Kegiatan ABI
#PODCAST Ngopi Bareng Ketum | Jihad Ekonomi: Kesadaran, Wakaf Produktif, dan Crowdfunding untuk Kemandirian Umat
Jakarta, 20 Agustus 2025 – Aroma kopi hangat menyelimuti ruangan sederhana di kantor DPP ABI, menciptakan suasana akrab yang mengundang percakapan hangat. Empat pengusaha duduk mengelilingi meja oval, berhadap-hadapan, suasananya lebih menyerupai perbincangan sahabat daripada forum formal. Wajah-wajah mereka memancarkan gurat lelah, namun juga keyakinan teguh, sebuah keteguhan yang bercerita tentang perjalanan panjang yang telah ditempuh. Mikrofon kecil menempel di dada, kamera menyala, dan dari ruang yang tenang itulah lahir percakapan besar tentang “Jihad Ekonomi: Strategi Menuju Kemandirian Organisasi & Komunitas”, sebuah tema yang menautkan nilai spiritual dengan realitas bisnis sehari-hari.
Diskusi dimulai setelah host memberikan pengantar singkat mengenai tema Jihad Ekonomi, yang disebutnya sebagai panggilan luhur untuk memperkuat kemandirian sekaligus membangun solidaritas ekonomi dalam bingkai nilai keagamaan dan kemanusiaan. Lebih dari hanya mencari penghidupan, perjuangan ini merupakan bentuk pengabdian dan pengorbanan sesuai amanat keimanan, sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Jumu‘ah ayat 10 yang mendorong manusia untuk mencari karunia-Nya di bumi sambil senantiasa mengingat-Nya. Dalam kerangka itu, podcast ini menghadirkan para pelaku usaha dari komunitas Ahlulbait yang telah menapaki jalan kemandirian dan membuktikan bahwa ekonomi bisa menjadi medan juang yang bermakna dan berdampak nyata.
Podcast Ngopi Bareng Ketum ABI edisi Juli 2025, yang tayang Rabu (20/8) melalui kanal YouTube ABI Official, menjadi panggung refleksi. Dipandu langsung oleh Ketua Umum Ahlulbait Indonesia (ABI), Ustadz Zahir Yahya, obrolan berlangsung cair namun sarat bobot. Empat pelaku usaha dari komunitas ABI, Sayyid Naufal Ali, Sayyid Muhammad Assegaf, Haji Chalimi, dan Sayyid Segaf Basri, bergantian menuturkan kisah hidup yang jarang terdengar. Ada getir masa lalu, tawa kecil yang menutupi luka, dan kehangatan dari doa serta solidaritas yang menjaga mereka tetap berdiri.
Usai pemaparan falsafah Jihad Ekonomi dan alasan kehadiran para narasumber, suasana diskusi mulai hidup. Pertanyaan-pertanyaan menantang pun mengalir, menandai dimulainya percakapan yang hangat dan penuh wawasan.
“Bagaimana para pelaku usaha kita memulai perjalanan bisnis mereka? Tantangan apa yang mereka hadapi? Jenis usaha apa yang dijalankan? Dan tentu, bagaimana mereka bertahan di tengah berbagai krisis yang sempat melanda?” tanya host, menandai titik awal eksplorasi kisah-kisah inspiratif yang akan dibagikan.
Selama lebih dari satu jam, forum ini bergerak jauh dari angka-angka dingin teori ekonomi. Diskusi menjadi ruang pengakuan jujur, bagaimana usaha mereka lahir dari nol, bagaimana badai krisis mengguncang, hingga bagaimana mereka memaknai keberhasilan. Bagi mereka, berhasil bukan semata soal laba, tetapi ketika usaha memberi manfaat bagi keluarga, komunitas, dan umat yang lebih luas.
Yang paling menggetarkan, istilah “jihad” tak lagi terdengar abstrak. Jihad adalah ritme hidup sehari-hari, menjaga integritas ketika peluang melintas, berpegang pada etika meski menghadapi risiko kerugian, dan memastikan usaha menjadi mata air bagi banyak orang, bukan hanya kepentingan pribadi.
Diskusi ini menyingkap spektrum perjuangan yang berlapis, dari keberanian merintis start-up, ketangguhan bertahan di tengah badai, hingga peran strategis dalam menopang kemandirian komunitas. Kisah-kisah personal itu berpadu menjadi satu kesimpulan jelas, bahwa Jihad Ekonomi tidak hanya terbatas pada cita-cita individual, melainkan ikhtiar kolektif yang meneguhkan kemandirian umat sebagai keniscayaan.
Bukan lagi obrolan ringan, podcast ini menjadi saksi perjalanan. Di balik secangkir kopi dan senyum yang menghangatkan, tertanam perjuangan, pengorbanan, dan keyakinan. Semua berpuncak pada satu pesan, bahwa Jihad Ekonomi adalah napas kolektif yang membumi, namun tak pernah kehilangan arah visi.
