Kegiatan ABI
#PODCAST | Amarah Jalanan, Janji Istana, dan Ormas yang Terlupakan
Demonstrasi 25 Agustus mengguncang seluruh negeri. Rakyat menuntut keadilan, sementara pemerintah berdialog terbatas, tanpa melibatkan Ahlulbait Indonesia (ABI).
Jakarta, 6 September 2025 – Hanya berselang kurang dari dua pekan setelah gegap gempita peringatan 80 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, negeri ini kembali diguncang. Bendera-bendera yang baru saja diturunkan dari tepi jalan masih terlipat rapi, namun suara rakyat telah kembali membahana, bukan dalam lantunan lagu kemerdekaan, melainkan dalam teriakan protes dan gelegar kemarahan.
Sejak 25 Agustus 2025, gelombang demonstrasi merebak di berbagai penjuru tanah air. Dari kampus hingga jalan raya, dari pabrik sampai sawah, mahasiswa, buruh, pengemudi ojol, petani, hingga berbagai elemen masyarakat bersatu menyuarakan keresahan. Pemicu awalnya tampak sederhana: kenaikan tunjangan DPR dan kebijakan pajak yang kian mencekik. Namun akumulasi persoalan menjelma menjadi bara besar, menyulut gejolak yang menelan korban jiwa, merobohkan infrastruktur, bahkan membakar simbol-simbol negara.
Dalam suasana genting inilah, podcast ABI yang tayang pada 6 Agustus 2025 dengan judul: “17+8: Suara Rakyat untuk Perubahan”, menghadirkan Wakil Ketua Umum Ahlulbait Indonesia (ABI), Ustadz Ahmad Hidayat. Dalam dialog bersama host Billy Joe, beliau menyajikan analisis tajam yang disertai keprihatinan mendalam, menyingkap lapisan-lapisan persoalan yang melatarbelakangi gelombang perlawanan rakyat tersebut.
Mengawali perbincangan, Ustadz Ahmad menyampaikan refleksinya yang mendalam: “Baru saja kita merayakan 80 tahun kemerdekaan dengan gegap gempita,” ujarnya. “Namun kurang dari sepuluh hari kemudian, rakyat dikejutkan oleh ledakan sosial yang lahir dari harapan murni, khususnya dari kalangan mahasiswa untuk mengoreksi arah perjalanan bangsa.”
Menurutnya, demokrasi sejatinya menjadi ruang sehat bagi rakyat dan negara untuk saling melakukan koreksi. Tetapi ketika saluran komunikasi itu tersumbat, aspirasi rakyat pun bertransformasi menjadi amarah. Demonstrasi akhirnya bergeser ke bentuk anarki, meninggalkan pertanyaan mendasar: siapa yang sesungguhnya keliru, dan apa akar persoalan yang tengah membara?
Tuntutan 17+8: Jeritan Sederhana Rakyat
Dari jalanan, lahir sebuah rumusan tuntutan yang dikenal sebagai tuntutan 17+8. Daftar panjang itu, menurut Ustadz Ahmad, sejatinya bukanlah semata persoalan angka, melainkan ekspresi sederhana rakyat, yaitu tuntutan akan hidup yang layak, komunikasi yang jujur, serta hadirnya negara yang benar-benar adil.
Namun, jurang antara kebijakan negara dan kebutuhan masyarakat kian melebar. Pajak yang dinaikkan berlipat, konsesi dagang dengan luar negeri yang tak jelas manfaatnya bangsa dan negara, hingga pejabat yang justru menuntut fasilitas mewah, semuanya menumpuk menjadi bara kekecewaan.
“Maka wajar jika sasaran amuk rakyat adalah penegak hukum dan pembuat undang-undang,” tegasnya.
“Itu tanda bahwa rakyat hanya menginginkan satu hal: keadilan!,” tegas beliau.
Respon Negara, Hanya Janji atau Komitmen?
Pemerintah sempat memanggil mahasiswa, para tokoh ormas, hingga perwakilan buruh dan pengemudi ojol. Beberapa tuntutan nampak terlihat direspons, yaitu adanya penundaan kenaikan insentif DPR, pembatalan kunjungan luar negeri sejumlah pejabat. Namun, publik masih menyimpan keraguan dan kegamangan, benar seriuskah pemerintah?.
“Selama ini janji pemerintah lebih sering berfungsi sebagai penenang sesaat,” ujar Ustadz Ahmad. “Masyarakat sudah cukup cerdas untuk menyadari bahwa di balik kebijakan negara, ada begitu banyak kepentingan yang kerap berseberangan dengan kepentingan rakyat.”
Beliau menegaskan, ada dua kata kunci yang harus dipegang, yaitu trust (kepercayaan) dan ketegasan. Tanpa keduanya, negara hanya akan terjerumus dalam gelombang kekecewaan massal, suatu kondisi rapuh yang mudah dimainkan oleh kekuatan eksternal maupun oligarki di dalam negeri.
