Kegiatan ABI
#PODCAST: Perang Asimetris dari Tehran ke Jakarta, Mampukah Indonesia Bertahan?
Ahlulbait Indonesia — Kali ini, Podcast Media ABI edisi 21 Juli 2025 menghadirkan narasumber istimewa, Husni Mubarak, seorang pengamat perang asimetris, dalam sesi diskusi bertajuk “Perang Asimetris dari Tehran ke Jakarta“. Acara ini dipandu oleh Billy Joe, yang mencoba menggali lebih dalam dampak dan dinamika perang asimetris dari kawasan Timur Tengah hingga menjalar ke jantung kehidupan sosial-politik di Jakarta. Mampukah Indonesia Bertahan?
Definisi dan Dimensi Perang Asimetris
Ketika ditanya tentang definisi perang Asimetris, Husni Mubarak menjelaskan bahwa berbeda dari perang konvensional yang ditandai dengan kontak fisik, suara tembakan, dan bau mesiu, perang asimetris bersifat lebih senyap namun efeknya bisa jauh lebih destruktif.
“Saya cenderung merujuk pada definisi yang dirumuskan oleh Global Future Institute. Menurut mereka, perang asimetris adalah perang yang tidak terdengar suara tembakan, tidak tercium bau mesiu, tetapi daya rusaknya lebih besar dari perang biasa,” terang Husni.
Sasaran dan Pola Serangan
Menurutnya, perang asimetris tidak diarahkan pada aspek militer semata, melainkan menyasar dua domain utama, yaitu Astagatra dan Pancagrata.“Semua ini menjadi target utama dari serangan non-konvensional,” tegasnya.
(Catatan redaksi: Astagatra adalah konsep dalam wawasan nasional Indonesia yang terdiri dari delapan aspek yang disebut gatra dab dibagi menjadi Trigatra (aspek alamiah) dan Pancagatra (aspek sosial). Trigatra meliputi geografi, kekayaan alam, dan demografi (kependudukan), sedangkan Pancagatra mencakup ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan. Secara keseluruhan, Astagatra merupakan pendekatan komprehensif untuk memahami ketahanan nasional Indonesia, dengan melihat hubungan dan interaksi antara aspek alamiah dan aspek sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Memahami Astagatra penting untuk menjaga kelangsungan hidup bangsa dan mencapai tujuan nasional.)
Tanda dan Strategi Deteksi
“Bagaimana kita mengenali perang asimetris ini?” tanya Billy. “Ciri-cirinya ada, tapi butuh kepekaan dan kesadaran berpikir. Karena itu saya kutip ayat tadi (Surat Ali Imran ayat 190), tanda-tanda ini hanya bisa dibaca oleh ulil albab, orang-orang yang mau berpikir,” jawab Husni. “Jika kita cermati, kita bisa melihat pola-polanya di hampir semua aspek kehidupan.”
Husni mencontohkan dari sisi ekonomi: “Ketika kita mengalami inflasi, krisis moneter, atau perang dagang, itu semua bagian dari perang asimetris. Ini bukan sekadar masalah teknis, tapi bagian dari desain global yang lebih besar.”
Baca juga : Ketum ABI Tegaskan Dukungan terhadap Palestina dan Iran
Konteks Timur Tengah dan Imbas ke Indonesia
Billy kemudian mengaitkan fenomena ini dengan konflik yang tengah memanas antara Iran, Israel, dan keterlibatan Amerika Serikat. “Bagaimana Bang Husni melihat konflik itu dari sudut pandang perang asimetris?” tanyanya.
“Konflik Iran-Israel bukan hanya perang terbuka. Yang lebih besar adalah perang narasi, perang ekonomi, dan infiltrasi ideologi. Dalam konteks ini, Jakarta pun tidak kebal. Perang asimetris bisa terjadi melalui media, ekonomi digital, hingga rekayasa opini publik,” jelas Husni.
Perang Dunia Ketiga Sudah Dimulai?
Dalam kelanjutan dialog, Billy Joe mengajukan pertanyaan yang kini ramai diperbincangkan publik: “Apakah perang antara Israel dan Iran saat ini merupakan pintu gerbang menuju Perang Dunia Ketiga?”
Husni Mubarak menjawab dengan tenang, “Jika kita melihat dari kacamata perang asimetris, maka Perang Dunia Ketiga sebenarnya sudah berlangsung. Hanya saja tidak disadari karena tidak hadir dalam bentuk yang konvensional.”
Ia menjelaskan bahwa publik baru menyadari konflik ketika terjadi tembak-menembak atau serangan rudal, seperti yang terjadi dalam perang 12 hari antara Iran dan Israel baru-baru ini. “Namun, dalam kerangka perang asimetris, konflik ini sudah dimulai jauh sebelum itu. Bahkan sejak Revolusi Islam Iran tahun 1979.”
