Kegiatan ABI
Kurikulum Berganti, Pendidikan Terombang-ambing: Catatan Kritis Ustadzah Euis di Hari Pendidikan Nasional

Ahlulbait Indonesia — Dalam perbincangan dalam Podcast ABI bertajuk “Prisma Edukasi: Merajut Karakter Remaja Lewat Tiga Pilar Kehidupan”, yang tayang pada Ahad, 18 Mei 2025, Ustadzah Euis Daryati, Lc., M.A.(pengajar, penulis, dan Pimpinan Nasional Bidang Perempuan, Anak, dan Keluarga sekaligus Pimnas Muslimah ABI), menyampaikan kritik tajam terhadap arah pendidikan Indonesia.
Momentum Hari Pendidikan Nasional, menurut Ustadzah Euis, semestinya menjadi refleksi mendalam tentang ke mana arah pendidikan bangsa dibawa. Ia menyebut sistem pendidikan nasional saat ini “terjebak dalam pusaran kebijakan yang berubah tanpa arah yang pasti”.
Sebagai pendidik sekaligus pengelola lembaga pendidikan, Ustadzah Euis menyoroti perubahan kurikulum yang terlalu cepat dan tidak terukur: mulai dari KTSP (2006), Kurikulum 2013 (K-13), hingga Kurikulum Merdeka (2022).
“Satu kurikulum belum matang, belum sempat dievaluasi, sudah diganti lagi. Guru belum menguasai, murid malah jadi ajang percobaan,” kritiknya.
Ia menilai kebijakan semacam itu tak hanya membingungkan guru dan wali murid, tetapi juga berdampak pada inkonsistensi dalam pembentukan karakter peserta didik. Bagi Ustadzah, pendidikan sejatinya bukan sekadar transfer ilmu (ta’līm), melainkan juga tarbiyah, proses mendampingi, membina, dan menanamkan nilai-nilai moral dan spiritual.
“Digitalisasi hanya menyentuh aspek intelektual. Karakter dan spiritualitas justru terpinggirkan. Padahal dua hal ini yang membuat anak kuat menghadapi zaman,” tegasnya.
Baca juga : Seminar, Pelantikan dan Rakerwil Pimwil Muslimah ABI Kaltim Periode 2025–2030
Ustadzah Euis menyebut bahwa solusi pendidikan tidak bisa dibebankan hanya kepada sekolah. Sinergi empat pilar, keluarga, sekolah, masyarakat, dan negara harus dihidupkan. Dalam konteks kenakalan remaja, seperti tawuran, geng motor, dan penyalahgunaan narkoba, ia menekankan perlunya analisis akar masalah.
“Kita hidup di tengah masyarakat fatherless. Banyak remaja kehilangan figur ayah. Sekolah pun tak selalu mampu mendampingi. Maka krisis identitas pun meledak,” paparnya.
Mengenai wacana pendidikan militer bagi remaja pelanggar hukum seperti yang diterapkan di Jawa Barat, Ustadzah Euis memandangnya sebagai opsi terakhir yang layak dikaji, sepanjang seluruh pendekatan pendidikan sebelumnya telah ditempuh.
“Bukan semua anak perlu cara itu. Tapi bagi yang membahayakan dirinya dan lingkungan, pendekatan militer bisa menjadi jalan terakhir, tentu dengan prosedur dan pembinaan yang jelas,” imbuhnya.
Di akhir dialog, Ustadzah Euis menekankan pentingnya pendidikan agama sebagai kompas moral sekaligus fondasi spiritual anak. Ia menolak pendekatan keagamaan yang kering, sebatas doktrin hukum.
“Pendidikan agama bukan hanya tahu halal-haram, tapi juga merawat jiwa. Anak yang dibekali agama sejak dini akan mampu menjaga diri, bahkan di luar jangkauan orang tua,” ujarnya.
Ia mengutip Surah An-Nisa ayat 9 sebagai peringatan agar generasi lemah tidak menjadi warisan masa depan: “Dan hendaklah takut orang-orang yang andaikan mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka…”
“Tujuan pendidikan bukan mencetak anak yang hanya bisa bersaing, tapi yang kuat menghadapi kesulitan hidup, berakhlak, dan mandiri dengan kecerdasannya,” pungkasnya.[]
Baca juga : Pelantikan Pengurus DPW ABI NTB dan Rakerwil Digelar di Ampenan