Ikuti Kami Di Medsos

Kegiatan ABI

#PODCAST | Dunia Arab Bungkam, Gaza Menjerit: Krisis Palestina di Tengah Dilema Geopolitik Timur Tengah

#PODCAST | Dunia Arab Bungkam, Gaza Menjerit: Krisis Palestina di Tengah Dilema Geopolitik Timur Tengah

Ahlulbait Indonesia – Krisis kemanusiaan di Gaza memasuki babak yang semakin kelam. Blokade ketat Israel mengakibatkan kelaparan massal, minimnya pasokan obat-obatan, dan meningkatnya angka kematian sipil, terutama anak-anak dan orang tua. Hingga kini, ribuan jiwa dilaporkan meninggal dunia akibat kekurangan makanan dan akses kesehatan yang terputus.

Namun, di tengah situasi darurat yang menimpa Gaza, kelaparan massal, blokade brutal, dan pembantaian warga sipil, respons negara-negara Arab masih berkutat pada retorika simbolik dan kecaman diplomatik yang tumpul. Mengapa dunia Arab lebih memilih diam atau sekadar melontarkan simpati normatif, sementara rakyat Palestina menanggung derita yang kian memburuk?

Pertanyaan ini dijawab secara tajam oleh Muhajir, Jurnalis muda sekaligus Analis Geopolitik Timur Tengah, dalam Podcast ABI edisi 30 Juli 2025 bertajuk “Gaza, Neraka di Depan Mata: Di Mana Makna Seruan dan Kecaman?” yang dipandu oleh Billy Joe. Dalam wawancara eksklusif itu, Muhajir mengurai satu per satu simpul kerumitan dari diplomasi impoten, kepentingan ekonomi, hingga friksi ideologis yang membuat dunia Arab tampak bungkam di tengah tragedi kemanusiaan yang menganga.

Blokade dan Kelaparan Massal

Muhajir mengawali diskusi menjelaskan bahwa kondisi di Gaza telah mencapai titik krisis. Ia menyebut bahwa saat ini “sudah lebih dari 125 jiwa meninggal akibat kelaparan massal.” Ia menyalahkan blokade Israel yang menahan makanan dan obat-obatan serta menghambat bantuan kemanusiaan.

“Ini bukan lagi situasi biasa. Ini situasi darurat yang menuntut intervensi nyata dari dunia internasional, terutama negara-negara Islam,” tegasnya.

Ketakutan Negara Arab: Iran dan Intervensi Barat

Menurut Muhajir, ketidakaktifan negara-negara Arab terkait isu Palestina bersumber dari dua hal utama, pertama perbedaan ideologi dengan Iran dan kedua, ketergantungan pada sistem keamanan Barat, terutama Amerika Serikat.

“Negara-negara Arab mayoritas berideologi Sunni dan enggan terlihat sejalan dengan Iran, yang Syiah, dalam membela Palestina. Ini gengsi ideologis,” ujar Muhajir. Ia menambahkan bahwa Iran justru menunjukkan dukungan paling konkret terhadap Palestina, termasuk dalam bentuk bantuan militer kepada kelompok perlawanan.

Di sisi lain, negara-negara Arab “mempercayakan sistem keamanannya kepada Amerika,” kata Muhajir. Ia menilai, karena adanya hubungan militer dan ekonomi dengan AS, banyak negara Teluk memilih berhati-hati agar tidak memusuhi Israel.

Normalisasi dan Kemesraan Strategis

Negara-negara seperti Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko, dan Sudan yang tergabung dalam Perjanjian Abraham (2020) dianggap telah menjalin normalisasi hubungan dengan Israel bahkan sebelum perjanjian tersebut diumumkan.

Muhajir menilai, “hubungan normalisasi itu seharusnya bisa digunakan untuk mendesak Israel agar menghentikan kebrutalannya.” Namun yang terjadi justru sebaliknya: “mereka diam karena takut resiko politik dan ekonomi dari konfrontasi langsung.”

Baca juga : Peringati Syahadah Imam Hasan al-Mujtaba: ABI Sampaikan Belasungkawa Mendalam

Kenapa Palestina Tidak Jadi Prioritas?

