Ikuti Kami Di Medsos

Kegiatan ABI

LAPORAN KHUSUS #PODCAST ABI | Iran Pasca Konflik 12 Hari: Bagaimana Kondisi Sebenarnya di Iran Hari Ini?

LAPORAN KHUSUS #PODCAST ABI | Iran Pasca Konflik 12 Hari: Bagaimana Kondisi Sebenarnya di Iran Hari Ini?

Ahlulbait Indonesia — Di balik rentetan rudal dan narasi perang 12 hari antara Iran dan Israel yang berlangsung sejak 13 hingga 24 Juni 2025, tersimpan realitas lain yang nyaris tak tersentuh oleh sorotan media internasional.

Laporan eksklusif Podcast Media ABI, yang tayang pada Rabu, 9 Juli 2025, berjudul: Iran Pasca Konflik 12 Hari: Bagaimana Kondisi Sebenarnya di Iran Hari Ini?, membawa kita ke jantung Iran, kota suci Qom. Adalah Ismail Amin, pengamat Timur Tengah dan Poros Perlawanan yang menetap di kota tersebut, membeberkan bahwa kondisi domestik Iran justru menunjukkan stabilitas yang tak terduga.

“Situasi di sini relatif stabil dan normal. Aktivitas pendidikan, ekonomi, dan perkantoran berjalan seperti biasa. Sejak awal konflik selama 12 hari dengan Israel, Kota Qom sendiri tetap terasa normal. Tidak tampak ada kekhawatiran yang berlebihan dari warga. Tidak ada panic buying atau kepanikan di pusat-pusat perbelanjaan. Semua berjalan sebagaimana mestinya,” ungkap Ismail dalam perbincangan bersama host Billy Joe.

Apakah narasi global telah dibentuk secara selektif? Ataukah ada konstruksi persepsi yang sengaja dirancang? Laporan ini menyusuri celah di balik layar, menelisik fakta yang tak muncul di permukaan.

Kondisi Umum: Stabilitas Fungsional di Tengah Siaga Tinggi

Menurut Ismail, kehidupan di sebagian besar kota Iran, termasuk Qom, berlangsung normal. “Tidak ada panic buying, sirene, atau pelarian massal seperti yang umum diasosiasikan dengan situasi perang,” ungkapnya.

Menurutnya, “saat perang berlangsung, kami masih melihat ada roket-roket yang melintas di langit Qom. Fasilitas nuklir Fordow, yang hanya berjarak sekitar 30 km dari Qom, juga beberapa kali menjadi sasaran percobaan serangan oleh Israel maupun Amerika Serikat. Hal serupa juga terjadi di kota Esfahan dan Natanz. Meski sempat diserang, warga Esfahan tetap beraktivitas seperti biasa keesokan paginya,” ungkap Ismail Amin.

Bahkan, Amerika yang disebut-sebut berkekuatan besar, justru tidak merasakan apapun. Malam itu kami tidur seperti biasa, tidak terdengar ledakan atau getaran. Pagi harinya, sekitar pukul 4 subuh, kami menyalakan televisi dan baru mendapat informasi bahwa telah terjadi serangan malam sebelumnya, tandasnya.

Ini menunjukkan betapa masyarakat Iran memiliki ketahanan mental yang luar biasa dalam menghadapi situasi seperti ini.

Memang berbeda dengan Teheran, yang menjadi target serangan lebih masif dibanding kota-kota lain. Di sana sempat terjadi pembatasan-pembatasan oleh aparat keamanan. Bahkan, sebagian warga Teheran memilih mengungsi ke kota-kota yang dianggap lebih aman.

Menurut Ismail, KBRI di Teheran pun menanggapi situasi tersebut dengan serius. Berdasarkan instruksi dari pusat, mereka melakukan dua tahap evakuasi WNI. Tahap pertama, sebanyak 97 WNI telah berhasil dipulangkan ke tanah air. Tahap kedua dilakukan baru-baru ini, sekitar dua hari yang lalu, dengan mengungsikan 24 WNI ke Azerbaijan. Selebihnya, khususnya para pelajar, karena mayoritas WNI di Iran adalah pelajar dan sebagian besar tinggal di Qom, masih memilih bertahan di sini karena kota ini relatif aman.

Spektrum Ancaman Perang Dua Arah

Menurut Ismail, Iran menghadapi dua medan konflik utama.

1. Serangan eksternal berupa drone dan jet tempur yang diluncurkan dari pangkalan militer AS di Irak.

2. Serangan internal oleh agen-agen intelijen Israel (Mossad) yang menyusup ke wilayah Iran dan melakukan sabotase serta pembunuhan terhadap ilmuwan dan perwira militer.

