Kegiatan ABI
NAPZA di Indonesia: Mengurai Data, Stigma, dan Peluang Peran ABI Responsif
Jakarta, 14 Desember 2025 – ABI Responsif turut berpartisipasi dalam Lokakarya Pengurangan Dampak Buruk Narkotika dan Zat Adiktif Lainnya (NAPZA) bagi Pemuka Agama yang diselenggarakan oleh Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) di Jakarta pada 10–14 Desember 2025. Kehadiran ABI Responsif diwakili oleh Mujib Munawan, Sekretaris Pimpinan Nasional ABI Responsif, yang hadir sebagai representasi pemuda dan aktivis sosial Ahlulbait Indonesia.
Dalam forum tersebut, Mujib Munawan menegaskan bahwa persoalan penyalahgunaan NAPZA di Indonesia masih menjadi tantangan serius yang tidak dapat diselesaikan semata melalui pendekatan hukum. Isu ini, menurutnya, menyentuh lapisan kesehatan, sosial, psikologis, dan kemanusiaan, sehingga menuntut keterlibatan banyak aktor, termasuk organisasi keagamaan dan komunitas berbasis masyarakat.

Skala Masalah: Jutaan Orang dalam Situasi Rentan
Data Badan Narkotika Nasional (BNN) menunjukkan bahwa prevalensi penyalahgunaan NAPZA pada tahun 2023 mencapai 1,73 persen dari penduduk usia 15–64 tahun, setara dengan sekitar 3,3 juta orang. Pada kategori “pernah menggunakan NAPZA”, angkanya berada di kisaran 2,20 persen, menurun dibandingkan tahun 2021 yang mencapai 2,57 persen.
Namun, penurunan persentase tersebut tidak serta-merta mencerminkan berkurangnya kerentanan. BNN mencatat sekitar 312.000 pengguna berasal dari kelompok usia 15–25 tahun. Fakta ini menunjukkan bahwa generasi muda masih menjadi kelompok paling rentan, sementara tren kasus penyalahgunaan dan peredaran tetap menunjukkan dinamika yang mengkhawatirkan.
Data tersebut memperlihatkan bahwa fokus pada penegakan hukum saja belum cukup menjawab persoalan. Jutaan warga, termasuk remaja dan usia produktif, masih berada dalam lingkaran risiko yang membutuhkan intervensi sosial dan kemanusiaan.
Batas Pendekatan Represif dan Dampak Stigma
Kebijakan NAPZA di Indonesia hingga kini masih didominasi pendekatan represif dan kriminalisasi. Pendekatan ini kerap memperkuat stigma terhadap pengguna, menjadikan mereka takut mencari bantuan medis, psikologis, maupun spiritual.
Penyalahgunaan NAPZA sering kali berakar pada persoalan sosial dan psikologis: tekanan lingkungan, kemiskinan, depresi, relasi pertemanan, hingga minimnya akses rehabilitasi. Ketika pengguna diposisikan semata sebagai pelaku kriminal, ruang pemulihan justru menyempit. Stigma sosial membuat banyak pengguna, terutama generasi muda, memilih menyembunyikan kondisi mereka, alih-alih mencari pertolongan.

Peluang Peran ABI Responsif: Pendekatan Kemanusiaan Berbasis Komunitas
Di tengah keterbatasan pendekatan hukum, organisasi keagamaan dan kemasyarakatan memiliki posisi strategis sebagai jembatan antara negara, masyarakat, dan individu yang terdampak. ABI Responsif, sebagai bagian dari Ahlulbait Indonesia yang berfokus pada kerja sosial-kemanusiaan, memiliki potensi besar untuk berkontribusi secara nyata.
Pertama, melalui penyuluhan berbasis nilai dan empati. Pendekatan keagamaan yang menekankan kasih sayang, pemulihan, dan martabat manusia dapat membuka ruang aman bagi pengguna NAPZA untuk mencari bantuan tanpa rasa takut dan malu.
Kedua, pendampingan keluarga dan komunitas lokal. Dengan struktur organisasi yang melibatkan pemuda, perempuan, dan orang tua, ABI Responsif dapat berperan sebagai mediator dalam keluarga, memberikan pemahaman bahwa adiksi adalah persoalan kesehatan, bukan sekadar moralitas, serta membantu akses rehabilitasi dan reintegrasi sosial.
Ketiga, kolaborasi lintas aktor. ABI Responsif dapat menjalin kerja sama dengan BNN, layanan kesehatan, lembaga bantuan hukum, dan organisasi masyarakat sipil untuk membangun jaringan pendampingan yang bersifat bottom-up, melengkapi kebijakan top-down pemerintah.
Keempat, advokasi kebijakan dan perubahan persepsi publik. Melalui jaringan sosial dan kepercayaan komunitas, ABI Responsif dapat turut menggeser narasi dari pemidanaan menuju pemulihan, dengan menegaskan bahwa pengguna NAPZA tetap memiliki hak atas layanan kesehatan dan dukungan sosial.
Kelima, program preventif bagi generasi muda dan perempuan. Mengingat besarnya risiko pada kelompok usia muda, program edukasi, penguatan keluarga, support group, serta kegiatan komunitas berbasis nilai dapat memperkuat ketahanan sosial dan mencegah penyalahgunaan sejak dini.
Mengapa Pendekatan Holistik Menjadi Keniscayaan
Dengan jumlah pengguna yang mencapai jutaan orang, persoalan NAPZA tidak dapat dipandang sebagai isu kriminal semata. Ia adalah persoalan kesehatan publik, keluarga, dan masa depan sosial bangsa. Pendekatan yang inklusif, yang memadukan aspek hukum, medis, sosial, dan komunitas, menjadi kebutuhan mendesak.
Dalam konteks ini, tokoh agama dan organisasi keagamaan seperti Ahlulbait Indonesia melalui ABI Responsif dapat berperan sebagai katalis perubahan: mengurangi stigma, membuka akses rehabilitasi, dan membangun empati sosial.
Memanggil Kolaborasi Semua Pihak
Penanganan NAPZA di Indonesia harus melampaui logika penegakan hukum. Dibutuhkan kolaborasi antara negara, masyarakat sipil, keluarga, komunitas keagamaan, dan lembaga sosial-kemanusiaan. Tujuannya bukan sekadar menekan angka, tetapi memastikan bahwa pengguna NAPZA tidak disingkirkan, melainkan dibantu, dipulihkan, dan dikembalikan ke masyarakat secara bermartabat.
ABI Responsif, dengan orientasi sosial-kemanusiaannya, memiliki peluang untuk berdiri di garis depan perubahan narasi tersebut—dari kriminalisasi menuju kemanusiaan. Tanpa keterlibatan semua pihak, jutaan angka itu akan terus menjadi beban sosial, dan yang paling rentan akan tetap menjadi korban: generasi muda, keluarga, dan masa depan bangsa.[]