Baca juga : DPD ABI Kendal Sukses Gelar Pelatihan Tingkat Dasar Kader
Akar Masalah adalah Korupsi yang Tak Pernah Usai
Bagi Ustadz Ahmad, memenuhi tuntutan 17+8 saja tidaklah cukup untuk menyelesaikan berbagai persoalan bangsa. Pemerintah, tegasnya, harus berani menyentuh akar paling busuk, yaitu korupsi yang sudah menjadi tradisi sejak lama.
“Bayangkan, APBN kita mencapai 3.000 triliun, dan seperempatnya dikorupsi. Jika dana sebesar itu benar-benar digunakan untuk rakyat, tak akan ada lagi sekolah reot, tak ada lagi mahasiswa yang gagal kuliah,” ujarnya.
Lebih lanjut beliau menegaskan, praktik KKN (korupsi, kolusi, nepotisme) bukan hanya persoalan penyakit lama, melainkan sumber utama runtuhnya kepercayaan publik. Dari elite pusat hingga birokrasi daerah, budaya nepotisme pasca pemilu mencederai demokrasi dan meruntuhkan legitimasi negara. Tak mengherankan bila kantor DPR hingga kantor polisi menjadi sasaran amarah rakyat dalam demo itu.
Ormas Islam Dipanggil, Ahlulbait Tak Dilibatkan
Salah satu sorotan paling tajam dari Ustadz Ahmad tertuju pada langkah Presiden Prabowo yang mengundang sejumlah pemimpin ormas Islam ke Istana Negara saat gelombang demonstrasi mencapai titik kritis. Menurutnya, langkah itu sangat penting dan sudah tepat, tetapi jelas belum menyentuh seluruh komponen bangsa.
“Sayangnya, Ahlulbait Indonesia (ABI) tidak dilibatkan,” tegasnya. “Padahal kami adalah bagian dari bangsa ini, memiliki jamaah, memberi kontribusi nyata, dan siap membantu mencari solusi. Mengapa pintu dialog tidak dibuka untuk semua?”
Bagi Ustadz Ahmad, sikap eksklusif dalam forum sebesar itu justru mempersempit ruang kepercayaan publik. Bangsa yang majemuk tidak bisa ditangani dengan dialog terbatas dan selektif. Semua elemen, tanpa kecuali, harus diberi tempat di meja perundingan yang sama, hanya dengan begitu legitimasi negara bisa berdiri kokoh di atas fondasi keadilan dan kebersamaan.
Rakyat sebagai Subjek, Bukan Objek
Ustadz Ahmad menolak sikap pasrah pada situasi, dan menyerukan perlunya dialog terbuka yang tulus. Beliau menegaskan, para anggota DPR harus berani turun langsung ke tengah-tengah rakyat tanpa agenda elektoral, termasuk aparat negara untuk kembali menyatu dengan masyarakat, bukan berhadap-hadapan dengannya. Sementara ormas dan kampus harus dilibatkan sebagai mitra kritis, bukan sebagai pelengkap, tandasnya.
“Demonstrasi itu jalan terakhir, ketika semua saluran komunikasi tersumbat,” ujarnya. “Jika pemerintah sungguh ingin mencegah gejolak, maka fasilitasi dialog sejak awal. Perlakukan rakyat sebagai subjek yang bermartabat, bukan objek pembangunan yang diperalat.”
Sikap Komunitas Ahlulbait
Sebagai penutup, Ustadz Ahmad menegaskan kembali peran penting komunitas Ahlulbait Indonesia (ABI). Beliau mengingatkan agar setiap kader dan pengurus mampu menjaga kendali diri, meneguhkan integritas, menghadirkan pelayanan yang nyata, serta mengekspresikan cinta tanah air melalui kontribusi yang konkret.
“Jika semua itu dijalankan,” ujarnya, “Insyaallah Ahlulbait Indonesia (ABI) akan senantiasa menjadi teladan dan model keberislaman di tengah masyarakat.”
Catatan Akhir
Gelombang demonstrasi kali ini bukan hanya persoalan luapan amarah jalanan, melainkan cermin retaknya kepercayaan rakyat terhadap negara. Di antara janji dan kenyataan, antara euforia dan luka, bangsa ini kembali menghadapi ujian sejarah yang terus berulang.
Seperti yang ditekankan Ustadz Ahmad Hidayat, inilah saatnya pemerintah membuktikan keberpihakan penuh kepada rakyat, atau bersiap kehilangan legitimasi mereka selamanya. []
Berikut link Podcast: “17+8: Suara Rakyat untuk Perubahan”
Baca juga : Meriahkan Maulid Nabi SAW, Yayasan Az-Zahra Bersama ABI Gelar Kegiatan untuk Masyarakat
