Kegiatan ABI
#PODCAST | Bencana Aceh–Sumatera: ABI Nilai Faktor Alam dan Kelalaian Manusia Saling Berkaitan
Jakarta, 18 Desember 2025 — Podcast Ahlulbait Indonesia (Podcast ABI) yang tayang pada Selasa malam (17/12) mengangkat tema “Catatan ABI atas Bencana di Aceh dan Sumatera”. Episode ini menghadirkan Wakil Ketua Umum DPP Ahlulbait Indonesia (DPP ABI), Ustadz Ahmad Hidayat, dengan dipandu host senior Dr. Sabara Nuruddin.
Podcast tersebut membahas bencana banjir dan tanah longsor yang melanda tiga provinsi di ujung barat Indonesia: Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, pada 25 hingga 27 November lalu. Bencana ini menelan korban jiwa dalam jumlah besar, ratusan orang dinyatakan hilang, ribuan lainnya mengalami luka-luka, serta menyebabkan kerusakan material dalam skala luas.
Berdasarkan data terbaru Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 17 Desember 2025 pukul 22.42 WIB, bencana banjir di ketiga provinsi tersebut telah menyebabkan 1.059 orang meninggal dunia, 192 orang dinyatakan hilang, dan sekitar 7.000 orang mengalami luka-luka. Dampak bencana tercatat meluas di 52 kabupaten/kota.
Dalam diskusi tersebut, ABI menyoroti respons pemerintah terhadap bencana yang dinilai memiliki dampak lintas wilayah dan seharusnya ditetapkan sebagai bencana nasional. ABI juga menekankan pentingnya kejujuran serta transparansi pemerintah kepada publik, khususnya kepada masyarakat yang terdampak langsung.
Sebagai bangsa, duka mendalam dirasakan bersama. Namun menurut ABI, duka tidak boleh menghentikan sikap kritis terhadap tata kelola kebencanaan dan kebijakan lingkungan yang saling berkaitan dengan tragedi ini.
ABI Desak Penetapan Bencana Nasional
Mengawali diskusi, Ustadz Ahmad Hidayat menyampaikan belasungkawa mendalam kepada seluruh korban dan keluarga yang terdampak di ketiga provinsi tersebut. Beliau menegaskan bahwa hingga beberapa waktu pascabencana, pemerintah belum memberikan kejelasan status kebencanaan, apakah ditetapkan sebagai bencana nasional atau hanya ditangani sebagai bencana lokal.
Pada 4 Desember 2025, Ahlulbait Indonesia secara resmi mendesak pemerintah dengan mengeluarkan pernyaataan sikap untuk menaikkan status bencana tersebut menjadi bencana nasional. Menurut ABI, penetapan ini krusial agar seluruh potensi dan sumber daya nasional dapat dikerahkan secara maksimal.
“Skala kerusakan dan jumlah korban terlalu besar jika hanya ditangani oleh pemerintah daerah, terlebih dengan keterbatasan sarana dan prasarana yang ada,” tegasnya.
Faktor Iklim dan Kelalaian Manusia
Pertanyaan krusial diajukan host: apakah bencana ini murni disebabkan faktor iklim, seperti badai siklon dan curah hujan ekstrem, atau terdapat peran manusia yang memperparah dampaknya?
Ustadz Ahmad menegaskan bahwa faktor iklim tidak dapat dipahami sebagai penyebab tunggal. Beliau mengingatkan bahwa dalam pandangan keagamaan, kerusakan (fasad) di muka bumi terjadi akibat perbuatan manusia. Data yang ada menunjukkan bahwa hutan dan kawasan pegunungan di Indonesia tidak lagi cukup kuat menanggung beban lingkungan ekstrem.
Program deforestasi dan alih fungsi hutan untuk kepentingan industri, seperti perkebunan kelapa sawit dan hak pengusahaan hutan (HPH), dinilai kerap dilakukan tanpa perhitungan ekologis yang memadai. Pembukaan lahan di kawasan hutan dan pegunungan tidak diimbangi dengan upaya serius menjaga fungsi daerah tangkapan air.
“Bukti di lapangan menunjukkan adanya gelondongan kayu yang hanyut terbawa banjir dengan potongan rapi dan bernomor. Ini bukan pohon yang tercabut secara alami, melainkan indikasi kuat aktivitas penebangan yang berkontribusi pada bencana,” tegasnya.
Karena itu, ABI meminta pemerintah bersikap jujur kepada rakyat, khususnya kepada para korban, dan tidak menutup-nutupi fakta demi melindungi kepentingan pengusaha atau pemegang izin pengelolaan hutan.
Akar Masalah: Lemahnya Kontrol atas Deforestasi
ABI menilai akar persoalan bencana terletak pada lemahnya pengawasan dan implementasi kebijakan lingkungan. Polemik deforestasi dan alih fungsi hutan menjadi lahan perkebunan, industri kayu, maupun pertambangan telah berlangsung lama tanpa kontrol yang tegas.
