Ikuti Kami Di Medsos

Kegiatan ABI

#PODCAST | Muslimah ABI: Menyulam Asa, Menantang Zaman

Jakarta, 21 September 2025 – Jakarta sore itu udara terasa sesak. Lalu lintas bagai benang kusut, menahan laju kendaraan satu demi satu. Dari arah Bogor, Shoffani Mutiara Karbela menembus jalanan selama hampir satu setengah jam. “Awal-awal lancar, baru macet di tengah,” ujarnya, menarik napas lega begitu akhirnya sampai di studio podcast di kantor DPP ABI, Jakarta. Dari sisi lain, Rahmalela datang dengan cerita tak jauh berbeda. Dia menempuh perjalanan panjang dari Cakung, juga memakan waktu satu setengah jam. “Syukurlah aman, tidak ada sisa-sisa demo kemarin,” ucapnya pelan.

Di ruang sederhana itu, keduanya duduk bersebelahan. Mikrofon kecil sudah terpasang di kerah baju, wajah mereka dihiasi senyum yang menyingkirkan lelah perjalanan. Dari balik kaca, cahaya lampu studio menyorot, seolah ingin menegaskan, bahwa sore itu bukan semata rekaman, melainkan membuat catatan sejarah kecil tentang perjalanan organisasi perempuan Ahlulbait, Muslimah Ahlulbait (Muslimah ABI).

Di depan mereka, Batul Zakia bersiap memandu percakapan. Sang host yang juga datang dari Bogor itu sempat melontarkan candaan ringan, “Saya beruntung tadi tidak kena macet,” katanya, membuat suasana cair sebelum obrolan dimulai.

Organisasi: Dari Dapur ke Panggung Publik

Podcast dimulai setelah Batul Zakia mengenalkan kedua tamunya dan peran mereka di Lembaga Otonom Muslimah ABI.

“Organisasi itu wadah orang-orang dengan tujuan sama, berjalan bersama dalam program yang teratur,” jelas Shoffani, membuka diskusi. Baginya, organisasi bukan hanya bagan di atas kertas, dia hidup, berdenyut dalam keseharian. “Bahkan keluarga pun sudah organisasi kecil,” tambahnya. Ucapan itu seakan menghadirkan gambaran ruang tamu yang kadang lebih mirip ruang rapat, lengkap dengan agenda harian, pembagian tugas, dan dinamika tak berkesudahan.

Rahmalela menimpali dengan pandangan yang lebih personal. “Kalau sendiri, sulit mencapai capaian besar. Tapi bersama, kita bisa.” Rahmalela meyakini berorganisasi adalah fitrah perempuan, belajar menyeimbangkan peran domestik sekaligus sosial, dapur sekaligus panggung publik.

Topik pun beralih ke RKAT, istilah yang kerap terdengar asing bahkan menakutkan bagi sebagian ibu. “RKAT itu peta jalan,” kata Shoffani. “Tanpanya, kita bisa tersesat. Dengan RKAT, kerja jadi efisien. Kalau tidak tercapai, tinggal evaluasi.” Rahmalela menambahkan dengan senyum, “Kesulitan itu hanya ada di kepala. Kalau mau belajar, kesulitan akan berubah jadi tantangan yang mendewasakan.”

Jejak Perjalanan: Dari Kebimbangan ke Keyakinan

Soffani menapaki jenjang organisasi bak menaiki anak tangga, dimulai dari Pimcab, ke Pimwil, hingga kini Pimnas. Pengalaman itu memberinya pandangan luas, bagaimana kerja kecil di Pimpinan Cabang ternyata beresonansi hingga nasional.

Rahmalela berbeda. Dia justru datang dengan kebimbangan, bahkan nyaris menolak. “Saya buta soal organisasi,” kenangnya. Namun sang ketua menenangkan, tidak apa-apa, kita belajar bersama. Perlahan, Rahmalela belajar menyusun RKAT, memahami Prokernas, mengenal SOP, hingga membedakan Pimcab, Pimwil, dan Pimnas. Kekhawatiran yang dulu besar kini berganti keyakinan. “Di sini, orang yang tidak tahu tidak disalahkan. Kita dirangkul, bukan dihakimi,” kenangnya sambil berkaca-kaca.

Peta Besar dan Jurang Tantangan

Hingga kini, Muslimah ABI memiliki 14 Pimwil dan 56 Pimcab. Angka itu menandai pertumbuhan, sekaligus menyingkap berbagai tantangan.