Fatwa sebagai Peluru Pertama
Husni menyebut bahwa ketika Ayatullah Ruhullah Khomeini menetapkan Hari Jumat terakhir di bulan Ramadan sebagai Hari Al-Quds Internasional, itu sejatinya adalah bentuk serangan pertama terhadap entitas Zionis.“Bukan dalam bentuk rudal, tapi dalam bentuk ideologi dan moral global. Karena itu hanya berupa fatwa, banyak yang menganggap belum terjadi perang. Padahal itu adalah awal dari konfrontasi panjang yang tidak kasatmata.”
Kalau saat ini, bentuk perang asimetris antara Iran dan Israel seperti apa? Karena yang terlihat di media hanya rudal dan serangan udara?.
Husni menjelaskan bahwa perang asimetris tidak berhenti pada level serangan militer. Perang ini justru menembus dimensi yang lebih dalam. “Kalau kita berkaca dari konflik di Libya, Irak, Suriah, atau kemunculan ISIS, kita bisa membagi medan konflik menjadi tiga level utama.”
1. Perang Proksi (Proxy War)
“Ini sudah menjadi pengetahuan umum. Misalnya, Hizbullah dan Hamas memiliki keterikatan strategis dengan Iran. Sementara ISIS, sejak 2013 hingga 2017, diketahui memiliki relasi dengan Israel dan sekutunya.”
Perang proksi adalah konflik yang dijalankan oleh kelompok atau milisi yang mewakili kepentingan negara besar, tanpa melibatkan langsung kekuatan utama.
2. Perang Hybrid
“Level ini sudah lebih kompleks. Contohnya di Libya, saat NATO mulai mengintervensi langsung. Jadi bukan hanya proksi yang bergerak, tapi pasukan resmi negara-negara besar juga turut serta.”
Perang hybrid menggabungkan operasi militer konvensional dan non-konvensional, termasuk infiltrasi media, serangan siber, dan sabotase.
3. Perang Asimetris (Asymmetric Warfare)
“Inilah level yang paling tersembunyi dan berbahaya,” jelas Husni.
“Di sini tidak ada rudal yang terlihat, tapi dampaknya nyata, baik dari sisi ekonomi, ideologi, budaya, hingga moral bangsa. Operasi berlangsung dalam bentuk perang informasi, infiltrasi institusi, pengaruh media, dan operasi intelijen.”
Husni menambahkan bahwa meskipun saat ini telah terjadi genjatan senjata pasca-perang 12 hari, bukan berarti kawasan telah aman. “Genjatan senjata tidak berarti perdamaian. Di balik layar, justru terjadi intensifikasi operasi intelijen.”
Ia mengungkap bahwa baru-baru ini, aparat keamanan Iran menemukan beberapa lokasi yang dijadikan tempat penyimpanan drone, senjata, dan perlengkapan militer oleh kelompok-kelompok infiltratif. “Ini jelas bagian dari operasi intelijen yang merupakan ciri khas perang asimetris: sunyi, tapi mematikan.”
Perang di era modern tidak lagi sekadar tentang tank dan peluru. Perang di era ini telah berevolusi menjadi konflik multidimensi yang menyerang akar-akar bangsa: ideologi, budaya, ekonomi, dan psikologi publik.
“Perang dunia sudah terjadi. Bukan di medan tempur, tapi di kesadaran kita. Dan hanya bangsa yang berpikir yang mampu melihat dan menangkis serangannya,” terang Husni Mubarak.
Baca juga : Ketum ABI Apresiasi Peringatan Asyura 1447 H yang Berlangsung Damai dan Konstitusional
Operasi Senyap dan Perang Narasi
Husni Mubarak membuka bagian ini dengan menyoroti logika unik yang berlaku dalam dunia intelijen.
“Ketika suatu negara terlihat aman, intelijennya sebenarnya sedang bekerja keras. Sebaliknya, ketika negara tampak kacau, itu justru menunjukkan bahwa intelijennya telah kecolongan,” ujarnya.
Dalam konteks gencatan senjata antara Iran dan Israel, ia menegaskan bahwa perang asimetris tidak berhenti. Justru sebaliknya, konflik tersebut terus bergerak senyap dan menyentuh berbagai aspek, ekonomi, ideologi, budaya, hingga media sosial.
Perang Opini di Dunia Digital
Husni menyoroti aktivitas salah satu pejabat Israel di platform X (dulu Twitter) yang menyuarakan dukungan terhadap simbol-simbol Islam Sunni Iran. “Ini bukan pernyataan netral. Ini adalah perang opini yang diarahkan untuk menggiring narasi dan mengacaukan kohesi ideologis internal masyarakat Iran,” tegasnya.
“Dalam perang asimetris, narasi adalah peluru. Media adalah ladang tempur.”