Baca juga : Wawancara Eksklusif: Syiah, Pesantren, dan Ormas ABI di Jepara sebagai Ruang Harmoni
Sayyid Novel dan Perjuangan Buruh Pabrik
Kisah pertama datang dari Sayyid Novel, pengusaha properti yang memulai langkahnya sejak awal 1990-an dengan modal pas-pasan. Alih-alih terhambat, keterbatasan justru melahirkan kreativitas.
“Waktu itu kami menjual gambar perumahan sebelum bangunan berdiri,” kenangnya. Strategi itu memungkinkan proyek berjalan tanpa harus membeli tanah di muka. Hasilnya, puluhan tahun kemudian, usaha tersebut tetap bertahan, bahkan menggarap segmen buruh pabrik yang biasanya hanya mampu mengontrak.
Moto yang ia bawa sederhana: “Kalau kamu biasa bayar kos Rp500–700 ribu, mengapa tidak cicilan rumah dengan harga sedikit lebih tinggi, tapi jadi milikmu?”
Bagi Sayyid Novel, bisnis properti bukan hanya soal profit. Menolak melakukan PHK saat krisis 1997 dan pandemi COVID-19, ia menegaskan bahwa SDM adalah aset utama, bukan angka di laporan keuangan. “Itu bagian dari jihad ekonomi,” ujar host menegaskan.
Haji Chalimi dari Tukang Becak ke PLN
Haji Chalimi membawa narasi berbeda, lebih personal, lebih getir. Ia lahir dari keluarga tukang becak. Kedua orang tuanya buta huruf. Sejak SD, ia belajar hidup dengan kehilangan, hingga akhirnya bisa kuliah sambil bekerja.
Pekerjaan di PLN membuka matanya, mengapa banyak kontraktor sukses justru dari kalangan Tionghoa, meski tak menempuh pendidikan formal panjang? Pertanyaan itu memicu semangatnya menempuh jalur usaha sendiri.
Setelah mundur dari PLN pada 2011, Chalimi kemudian merintis bisnis instalasi listrik, retail alat listrik, hingga konveksi. Prinsipnya jelas: tanpa utang bank, tanpa meninggalkan nilai agama. Niat lurus, gaya hidup sederhana, istiqamah.
Baginya, keuntungan hanyalah alat. “Setelah kita dapat untung, untuk apa ini? Kalau tidak ada manfaat bagi umat, lebih baik jangan.” Kini, hampir semua stafnya disiplin shalat, sebuah capaian yang menurutnya lebih berharga daripada omzet.
Sagaf Basri dan Inovasi di Tengah Pandemi
Pandemi COVID-19 2020 menjadi mimpi buruk bagi Sayyid Sagaf Basri. Bisnis Event Organizer (EO) yang ia rintis lumpuh total, pegawai terpaksa dirumahkan. Namun dari keterpurukan lahir inovasi, pivot ke digital marketing.
Bermodalkan pengalaman di bidang IT, ia membangun tim kecil dengan spesialisasi Meta Ads dan Google Ads. “Revenue utama justru datang dari digital, bukan offline,” ujarnya.
Strategi itu bukan hanya menyelamatkan dirinya, tetapi juga memberi jalan keluar bagi banyak pelaku EO lain yang kehilangan pasar. Bagi Sagaf, rahasianya sederhana: skill harus menjawab masalah orang lain. Kini, selain EO dan digital marketing, ia juga mencoba lini usaha baru, dari laundry hingga jasa pelatihan.
Sayyid Muhammad Assegaf, Integritas di Atas Segalanya
Bagi Sayyid Muhammad Assegaf, perjalanan bisnis sejak 1990-an mengajarkannya satu hal utama, yaitu integritas. “Tidak ada salahnya menjadi orang baik. Justru dari kebaikan lahir kepercayaan, dari kepercayaan lahir peluang,” katanya.
Ia menolak mengukur kesuksesan dari omzet atau aset pribadi. “Ibu saya pernah mendoakan agar saya makin sukses. Saya jawab sudah cukup, tapi beliau bilang, doa ini bukan untukmu, tapi untuk orang yang membutuhkanmu.”
Baginya, Jihad Ekonomi adalah usaha yang memberi manfaat sosial. Kegagalan proyek justru dianggap pelajaran yang kadang menyelamatkan dari masalah hukum di masa depan. “Berpikir positif adalah rahasia bertahan,” ujarnya.
Baca juga : DPD ABI Pekalongan Gelar Market Day Memeriahkan HUT ke-80 RI
Sinergi Komunitas, Pilar Ketiga yang Masih Absen
Diskusi kemudian mengerucut pada isu kolektif ketika host menayakan bagaimana mengorganisasi kekuatan ekonomi komunitas. Menurut para narasumber, ada tiga pilar yang menopang sebuah komunitas: tokoh spiritual, aktivis sosial, dan pelaku usaha. Jika dua yang pertama telah terwadahi oleh ABI, maka pilar ketiga masih membutuhkan forum khusus.
Usulan muncul: pembentukan Forum Pengusaha Ahlulbait sebagai wadah sinergi, dimulai dari pendataan potensi hingga klasifikasi usaha. Kolaborasi lintas skala, mentoring anak muda, hingga joint marketing menjadi agenda konkret.
