Kegiatan ABI
Pengamat Timur Tengah: Kunjungan Trump ke Teluk untuk Marginalisasi Palestina demi Agenda Amerika
Jakarta, 27 Mei 2025 — Pengamat Timur Tengah, sekaligus Pemerhati Isu Palestina dan Poros Perlawanan, Ismail Amin, menilai kunjungan Donald Trump ke Arab Saudi, Uni Emirat Arab (UEA), dan Qatar sebagai bagian dari strategi besar untuk menghidupkan kembali Poros Normalisasi dan melemahkan perlawanan Palestina. Pernyataan ini disampaikan dalam Podcast Media ABI yang tayang pada 27 Mei 2025, saat memberikan analisis mendalam terkait makna dan implikasi dari kunjungan tersebut.
Kebangkitan Kembali Poros Normalisasi
Dalam pembukaannya, Ismail Amin menegaskan bahwa kunjungan Trump ke tiga negara Teluk setelah terpilih kembali sebagai Presiden AS merupakan upaya untuk menghidupkan kembali Poros Normalisasi, sebuah kebijakan strategis yang bertujuan mendorong negara-negara Arab menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Upaya ini dinilai sejalan dengan warisan diplomatik Trump sebelumnya, seperti Perjanjian Abraham, yang menjadi instrumen utama dalam proses normalisasi hubungan Arab-Israel.
“Trump memanfaatkan relasi historis dan kepentingan strategis dengan negara-negara Teluk untuk menggiring opini dan kebijakan luar negeri mereka agar sejalan dengan kepentingan Amerika Serikat dan Israel, sekaligus menekan gerakan Perlawanan seperti Hamas dan Jihad Islam,” tegasnya.
Melemahnya Solidaritas Arab terhadap Palestina
Salah satu dampak langsung dari kebijakan tersebut, menurut Ismail Amin, adalah semakin terpinggirkannya isu Palestina dalam agenda politik negara-negara Teluk. Solidaritas Arab, katanya, kian melemah dan digantikan oleh kepentingan ekonomi serta keamanan domestik. Negara-negara Teluk dinilai lebih memilih stabilitas internal dan investasi dari Amerika dibanding memperjuangkan keadilan bagi Palestina.
Kooptasi Ekonomi dan Ketergantungan
Lebih lanjut, Ismail Amin menyoroti adanya kooptasi ekonomi yang dibangun Trump melalui penciptaan ketergantungan negara-negara Teluk terhadap Amerika Serikat, terutama dalam tiga aspek; keamanan regional, investasi energi dan dukungan teknologi militer.
“Ketergantungan ini digunakan sebagai alat tekanan agar negara-negara tersebut mengikuti arah kebijakan luar negeri Washington, termasuk dalam menekan perlawanan terhadap Israel,” ujarnya.
Anti-Netanyahu, Bukan Anti-Israel
Ismail juga menilai bahwa ketidakhadiran Israel dalam agenda kunjungan Trump kali ini bukan berarti ada perubahan sikap terhadap Zionisme. Menurutnya, Trump tetap pro-Israel, namun memiliki ketegangan pribadi dengan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang pada masa kampanye sebelumnya mendukung Joe Biden. “Ini adalah konflik politik personal, bukan ideologis,” katanya.
Baca juga : DPW ABI Jatim Resmi Lantik Pengurus Baru, Tekankan Kinerja Solid dan Ketaatan Spiritual
Polarisasi Sunni-Syiah dan Kemandirian Regional
Diskusi juga menyinggung narasi-narasi yang menggambarkan adanya polarisasi antara Poros Sunni yang pro-Barat dan Poros Syiah yang diasosiasikan dengan kubu Perlawanan yang tayang dalam “Podcast Forum Kramat Amerika dan Dunia Arab Pasca Kunjungan Presiden Donald Trump” pada Jumat, 23 Mei 2025, Ismail Amin mengkritik tajam pembingkaian semacam ini.
“Poros Perlawanan tidak bisa disederhanakan hanya sebagai Syiah, karena banyak elemen Sunni seperti Hamas juga termasuk dalam poros tersebut,” jelasnya. Ismail lebih menekankan pentingnya kemandirian politik dan ekonomi, sebagaimana ditunjukkan oleh Iran yang mampu bertahan dari embargo selama empat dekade dan tetap konsisten membela Palestina.
Dampak terhadap Indonesia
Ismail Amin juga menyoroti dampak tidak langsung dari lawatan Trump terhadap dinamika di Indonesia, dan mencatat munculnya kekecewaan di kalangan aktivis pro-Palestina dalam negeri.
“Mereka merasa dikhianati oleh negara-negara Arab yang justru menjalin kerja sama dengan Amerika dan Israel. Jika tidak dilandasi ideologi perlawanan yang kokoh, ini bisa memicu menurunnya semangat solidaritas masyarakat Indonesia,” ujarnya.
Harapan dari Dunia Barat
Meski dinamika kawasan menunjukkan tren yang kurang menggembirakan bagi Palestina, namun Ismail menutup diskusi dengan nada optimis. Ismail Amin melihat bahwa dukungan terhadap Palestina justru menguat di dunia Barat, terutama dari kalangan mahasiswa dan masyarakat sipil di Eropa serta Amerika Serikat yang berani menyuarakan penolakan terhadap agresi Israel. Mahasiswa-mahasiswa di kampus top AS dan Eropa membakar ijazah demi menolak hubungan dengan Israel. Demonstrasi pro-Palestina di Belanda jadi yang terbesar dalam sejarah negeri itu, bahkan Uni Eropa mulai memberikan tekanan diplomatik terhadap kebijakan Israel di Gaza dan Tepi Barat.
“Mereka tidak memiliki irisan ideologis maupun kultural dengan Palestina, tapi justru rela mempertaruhkan masa depan demi keadilan. Ini seharusnya menjadi cambuk bagi kita, umat Muslim, yang mengaku berkomitmen terhadap perjuangan anti-penjajahan,” pungkasnya.
Jalan Panjang Perlawanan
Ismail Amin menutup pernyataannya dengan seruan reflektif; “Perlawanan tidak boleh didasarkan pada emosi sektarian atau proyek politik sesaat. Ini tentang harga diri, prinsip, dan keadilan.” Dan menurutnya, selama masih ada bangsa yang merdeka berpikir dan independen dalam sikap, isu Palestina tidak akan pernah padam.
Kunjungan Trump ke Timur Tengah tidak dapat dipandang sebagai peristiwa diplomatik biasa. Lawatan ini membawa dampak sistemik terhadap keseimbangan geopolitik kawasan, memperdalam jurang perpecahan di dunia Islam, dan mereduksi isu Palestina menjadi agenda pinggiran. Namun, di tengah tekanan tersebut, harapan tetap menyala, datang dari suara-suara keadilan yang bergema dari Timur hingga Barat.[]
Baca juga : Ketua Umum ABI: Haji Bukan Sekadar Ritual, Tapi Jalan Menuju Makrifah