Strategi Iran Menangkis Isolasi
Husni menilai bahwa konflik ini telah berlangsung lama dan tidak terbatas pada rudal atau tembakan.
“Israel merasa terancam sejak berdirinya Revolusi Islam Iran, dan Iran pun merasa perlu mempertahankan eksistensinya dari berbagai arah serangan, baik terbuka maupun terselubung,” jelasnya.
Menurut Husni, Iran merespons tekanan dengan mengaktifkan jaringannya. Hizbullah di Lebanon, Ansarullah di Yaman, Hamas yang kini mulai terkoneksi kembali dengan Iran setelah sempat menjauh. “Itu semua bagian dari strategi pertahanan asimetris Iran untuk mengimbangi pola dominasi Israel dan sekutunya di Timur Tengah,” tambah Husni.
Dampak Perang Asimetris terhadap Indonesia
Billy Joe kemudian mengajukan pertanyaan penting:
“Kalau narasi adalah senjata dalam perang asimetris, apakah mungkin dampaknya menyebar ke Indonesia?”
Husni dengan tegas menjawab, “Sangat mungkin. Bahkan sudah terjadi. Narasi yang diproduksi untuk menyerang negara lain bisa dengan mudah menyusup ke Indonesia. Mengapa? Karena kita adalah bangsa yang sangat rawan perpecahan.”
Konsep ITS: Isu, Tema, Skema
Untuk membaca dan mengantisipasi dampak perang asimetris di dalam negeri, Husni memperkenalkan konsep analisis dari Global Future Institute yang disebut ITS: Isu, Tema, dan Skema.
Isu: Masyarakat mulai membicarakan kekurangan beras.
Tema: Media nasional ramai memberitakan bahwa Indonesia mengalami krisis pangan.
Skema: Pemerintah akhirnya memutuskan untuk impor beras dari luar negeri.
“Kadang isu dimunculkan dulu untuk membentuk opini, baru muncul temanya. Tapi kadang sebaliknya, skemanya sudah dijalankan, lalu tema dibangun sebagai pembenaran. Ini teknik perang opini,” jelasnya.
Menariknya, Husni juga mengaitkan situasi Indonesia dengan analisis geopolitik jangka panjang. Ia mengutip karya John Perkins, mantan agen intelijen AS, dalam buku “Confessions of an Economic Hit Man.” “Perkins menjelaskan bahwa operasi intelijen di Indonesia sudah berjalan sejak 1970-an. Mereka membuat proposal, dan jika pemerintah menolak, maka dijalankan skema kedua. Jika itu juga gagal, maka digulirkan destabilisasi ekonomi, dan bila perlu, intervensi militer,” ungkap Husni.
Baca juga : Ketum ABI Tegaskan Dua Pilar Strategis Pengembangan Komunitas dalam Peluncuran ASIC
Ia juga mengulas tesis Samuel Huntington dalam “Clash of Civilizations”, khususnya soal benturan antarperadaban. “Saya curiga bahwa lokus konflik global ke depan adalah wilayah Indo-Pasifik. Dulu, perang demi energi berlangsung di Timur Tengah. Tapi ke depan, perebutan pengaruh geopolitik dan sumber daya akan bergeser ke kawasan ini,” tegasnya.
Dalam dialog yang padat dan strategis ini, satu hal menjadi jelas, bahwa perang asimetris tidak mengenal batas negara atau waktu. Ia menyusup lewat opini, budaya, ekonomi, bahkan wacana keagamaan.
“Jika kita tidak memiliki kesadaran geopolitik dan kemampuan membaca pola, maka kita akan menjadi korban dari konflik yang bahkan tidak kita sadari sedang terjadi,” pungkas Husni.
Dari Energi ke Pangan: Pergeseran Zona Konflik ke Indo-Pasifik
Dalam lanjutan dialog, Husni Mubarak menjelaskan bahwa jika konflik di Timur Tengah berakar pada perebutan energi, maka di kawasan Indo-Pasifik, pangan akan menjadi komoditas strategis yang memicu gesekan geopolitik.
“Diprediksi dalam beberapa tahun ke depan, sumber pangan akan makin menipis karena berkurangnya air tawar di sejumlah benua serta meningkatnya populasi global,” jelasnya. “Akibatnya, negara-negara di sekitar garis katulistiwa yang memiliki tanah subur dan potensi produksi pangan besar, akan menjadi zona target konflik berikutnya.”
Husni mengingatkan publik untuk tidak meremehkan kapasitas perencanaan jangka panjang dari negara-negara Barat. “Mereka itu sudah memetakan dan menyusun skema sejak puluhan tahun lalu,” katanya. Ia menyebut contoh Marshall Plan yang menurutnya bukan sekadar rencana rekonstruksi Eropa pasca-Perang Dunia II, melainkan juga menyimpan kerangka strategi geopolitik global jangka panjang.
