Kegiatan ABI
#PODCAST | Kupas Resolusi PBB 2803: Mekanisme Perdamaian atau Konsolidasi Pendudukan?
Jakarta, 25 November 2025 — Podcast Ahlul Bait Indonesia (ABI) kembali mengulas dinamika geopolitik yang tengah menjadi perhatian internasional. Episode yang tayang pada 23 November 2025 ini mengangkat tema “Membaca Arah Resolusi PBB 2803.” Host Billy Joe menghadirkan Ismail Amin, pengamat Timur Tengah sekaligus pemerhati isu Palestina dan Poros Perlawanan, untuk menelusuri lebih jauh arah politik Resolusi Dewan Keamanan PBB 2803 tentang Gaza.
Pembahasan mengerucut pada substansi resolusi, desain geopolitik yang melingkupinya, serta implikasinya terhadap dinamika kawasan dan posisi diplomasi Indonesia. Dengan pendekatan analitis, diskusi membuka lapisan-lapisan penting di balik wacana “perdamaian” yang ditawarkan PBB, sekaligus mempertanyakan siapa yang sejatinya diuntungkan oleh mekanisme keamanan yang diusulkan.
Konten Resolusi: Damai di Atas Kertas, Kontrol di Lapangan
Resolusi 2803 disahkan pada 17 November dengan 13 suara setuju dan dua abstain, Rusia dan Tiongkok. Secara formal, dokumen ini mengusung agenda “rekonstruksi Gaza”, “stabilisasi keamanan”, serta pembentukan mekanisme kendali internasional pascaperang. Namun, menurut Ismail Amin, rancangan resolusi ini lebih menyerupai cetak biru lama yang bertujuan membekukan Perlawanan, bukan menghentikan pendudukan.
“Hamas menolak bukan karena menolak perdamaian, tetapi karena resolusi ini memaksa rakyat Palestina menyerahkan alat pertahanan dan kedaulatannya, sementara Israel tetap bersenjata lengkap,” tegas Ismail. Ia menilai arsitektur Resolusi 2803 menghidupkan kembali semangat “20 poin Trump” pada 2020, yang menormalisasi struktur keamanan kawasan di bawah pengaruh Israel dan sekutu-sekutunya.
Perdamaian Versi PBB: Tanpa Kemerdekaan, Tanpa Kedaulatan
Salah satu kritik utama Ismail Amin adalah ketiadaan elemen paling mendasar dalam resolusi tersebut, yaitu pengakuan atas kemerdekaan dan kedaulatan Palestina. “Tidak ada satu pasal pun yang menyebut kemerdekaan Palestina sebagai syarat perdamaian,” ujarnya. Dalam tradisi diplomasi konflik, penyelesaian yang berkelanjutan selalu bertumpu pada kesetaraan status antarpihak. Pada Resolusi 2803, prinsip itu nyaris tidak terlihat.
Lebih jauh, skema keamanan yang ditawarkan justru menempatkan Gaza di bawah sebuah “dewan perwalian internasional” yang dipimpin Amerika Serikat, sekutu paling konsisten Israel sekaligus pemasok utama persenjataan strategis Tel Aviv. Ismail menilai susunan ini menghadirkan ironi diplomatik yang serius: “Tidak mungkin sebuah pihak yang mempersenjatai salah satu aktor dalam konflik dapat berperan sebagai mediator netral.”
Mengapa Hamas Menolak? Logika Perlawanan dan Preseden Sejarah
Ismail Amin mengaitkan penolakan Hamas dengan pola sejarah perjuangan bangsa-bangsa di berbagai belahan dunia. “Tidak ada bangsa merdeka yang lahir dari posisi dilucuti,” ujarnya, merujuk pada krisis Indonesia tahun 1948 ketika Belanda menuntut pembubaran laskar rakyat sementara pasukan kolonial tetap bersenjata lengkap. “Jenderal Sudirman bangkit dari ranjang sakit untuk menolak pelucutan itu. Tanpa kekuatan, penjajah tidak pernah bersedia berunding.”
Logika tersebut, menurut Ismail, berulang di Palestina. Ia menyoroti Tepi Barat sebagai contoh nyata, wilayah yang tidak memiliki Hamas, tidak memiliki roket, bahkan aparat keamanannya dibiayai komunitas internasional. Namun kenyataannya, perampasan tanah, pembunuhan warga, dan ekspansi pemukiman ilegal terus meningkat dari tahun ke tahun. “Jika Gaza diarahkan mengikuti pola Tepi Barat, maka penindasan tidak berakhir, dan hanya berubah bentuk, dari perang terbuka menjadi kontrol administratif yang dilegalkan,” tegasnya.