Perbedaan mendasar antara hutan alam dan perkebunan monokultur, seperti kelapa sawit, terletak pada sistem perakaran. Hutan alam memiliki akar tunggang yang kuat untuk menahan tanah dan air, sedangkan sawit berakar serabut yang tidak memiliki daya ikat serupa. Alih fungsi ini membuat tanah semakin rentan terhadap longsor dan banjir bandang.
“Masalah ini terus berulang karena tidak ada kontrol dan penegakan kebijakan yang cukup kuat. Inilah pekerjaan rumah besar yang hingga kini belum diselesaikan pemerintah,” tandasnya.
Pola bencana serupa, menurut ABI, telah berulang di berbagai wilayah Indonesia dan kini kembali terjadi di Sumatera dalam skala yang besar.
Peran ABI dalam Penanganan Bencana
Selain menyampaikan sikap kritis, sebagai ormas yang berkomitmen pada kerja-kerja kemanusiaan, menurut Ustadz Ahmad, ABI tidak tinggal diam. Melalui lembaga otonom Ahlulbait Indonesia Responsif (ABI Responsif) yang telah dibentuk sejak lima tahun terakhir, tim relawan telah diterjunkan ke lokasi bencana di Aceh dan Sumatera Utara.
“Tim ABI Responsif itu telah diterjunkan ke wilayah terdampak di Aceh dan Sumatera Utara untuk memberikan bantuan darurat, melakukan asesmen kebutuhan dasar, serta memberikan pendampingan psikososial kepada para korban”, terangnya.
Ustadz Ahmad menjelaskan bahwa ABI Responsif memiliki dua fokus utama dalam setiap kebencanaan:
1. Mental Healing: Membangkitkan kembali motivasi dan semangat hidup korban agar tidak terjebak dalam kesedihan dan frustrasi.
2. Recovery: Membantu masyarakat untuk segera pulih, termasuk dengan memenuhi kebutuhan dasar (sandang, pangan, papan) dan merenovasi properti yang rusak, menggunakan dana yang dihimpun dari komunitas ABI di seluruh Indonesia.
“Bantuan yang disalurkan berasal dari penggalangan dana komunitas ABI di 29 provinsi dan 150 kabupaten/kota, baik dalam bentuk tunai maupun logistik. Seluruh kegiatan digerakkan oleh relawan muda berusia di bawah 30 tahun yang memiliki komitmen kuat dalam kerja-kerja kemanusiaan”, terangnya.
Upaya Pencegahan ke Depan
Untuk meminimalkan risiko bencana serupa di masa mendatang, menurut Ustadz Ahmad, ABI menekankan tiga rekomendasi strategis kepada pemerintah:
1. Menyusun Ulang Regulasi: Kajian ulang terhadap regulasi dan kebijakan terkait deforestasi, pengalihan fungsi hutan, dan pengelolaan alam.
2. Implementasi yang Berpihak pada Rakyat: Kebijakan harus benar-benar dilaksanakan untuk kemaslahatan rakyat, bukan korporasi.
3. Pembangunan Partisipatif: Masyarakat harus dilibatkan secara aktif, bukan hanya sebagai objek. Mereka yang hidup dan merasakan langsung dampak pembangunan harus dilibatkan dalam perumusan regulasi, implementasi program, hingga menikmati manfaatnya.
“Hal inilah yang sampai hari ini belum diselesaikan oleh pemerintah”, terang Ustadz Ahmad.
Menurut Ustadz Ahmad, masyarakat harus dilibatkan sejak tahap perumusan kebijakan hingga pelaksanaan dan pengawasan, karena merekalah pihak yang paling merasakan dampak pembangunan.
ABI juga mengingatkan bahwa konstitusi mengamanatkan sumber daya alam dikelola sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. “Jika kebijakan justru melahirkan kerusakan lingkungan dan korban jiwa, maka kebijakan tersebut patut dipertanyakan secara serius”, jelasnya.
Kontribusi Gagasan ABI
Sebagai kontribusi pemikiran, Ahlulbait Indonesia turut meluncurkan sebuah buku tentang konsep Beragama Maslahat yang membahas berbagai dimensi kehidupan, termasuk ekologi, hak asasi manusia, dan pembangunan berkelanjutan.
Buku ini diharapkan menjadi bahan refleksi dan rujukan bagi para pengambil kebijakan dalam merumuskan pembangunan jangka pendek maupun jangka panjang yang berpihak pada manusia, lingkungan, dan masa depan bersama. [HMP ABI]
Untuk lebih lengkap dan detailnya, silahkan simak video Podcast berikut ini: “Catatan ABI atas Bencana di Aceh dan Sumatera”.
