayakan, Wafatnya Dilupakan

Salah satu pesan tajam yang disampaikan Ustadz Zahir Yahya adalah soal ketimpangan dalam tradisi peringatan Maulid Nabi. Menurutnya, umat Islam cenderung begitu antusias merayakan kelahiran Rasulullah, namun melupakan momen wafatnya, yang seolah-olah kesedihan atas kepergian beliau dianggap tidak penting atau sengaja diabaikan.

“Kita jangan larut dalam sikap yang tidak proporsional. Jangan hanya bergembira saat Nabi lahir, tapi tidak bersedih saat beliau wafat. Bahkan, seakan-akan umat sengaja menutup sejarah yang menyertai saat beliau wafat,” ujarnya.

Ustadz Zahir kemudian mengajak kita untuk menyeimbangkan antara ekspresi cinta saat memperingati kelahiran Rasulallah dengan empati dan penghormatan yang sesuai saat mengenang wafatnya. Karena menurut beliau, kedua peristiwa itu, sama-sama bermakna dan layak untuk direnungkan sebagai bagian dari warisan spiritual yang utuh.

Meskipun kelahiran dan wafat Nabi diyakini berada di tanggal yang sama, menurutnya umat seharusnya punya waktu khusus untuk mengenang wafatnya, bukan hanya merayakan awal kehidupan beliau.

Kita Harus Hadir dengan Tradisi Khasnya

Menutup sambutannya, Ustadz Zahir Yahya menyampaikan pesan penting kepada komunitas Ahlul Bait. Beliau menekankan bahwa Syiah memiliki kekayaan tradisi yang khas, dan sudah seharusnya tradisi itu hadir di tengah masyarakat secara positif dan konstruktif.

“Syiah di tengah umat Islam ini seharusnya bisa mewarnai dengan tradisi khasnya, tanpa perlu menganggap tradisi yang ada sebagai sesuatu yang buruk,” tegasnya berulang kali, seraya mengingatkan pentingnya menjaga dan merawat tradisi yang telah dimiliki masyarakat Islam.

Menurut beliau, menjaga keunikan tradisi Syiah bukan berarti menegasikan tradisi lain, tetapi justru menjadi kontribusi dalam memperkaya khazanah keberagamaan umat Islam secara keseluruhan. Ekspresi spiritual yang dimiliki komunitas Syiah, lanjutnya, harus dihadirkan secara seimbang, baik dalam momen kegembiraan maupun dalam suasana duka.

“Harus ada upaya serius untuk menghadirkan tradisi Syiah, baik di momen kegembiraan maupun kesedihan. Jangan sampai kita kehilangan jati diri dan lupa membangun kembali tradisi khas yang menjadi kekuatan kita,” tutupnya.

Sambutan Ustadz Zahir dalam rapat DPP ABI kali ini tidak hanya menjadi refleksi atas peringatan Maulid, tetapi juga seruan mendalam untuk menyelami kembali esensi risalah Nabi. Dalam pandangan Ustadz Zahir, mencintai Rasulullah tidak cukup diwujudkan lewat pujian atau perayaan semata, melainkan dengan komitmen untuk menghidupkan ajaran dan misi beliau dalam kehidupan nyata, untuk hari ini, esok, dan seterusnya.[]

Baca juga : DPD ABI Jakarta Timur Resmi Terima Surat Keterangan Lapor (SKL) dari Kesbangpol