Baca juga : DPD ABI Kota Probolinggo Jalin Silaturahmi dengan PDM Muhammadiyah Perkuat Persatuan Umat
Sikap Global: Dari Kepentingan Nasional hingga Tekanan Sistemik
Menurut Ismail Amin, pilihan abstain Rusia dan Tiongkok tidak dapat dibaca sebagai dukungan terhadap Palestina, melainkan sebagai keputusan strategis yang didorong kalkulasi kepentingan nasional. Menggunakan hak veto akan menempatkan kedua negara itu dalam konfrontasi langsung dengan Amerika Serikat, baik dalam isu perdagangan, akses pasar, maupun keseimbangan kekuatan di kawasan Eropa dan Asia-Pasifik. “Abstain menjadi kompromi paling aman bagi keduanya,” ujarnya, menekankan bahwa geopolitik global jarang berjalan berdasarkan solidaritas moral semata.
Di sisi lain, dukungan mayoritas negara terhadap resolusi lebih dipicu keinginan untuk “mengakhiri perang” secara cepat, meski sebatas pada tampilan luar.
Dunia kelelahan melihat tragedi kemanusiaan di Gaza, tetapi, menurut Ismail, kelelahan visual tidak boleh menggantikan tuntutan terhadap keadilan substantif. “Penghentian kekerasan tanpa penyelesaian akar penjajahan hanya menunda siklus penindasan,” tambahnya.
Indonesia dan Risiko TNI Berhadapan dengan Hamas
Isu sensitif yang turut mengemuka adalah komitmen Indonesia untuk mengirim hingga 20.000 personel sebagai bagian dari pasukan penjaga perdamaian di bawah mandat PBB. Dalam skenario Resolusi 2803 diterapkan tanpa diterima oleh kelompok perlawanan, TNI berpotensi berhadapan langsung dengan Hamas di lapangan.
“Ini bertentangan dengan mandat konstitusi Indonesia yang secara tegas menolak segala bentuk penjajahan,” tegas Ismail. Ismail menilai langkah tersebut dapat menyeret Indonesia ke posisi yang tidak menguntungkan, menjadi bagian dari mekanisme keamanan yang secara struktural berpihak kepada kekuatan pendudukan, bukan kepada pihak yang diduduki. Ismail menambahkan bahwa tekanan geopolitik global terhadap negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, sangat nyata dan kerap memengaruhi orientasi kebijakan luar negeri mereka.
Perang Narasi di Dalam Negeri: Apa Sikap Publik Indonesia?
Walaupun mayoritas masyarakat Indonesia masih menunjukkan dukungan kuat terhadap Palestina, Ismail Amin mengingatkan bahwa arus propaganda anti-solidaritas, seperti narasi “untuk apa membela Palestina”, kian menguat di ruang publik. Tanpa edukasi yang konsisten, perubahan opini dapat berlangsung cepat, terlebih jika negara-negara Arab sendiri memilih membuka normalisasi penuh dengan Israel. Pergeseran ini, menurutnya, berpotensi mengikis posisi moral dan historis Indonesia dalam isu penjajahan.
Ismail menegaskan bahwa persoalan Palestina bukan semata-mata isu luar negeri, melainkan berkaitan langsung dengan posisi strategis Indonesia dalam tatanan global. “Palestina adalah benteng terakhir Perlawanan terhadap kolonialisme modern. Jika Gaza tumbang, tatanan dunia yang sepenuhnya unilateral akan semakin dominan, dan tekanan terhadap negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, akan meningkat,” ujarnya.
Ilusi Perdamaian dan Pertarungan untuk Keadilan
Podcast ABI menutup diskusi dengan kesimpulan tajam: Resolusi 2803 bukanlah peta jalan menuju perdamaian, melainkan arsitektur stabilisasi yang mengabaikan akar konflik, pendudukan yang masih berlangsung. “Hamas tidak menolak perdamaian. Mereka menolak tipu daya yang membungkus penjajahan sebagai stabilisasi,” tegas Ustadz Ismail Amin.
Dalam pandangannya, perjuangan Palestina tidak berdiri sendiri, melainkan bagian dari pergulatan global melawan struktur ketidakadilan internasional yang terus bertahan dalam berbagai bentuk. “Sejarah membuktikan bahwa kekuatan besar dapat runtuh, apartheid di Afrika Selatan, rezim Syah Iran, Uni Soviet, hingga Yugoslavia. Ketidakadilan tidak pernah abadi,” ujarnya. []
Untuk informasi yang lebih lengkap dan detail, silakan kunjungi tautan berikut: https://www.youtube.com/watch?v=OhEpVdAqt6A
Baca juga : ABI dan FKUB Kota Pasuruan Sepakat Perkuat Kerukunan dan Persaudaraan Antarumat