“Serangan dari luar datang melalui jet tempur dan drone, yang diluncurkan dari pangkalan militer Amerika Serikat di Irak. Sedangkan serangan dari dalam, dilakukan oleh agen-agen Mossad yang telah menyusup ke wilayah Iran. Mereka ini menjadi dalang dari berbagai operasi sabotase dan pembunuhan, yang menargetkan perwira militer dan ilmuwan nuklir Iran. Banyak korban jatuh akibat serangan dari dalam ini”, terangnya.

Ismail menjelaskan bahwa “serangan eksternal justru sering berfungsi sebagai distraksi, sementara serangan paling destruktif justru berasal dari dalam.” Penjara, rumah sakit, dan fasilitas umum diserang menggunakan drone kamikaze rakitan lokal.

Respons Iran: Fokus Pembersihan Internal, Bukan Perundingan

Iran tidak pernah menyepakati gencatan senjata formal. Deklarasi penghentian serangan yang diumumkan Donald Trump disebut sebagai keputusan sepihak. Menteri Luar Negeri Iran, Syed Abbas Araghchi, menegaskan bahwa tidak ada perundingan, mediator, atau dokumen resmi terkait penghentian perang.

Penghentian serangan militer Iran dilakukan demi fokus pada pembersihan infiltrasi internal. “Sekitar 700 agen Mossad berhasil ditangkap di berbagai wilayah seperti Teheran, Esfahan, dan Kermansyah,” kata Ismail.

Persepsi Syahid dan Strategi Psikologis

Pemakaman para syuhada digelar besar-besaran di Teheran dan kota lainnya. Bagi masyarakat Iran, kesyahidan bukan duka, melainkan kehormatan. Hal ini berbeda dari pendekatan Israel yang cenderung menyembunyikan jumlah korban.

“Di seluruh penjuru Iran, bahkan sampai ke kota tempat saya tinggal (Qom)ratusan ribu orang mengenakan kain kafan sebagai simbol kesiapan untuk berkorban. Ini menunjukkan bahwa agresi Israel dan Amerika tidak memecah belah Iran, justru menyatukannya lebih kuat dari sebelumnya”.

“Di Iran, foto syuhada dipajang, nama mereka diumumkan secara terbuka. Ini adalah mobilisasi psikologis dan ideologis,” ujar Ismail. Di Qom sendiri, prosesi pemakaman syuhada dilakukan hampir setiap hari, disertai gelombang dukungan publik.

Baca juga : Kehangatan dalam Keberagaman: ABI Pekalongan dan FKUB Satukan Langkah untuk Kerukunan

Motivasi Infiltrasi: Tiga Spektrum Agen Mossad

Iran mengidentifikasi tiga pola perekrutan agen intelijen asing:

1. Motif Ekonomi
Mayoritas berasal dari kalangan imigran Afghanistan. Iran saat ini menampung sekitar 4 juta pengungsi Afghanistan, termasuk yang ilegal. Banyak dari mereka bekerja di sektor informal, buruh bangunan, pekerja kasar, dan sebagainya. Posisi mereka dekat dengan infrastruktur strategis, mereka membangun terowongan, fasilitas militer bawah tanah, bahkan instalasi nuklir. Maka, mereka menjadi sasaran empuk perekrutan oleh intelijen asing. Imbalannya besar mulai dari $1.000 hingga $20.000 hanya untuk informasi posisi atau denah suatu lokasi strategis.

2. Motif Ideologi
Kelompok MKO (Munafiqin Khalq) menjadi salah satu yang paling berbahaya. Sejak awal revolusi, mereka menentang pemerintahan Islam Iran. Dulu mereka dicap sebagai organisasi teroris oleh AS karena aktivitas kekerasannya, membajak pesawat, meledakkan kereta api, dan sebagainya. Tapi kini mereka didukung penuh oleh Barat. Markas mereka ada di Albania, Prancis, Jerman, dan aktivitasnya dibiayai oleh AS dan Israel.

3. Motif Ego atau Gaya Hidup
Ini lebih banyak berasal dari kalangan masyarakat Iran sendiri, terutama kelas menengah atas dan kaum muda. Mereka tidak puas dengan sistem pemerintahan Islam. Mereka ingin kebebasan seperti di Barat, tidak wajib berjilbab, bisa berpesta, bisa menggunakan media sosial dengan bebas seperti TikTok atau Instagram, bahkan bisa menghasilkan uang dari platform-platform itu.

Ismail menyebut bahwa imbalan finansial untuk informasi strategis bisa mencapai USD 20.000. “Bahkan pekerja rumah tangga bisa jadi informan efektif untuk peta rumah pejabat,” jelasnya.

Pemeriksaan Ketat, Tapi Tidak Represif

Peningkatan patroli dan pemeriksaan kendaraan terlihat di seluruh kota besar, namun berlangsung dalam suasana kondusif. Pemerintah Iran mengimbau masyarakat untuk melapor jika menemukan aktivitas mencurigakan.