Sagaf bahkan memberi contoh sederhana: konsumsi dalam setiap pelatihan atau pengajian menelan anggaran besar. “Kenapa tidak kita isi dari pelaku usaha internal komunitas?” katanya. Masalah yang tampak sepele, ternyata menyimpan peluang ekonomi nyata.
Sumber Daya Mandiri dari Wakaf Produktif dan Crowdfunding
Isu pendanaan muncul sebagai bahasan terakhir, sekaligus menjadi titik krusial. Para narasumber sepakat, kemandirian finansial komunitas tidak mungkin lahir hanya dari aset statis. Wakaf, yang selama ini sering berbentuk bangunan atau tanah kosong dengan beban biaya perawatan, perlu dikelola secara produktif agar mampu menghasilkan pemasukan berkelanjutan.
Dari sinilah muncul gagasan tentang wakaf produktif, bahwa wakaf yang tidak berhenti pada simbol kepemilikan, melainkan dikembangkan menjadi aset yang menghasilkan. Hasilnya dapat digunakan untuk menopang kebutuhan komunitas, misalnya membangun sekolah, husainiyah, fasilitas sosial, bahkan untuk menopang program ekonomi bersama.
Namun, gagasan ini tentu tidak berjalan sendiri. Untuk menggerakkannya, dibutuhkan mekanisme partisipasi baru, yaitu crowdfunding berbasis komunitas. Mereka sepakat bahwa platform digital dinilai paling realistis, memanfaatkan energi anak muda dan jejaring media sosial. Prinsipnya sederhana, sebagaimana digarisbawahi Sayyid Muhammad Assegaf: “Selisih harga Rp10 ribu dalam transaksi internal adalah bentuk kontribusi sosial.” Artinya, bukan besar kecilnya sumbangan yang menentukan, melainkan keterlibatan kolektif.
Komitmen tersebut dapat diperkuat melalui mekanisme formal, seperti kontrak, wasiat, atau sistem pembagian keuntungan yang disepakati. Dengan cara ini, transparansi terjaga dan partisipasi dapat tumbuh tanpa menimbulkan rasa curiga.
Lebih jauh, paradigma tentang wakaf pun perlu digeser. Amal jariyah tidak hanya terbatas pada pembangunan masjid, husainiyah, atau tempat peringatan hari-hari besar. Ada bentuk amal lain yang manfaatnya justru lebih luas dan berjangka panjang. Di sinilah peran tokoh dan para asatidz menjadi penting, yakni meyakinkan jamaah bahwa wakaf tidak harus berhenti pada aset statis.
Tanah atau bangunan yang diwakafkan, misalnya, dapat dikembangkan menjadi aset produktif. Hasil pengelolaan itu kemudian diputar untuk menggerakkan roda ekonomi komunitas, sementara sebagian tetap diwujudkan dalam pembangunan fasilitas ibadah. Dengan pola ini, nilai wakaf tidak hanya bertahan, tetapi berlipat ganda dalam memberi manfaat sosial.
Pada akhirnya, diskusi ini menegaskan bahwa fondasi finansial jangka panjang adalah kunci kemandirian organisi dan komunitas. Dan wakaf produktif dan crowdfunding bukan hanya strategi teknis, tetapi medan perjuangan bersama.
Host menutup percakapan dengan kalimat yang merangkum semangat itu, “Intinya bahwa peluang itu besar, bisa kita lakukan. Tapi kembali lagi kepada apa yang pertama kali disampaikan Sayyid Novel: ada peran, pilar satu, para tokoh, para ustadz, untuk memainkan perannya di tengah komunitas untuk mengarahkan ini semua,” tegas Ustadz Zahir
Bukan hanya kata-kata kosong, Jihad Ekonomi adalah amal nyata yang terwujud dari usaha kecil, komitmen moral, hingga sinergi kelembagaan. Semua elemen ini menjadi bagian integral dari perjuangan kolektif untuk membangun kemandirian organisasi dan komunitas.
Penutup
Ngopi Bareng Ketum edisi Juli 2025 ini menegaskan satu pelajaran penting, kemandirian lahir dari keberanian untuk bertumpu pada kaki sendiri. Para pengusaha membagikan kisah jatuh-bangun mereka, sambil menekankan bahwa usaha sejati tidak diukur semata dari keuntungan, melainkan dari sejauh mana manfaatnya dirasakan oleh orang lain.
Dari pengelolaan properti hingga listrik, dari strategi digital marketing hingga wakaf produktif, semua rangkaian pengalaman itu menyatu dalam satu pesan yang jelas bahwa Jihad Ekonomi adalah perjuangan yang menjaga marwah, menegakkan kemanusiaan, dan menumbuhkan solidaritas sosial. []
Untuk lebih lengkap, saksikan Podcast Ngopi Bareng Ketum di kanal YouTube ABI Official melalui tautan berikut: https://www.youtube.com/watch?v=glp_7HasU6w.
Baca juga : Dari Lomba Tradisional hingga Doa Bersama: DPW ABI Jabar Meriahkan 80 Tahun Kemerdekaan RI