1. Geografi: Indonesia yang luas menyulitkan koordinasi. Ada cabang di wilayah terpencil, akses transportasi mahal.
2. SDM: Tidak semua pengurus punya kapasitas, sebagian bahkan minder. Namun bagi Soffani, yang terpenting adalah niat berkhidmat, karena keterampilan bisa dipelajari.
3. Teknologi: Internet di banyak daerah tak stabil. “Suara putus-putus di Zoom sudah jadi cerita klasik,” ujar Rahmalela, disambut tawa kecil.
4. Keuangan: Tak jarang, biaya rapat atau kegiatan diambil dari kocek pribadi.
5. Waktu: Hampir semua anggota adalah ibu rumah tangga, pekerja, atau mahasiswi. Menyusun waktu untuk rapat ibarat mencari celah di kain yang sudah penuh jahitan.

Baca juga : ABI NTB Sosialisasikan Program Beasiswa di Ponpes Nurul Jihad

Namun tantangan itu kemudian mereka jahit dengan berbagai strategi. Rapat koordinasi via Zoom setiap dua bulan menjadi ruang berbagi strategi. Wilayah yang berhasil menjalankan program memberi inspirasi pada yang lain. “Dengan begitu kita merasa tidak sendiri. Ada kebersamaan,” kata Soffani.

Mengapa ABI Penting?

Dalam pandangan Soffani, Ormas Ahlulbait Indonesia adalah rumah besar yang menyatukan potensi. “Sekecil apapun kontribusi, kalau dikumpulkan, bisa jadi sesuatu yang besar.”

Rahmalela memandang lebih jauh lagi, bahwa Ahlul Bait Nabi adalah telaga nilai yang harus dihidupkan di zaman yang gersang oleh keadilan. “Rasulullah dan para Imam adalah contoh kejujuran, keadilan, kasih sayang. Kalau nilai itu masuk ke pendidikan, negeri ini akan damai.”

Rahmalela menyinggung ironi bangsa, banyaknyakorupsi, kesenjangan, dan ketidakadilan. “Semua itu terjadi karena manusia kehilangan contoh hidup.” ABI hadir untuk menuturkan kembali kisah teladan, bukan untuk mengubah mazhab, melainkan menghidupkan nilai universal, tegasnya.

Menenun Masa Depan

Pimnas Bidang Organisasi kini menyusun modul kerja, pedoman Muswil dan Muscab, serta sistem rekrutmen. Target periode ini adalah membuka tiga Pimwil baru. Tantangan eksternal masih ada, seperti stigma, resistensi, bahkan ketakutan sebagian orang untuk tampil.

“Tapi kami tidak bicara soal perbedaan fikih. Yang kami bawa adalah akhlak, cinta kasih, keadilan,” tegas Rahmalela. Prinsip itu ibarat benang yang bisa menjahit perbedaan menjadi kain persatuan.

Kerja sama lintas bidang juga jadi kunci. Organisasi bersinergi dengan kaderisasi untuk pembinaan iman dan akhlak, dengan bidang perempuan dan anak untuk memperkuat fondasi keluarga. “Kalau Pimcab dan Pimwil kokoh, Pimnas otomatis kokoh,” ucap Rahmela.

Pesan dan Semangat

Dari ruang podcast itu, kedua perempuan tangguh itu mengirim pesan pada muslimah ke seluruh Indonesia.

Rahmalela dengan tegas mengatakan: “Jangan khawatir berlebihan. Kekhawatiran hanya ada di pikiran. Kalau mau belajar, kita mampu. Jangan merasa rendah diri. Bersama, kita bisa memperbaiki diri dan memberi manfaat.”

Sementara Soffani, dengan semangat menegaskan: “Ingat, kita tidak sendiri. Kita melangkah bersama, beriringan, dalam penantian Imam Mahdi AF.”

Podcast pun ditutup dengan jargon yang meledak penuh energi: “Muslimah ABI! Pengabdian tiada henti, pantang lelah sampai mati!”

Jargon itu bukan hanya teriakan seremonial. Jargon itu terdengar seperti ikrar yang dijahit dari doa, kerja, dan air mata. Ikrar Muslimah Ahlulbait yang terus menenun asa, dari dapur rumah hingga ruang publik, dari lingkar kecil keluarga hingga peta besar kebangsaan, untuk dunia yang masih menunggu hadirnya keadilan sejati.

Batul Zakia menutup Podcast dengan mengucapkan terimakasih kepada kedua narasumber, sekaligus kepada pemirsa. Dia juga berjanji akan lebih banyak menghadirkan narsum dari bidang lain, dan tokoh Muslimah ABI. []

Untuk lebih detail, Anda bisa menyaksikan langsung Podcastnya dengan alamat berikut ini. Organisasi Muslimah ABI dan Jalan Panjang Perempuan Ahlulbait

Baca juga : Lembaga-lembaga Otonom ABI DKI Jakarta Meriahkan Parade Jalan Cinta Nabi Muhammad