WNI, khususnya pelajar, sempat mengalami pemeriksaan berulang karena kemiripan fisik dengan warga Afghanistan. Penggunaan aplikasi seperti WhatsApp, Telegram, dan Instagram dibatasi selama perang. Komunikasi dialihkan ke platform lokal untuk memutus jalur komunikasi agen asing.

Perang Hibrida, Bukan Damai

Meski saat ini tidak terjadi pertempuran terbuka, Ismail menekankan bahwa status Iran masih dalam kondisi perang. “Ini bukan gencatan senjata, ini jeda taktis. Tidak ada jaminan bahwa Israel tidak akan menyerang sewaktu-waktu.”

Jadi, apa status sekarang? Perang belum berakhir. Menurutnya, para analis menyebut ini sebagai perang hibrida:

1. Ada unsur militer,
2. Ada perang intelijen,
3. Ada perang siber,
4. Dan yang paling masif, adalah perang informasi dan disinformasi.

“Banyak informasi yang beredar tentang Iran, seperti kabar bahwa Ayatullah Khamenei bersembunyi dan akan diadili oleh rakyat, itu adalah hoaks”, tegas Ismail.

“Berita-berita seperti ini justru lebih banyak tersebar di media-media luar, termasuk beberapa dari Indonesia. Sementara di Israel, berita-berita kerugian mereka difilter secara ketat agar tidak sampai ke publik internasional,” ungkapnya.

Bahkan badan seperti IAEA dituding Iran membocorkan data sensitif ke Barat, memicu pembekuan kerja sama. Namun media Barat menyebut Iran “keluar dari IAEA”, sebuah framing yang menurut Ismail sangat manipulatif.

Kritik Tegas Ismail “Iran Dibiarkan Sendiri, Dunia Islam Absen”

Iran dituding sebagai ancaman regional, namun negara-negara Teluk yang hidup liberal dan membeli senjata dari AS justru bebas dari tekanan. “Iran satu-satunya yang aktif membela Palestina secara militer, tapi justru disalahkan,” ujarnya.

Kondisi ini diperparah oleh ketidaktegasan Rusia dan Tiongkok. Hubungan dagang dan diplomatik mereka dengan Israel tetap berjalan. “Iran seringkali harus berjuang sendiri,” tegas Ismail.

Ketika ditanya bagaimana melihat pemakaman para syuhada dari korban agresi Israel yang digelar sangat besar-besaran. Bahkan seperti sebuah pesta rakyat. Apa sebenarnya pesan yang ingin disampaikan oleh masyarakat Iran melalui acara seperti itu?

Ismail Amin menegaskan. “Perbedaan paling mendasar antara Iran dan Israel dalam menyikapi kematian di medan perang adalah persepsi terhadap kematian itu sendiri. Bagi Iran, syahid adalah kehormatan. Bagi Israel, kematian adalah aib,” terangnua.

Menurut Ismail, Iran tidak menutup-nutupi jumlah korban, bahkan nama dan pangkat jenderal-jenderal yang gugur diumumkan hanya beberapa jam setelah insiden. Contohnya, ketika Jenderal Salami dan beberapa lainnya, yang pertama kali diumumkan bukan duka, tapi ucapan “tabrik” dan selamat atas kesyahidan mereka. “Itu bukan ironi, tapi memang representasi ideologis, kematian di jalan Allah adalah kemenangan”, tegas Ismail.

Sementara di Israel, jumlah korban, apalagi perwira tinggi, cenderung disembunyikan. “Mereka khawatir menurunnya moral pasukan. Sedangkan di Iran, setiap syuhada justru membakar semangat kolektif rakyat”, ungkapnya lagi.

Menurut Ismail, pemakaman besar-besaran ini adalah simbol kebanggaan nasional, dan Iran tidak melihat syuhada sebagai kerugian, tapi sebagai kehormatan. “Foto mereka dipajang, nama mereka diabadikan”, tegasnya.

Empat Pilar Ketahanan Iran

Ismail merangkum ketahanan Iran dalam empat fondasi.

1. Kemandirian Teknologi dan Militer
2. Investasi Strategis dalam Pertahanan
3. Legitimasi Ideologi Revolusi Islam
4. Solidaritas dan Partisipasi Rakyat

Menurutnya, “Iran bukan hanya bertahan secara fisik, tapi juga secara ideologis. Dan itu lebih sulit untuk dihancurkan.”

Catatan Redaksi:
Laporan ini disusun berdasarkan wawancara eksklusif yang ditayangkan dalam Podcast Media ABI tanggal 9 Juli 2025. Seluruh kutipan telah diverifikasi dan disusun ulang secara naratif untuk kepentingan jurnalistik, tanpa mengubah makna substantif narasumber. []

Baca juga : Peringatan Tragedi Karbala 1447 H di Malang: Menyambut Rencana Ilahi dan Kebangkitan Spirit Perlawanan