Muhajir mengungkap bahwa dari sudut pandang negara-negara Arab, mendukung Palestina tidak membawa keuntungan langsung. Sebaliknya, mendukung milisi di Suriah untuk menjatuhkan Bashar al-Assad dianggap lebih menguntungkan karena sejalan dengan kepentingan ideologi Sunni dan strategi regional.

“Negara-negara Arab lebih memilih membantu kelompok-kelompok di Suriah ketimbang di Palestina karena dukungan ke Palestina dianggap berisiko secara ekonomi dan politik.”

Jurang antara Rakyat dan Penguasa

Meskipun banyak survei menunjukkan bahwa masyarakat Arab mendukung Palestina dan menolak normalisasi dengan Israel, aspirasi ini tidak diakomodasi oleh pemerintah. Muhajir menyebut sistem politik semi-otoriter sebagai penyebab utama.

“Masyarakat Arab tidak sebebas masyarakat Barat dalam menyuarakan solidaritas terhadap Palestina,” ujarnya. “Rezim-rezim ini takut gejolak internal, apalagi setelah Revolusi Iran yang menginspirasi perubahan di kawasan.”

Geopolitik Baru: Iran dan Opsi Mandiri

Menariknya, Muhajir melihat adanya pergeseran diam-diam dalam peta politik Timur Tengah. Beberapa negara Arab mulai menjalin diplomasi dengan Iran, terutama setelah konflik terbuka antara Iran dan Israel menunjukkan lemahnya jaminan keamanan dari Barat.

“Setelah serangan Iran ke pangkalan AS di Qatar dan keberhasilan Iran menunjukkan kekuatan militer, negara-negara Arab mulai berpikir: apakah keamanan eksternal dari Amerika masih bisa diandalkan?”

Menurutnya, ke depan, Iran bisa menjadi opsi mitra keamanan alternatif jika negara-negara Arab berani menggeser ketergantungan dari AS. Dan jika hal ini terjadi, “ada peluang besar bahwa Palestina bisa mendapat dukungan lebih konkret dari dunia Arab.”

Pelajaran Bagi Indonesia

Muhajir menyimpulkan dengan ajakan kepada Indonesia untuk belajar dari konflik ini. Pertama, pentingnya kesiapsiagaan nasional dan sistem keamanan yang mandiri. Kedua, membuka kanal diplomasi dengan Iran sebagai mitra strategis kawasan.

“Indonesia harus melihat bahwa Iran, meskipun berbeda mazhab, telah menunjukkan pembelaan nyata kepada Palestina. Ini harus jadi pelajaran bahwa perbedaan ideologi tidak boleh menghalangi solidaritas kemanusiaan,” pungkasnya.

Krisis di Gaza adalah tragedi kemanusiaan. Tapi lebih dari itu, ia adalah cermin dari kegagalan kolektif dunia Arab untuk bersatu dalam menghadapi penjajahan modern. Perbedaan ideologi, kepentingan ekonomi, dan ketergantungan pada Barat membuat solidaritas terhadap Palestina hanya menjadi slogan kosong di mimbar-mimbar diplomasi.

Catatan Redaksi

Kebungkaman negara-negara Arab terhadap tragedi kemanusiaan di Gaza bukan terjadi dalam ruang hampa. Ada jerat kompleks yang membelit, seperti kepentingan ekonomi-politik, perjanjian normalisasi dengan Israel, dan rivalitas ideologis pasca-Revolusi Iran. Semua itu menjadikan solidaritas terhadap Palestina tak lebih dari formalitas diplomatik, ramai di mimbar, senyap dalam tindakan.

Namun, tanda-tanda perubahan mulai mengemuka. Sejumlah negara Arab membuka kembali jalur diplomasi dengan Iran, kepercayaan terhadap proteksi Amerika mulai luntur, dan sebagian masyarakat Arab menunjukkan bahwa suara nurani tak bisa sepenuhnya dibungkam.

Pertanyaannya kini adalah, akankah dunia Arab memilih berdiri bersama Gaza, atau tetap merawat hubungan dagangnya dengan para penjajah, demi stabilitas semu dan keuntungan jangka pendek? []

Baca juga : Muscab Muslimah ABI PPU: Penguatan Tata Kelola Organisasi Berbasis Solidaritas dan Kebersamaan