Ikuti Kami Di Medsos

Kegiatan ABI

Oleh-oleh HMP dari Seminar: Merenungkan Keadilan Relasional Bersama Pdt. Jan Kris Harianto Sinaga

Oleh-oleh HMP dari Seminar: Merenungkan Keadilan Relasional Bersama Pdt. Jan Kris Harianto Sinaga

Bandung, 20 November 2025 – Saya tidak menduga bahwa salah satu percakapan paling berkesan dalam Seminar Agama-Agama (SAA) ke-39 justru terjadi bukan di dalam ruang utama, melainkan saat istirahat di pojok halaman GKPB Fajar Pengharapan, Satelit Lembang, Bandung Utara. Ketika kegiatan yang diselenggarakan PGI itu memasuki hari kedua, saya berkesempatan berbincang santai dengan Pdt. Jan Kris Harianto Sinaga dari GKPS Sumatra Utara.

Beberapa menit sebelumnya, kami baru saja mengikuti paparan Pdt. Darwin Darmawan tentang “Kebebasan Beragama di Indonesia: Integrasi Keadilan dan Harmoni melalui Paradigma Keadilan Relasional.” Materinya cukup menarik dan nampaknya sedikit mengubah cara pandang peserta. Ia mengajak peserta melihat kebebasan beragama bukan hanya soal aturan, tetapi soal bagaimana manusia merawat hubungan, yakni cara kita memperlakukan satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari.

Ide itu terbawa sampai ke ruang istirahat.

Baca juga : Paradigma Baru Humas ABI

Ruang Santai yang Berubah Menjadi Ruang Perenungan

Sementara peserta lain sibuk mengisi gelas kopi atau membuka kembali catatan, saya dan Pdt. Jan memilih duduk santai di area khusus untuk merokok di pojok luar halaman gereja, sebuah tempat kecil yang aman dari keramaian. Tidak ada rencana formal. Tidak ada catatan. Bertemunya dua orang dari tradisi yang berbeda, sama-sama ingin memahami kenyataan kerukunan yang sedang kita hadapi.

Saya membuka pembicaraan dengan menyebut prinsip yang sudah lama saya pegang tentang pandangan Imam Ali bin Abi Thalib bahwa “manusia adalah saudaramu dalam agama atau saudaramu dalam penciptaan.” Bagi saya, kalimat ini selalu menjadi pijakan moral yang sederhana tetapi tajam.

Pdt. Jan menanggapinya dengan tenang. Ia mengatakan bahwa gagasan itu sejalan dengan keyakinan gerejanya, bahwa martabat manusia adalah dasar dari segala hubungan. Menurutnya, di banyak wilayah Sumatra Utara, hidup berdampingan dengan beragam kelompok agama sudah menjadi bagian kehidupan sehari-hari, dan itu bertahan karena warga menjaga sikap saling menghormati.

Percakapan langsung mengalir. Tidak ada upaya menyamakan doktrin, tapi kami bertemu di ruang nilai yang sama.

Keadilan Relasional dalam Pengalaman Nyata

Apa yang disampaikan Pdt. Darwin di sesi sebelumnya tiba-tiba terasa sangat nyata. Keadilan relasional bukan teori abstrak. Ia lahir dari kesediaan melihat posisi orang lain secara manusiawi. Saya dan Pdt. Jan sama-sama menyadari bahwa kerukunan Indonesia banyak bertumpu pada kebiasaan masyarakat, yaitu musyawarah, gotong royong, saling menjaga, dan tidak mudah menghakimi.

Pdt. Jan bercerita bahwa di daerah-daerah tertentu, kerukunan tumbuh dari tindakan kecil, warga menjaga keamanan saat perayaan agama lain, ikut membantu saat ada keluarga yang berduka, atau saling mengingatkan agar tidak terjebak prasangka yang tidak perlu.

Saya menimpali dengan pengalaman di kota Jepara, terutama di Bondo dan Plajan. Di sana, perjumpaan antaragama terasa sangat wajar. Kawan-kawan Syiah pun tidak merasa canggung untuk duduk santai bersama warga dari agama lain. Tidak ada ketegangan yang dibuat-buat, karena interaksinya tulus. Dan sering kali, pertemuan sederhana seperti itu justru lebih efektif merawat kemanusiaan dibanding wacana megah yang berhenti sebagai simbol.

Baca juga : Ketua HMP ABI Wakili Islam dalam Doa Pembuka Seminar Nasional Agama-Agama PGI

Mengenali Bayangan Tantangan

Tentu percakapan tidak hanya berisi optimisme. Kami membahas tantangan yang makin nyata di depan mata.

Pdt. Jan mengangkat isu politik identitas yang mudah memecahkan hubungan yang telah dibangun bertahun-tahun. Satu unggahan di media sosial bisa memperkeruh suasana jika emosi sedang panas.

Saya menambahkan bahwa masalah hari ini bukan hanya perbedaan iman, tetapi persaingan narasi. Ketika ketakutan dijadikan narasi utama, orang berhenti saling mendekat. Tetapi ketika penghormatan yang menguasai ruang publik, masyarakat jauh lebih aman.

Kami akhirnya sepakat bahwa keadilan relasional membutuhkan keberanian moral dari para pemimpin agama dan ketegasan dari negara. Tanpa teladan, teori hanya akan menjadi poster yang mudah dilupakan.

Ketika bel tanda sesi berikutnya berbunyi, kami bangkit dan kembali ke ruangan seminar. Tetapi pikiran saya belum selesai. Percakapan itu meninggalkan kesan yang lebih kuat daripada materi mana pun hari itu.

Dalam benak saya, khususnya kepada kawan-kawan Ahlulbait Indonesia (ABI) dari ruang-ruang kecil yang sederhana, serambi gereja, pojok masjid, kantin kampus, warung kopi, ruang tunggu, bahkan bangku seadanya di teras rumah, adalah tempat di mana kerukunan bisa benar-benar tumbuh. Bukan forum besar, bukan panggung resmi, tetapi perjumpaan manusia apa adanya. Ruang-ruang itu menunggu untuk kita isi, dan kita yang menentukan apakah menjadi jembatan atau dinding.

Apa yang disampaikan Pdt. Darwin tentang keadilan relasional mendapat wujud nyatanya melalui dialog singkat itu. Teori dan pengalaman bertemu dalam satu kesimpulan sederhana: martabat manusia adalah fondasi yang tidak boleh digoyahkan oleh apa pun, dari tradisi mana pun.

Dan di udara sejuk Lembang pagi menjelang siang itu, saya kembali merasa bahwa dialog antariman bukan beban kerja, bukan tugas formal, tetapi proses belajar yang terus tumbuh dari perjumpaan yang jujur. []

Baca juga : DPD ABI dan Muslimah ABI Situbondo Kunjungi Bakesbangpol, Perkenalkan Pengurus Baru

Continue Reading