“Kalau kita telisik ulang, target konflik untuk era pasca-2020 sudah diarahkan ke wilayah Indo-Pasifik. Ini bukan dugaan liar, tapi bagian dari desain besar yang hanya bisa terbaca jika kita mau membaca jejaknya.”
Terlalu Alarmistik?
Billy sempat menyuarakan skeptisisme yang mungkin juga dirasakan sebagian pendengar: “Ada yang bilang, ‘Wah, ini hanya nakut-nakutin. Indonesia kan aman, damai. Tidak mungkin masuk dalam pusaran konflik besar.’ Gimana menanggapi itu?”
Husni menjawab lugas dengan mengutip pernyataan dari pengamat militer Flavius (redaksi: cek Operation Flavius):
“Barang siapa ingin damai, maka bersiaplah untuk perang.” “Dalam sejarah peradaban manusia,” lanjutnya, “masa damai selalu lebih sedikit daripada masa perang. Jadi ini bukan soal menakut-nakuti. Ini soal kesadaran geopolitik dan kesiapan bangsa.”
Husni kemudian berbagi pengalaman pribadi yang menyentuh. “Saya berasal dari Maluku. Saya mengalami langsung konflik berdarah 1999–2000. Dan kami di sana, yang sudah pernah merasakan horor perang sipil, tidak ingin kembali ke masa itu. Tapi kami juga sadar: untuk menjaga perdamaian, kita tidak boleh naif.”
Ia menekankan bahwa ketahanan nasional tidak bisa dibangun hanya dengan doa dan harapan, tapi harus disertai dengan kesiapan struktural, naratif, dan mental.
Apakah Indonesia Sudah Siap?
Pertanyaan paling kritis akhirnya muncul: Apakah Indonesia sudah siap menghadapi perang asimetris? Jika belum, apa yang harus disiapkan? Sayangnya, diskusi di bagian ini belum sampai pada jawaban langsung. Namun dari keseluruhan pemaparan Husni Mubarak, kita bisa menangkap intisarinya:
Menurutnya, Indonesia harus melek geopolitik, bukan hanya sibuk dengan narasi domestik yang sempit. Harus ada pemetaan isu strategis nasional, terutama dalam bidang pangan, energi, ideologi, dan media. Negara harus mampu membaca dan mengantisipasi skema perang narasi yang menyusup lewat media sosial, ekonomi global, bahkan kebijakan publik.
“Perdamaian itu bukan keadaan pasif, tapi hasil dari kesiapsiagaan yang aktif,” katanya
Baca juga : Beragama Maslahat dalam Membangun Supremasi Hukum dan Tata Kelola Pemerintahan yang Baik
Indonesia dan Dilema Kesiapan Menghadapi Perang Asimetris
Ketika ditanya apakah Indonesia siap menghadapi skema besar perang asimetris seperti yang terjadi antara Iran dan Israel, Husni Mubarak tidak bertele-tele: “Belum siap.”
Namun, jawaban ini bukan bentuk pesimisme. Justru sebaliknya, itu adalah pernyataan realistik, karena menutupi masalah hanya akan memperparah kerentanan.
Husni mencontohkan dari aspek pertahanan udara di wilayah Maluku Tenggara, kawasan strategis yang berbatasan langsung dengan Australia. “Sampai saat ini sistem pertahanan udaranya belum mumpuni. Bahkan untuk menjangkau wilayah itu, pesawat tempur harus transit dulu untuk isi bahan bakar. Bayangkan jika terjadi serangan: saat armada tiba, wilayahnya mungkin sudah hancur,” jelasnya.
Ia menegaskan bahwa Indonesia, sebagai negara kepulauan, harus membenahi pertahanan di daerah-daerah terpencil, bukan hanya di pusat-pusat kota. Sebagai perbandingan, Husni menunjuk pada Iran dan Israel yang telah membangun sistem pertahanan ekonomis berbasis rudal. “Efisien, murah, dan efektif. Itulah model pertahanan modern yang mestinya diadopsi Indonesia,” tegasnya.
Kerapuhan Indonesia bukan hanya pada level militer, katanya.
“Di aspek sosial-budaya, kita masih sering menghadapi konflik horizontal antar suku. Itu belum termasuk yang terjadi di Papua dan wilayah-wilayah dengan tensi sosial tinggi.”
Husni mengibaratkan situasi ini seperti api kecil yang sewaktu-waktu bisa meledak, terutama bila disiram dengan narasi-narasi adu domba yang merupakan senjata khas dalam perang asimetris.
Perang Asimetris Sudah Terjadi, Tapi Tak Disadari
Husni menyampaikan peringatan serius:
“Perang asimetris terhadap Indonesia sudah berjalan. Tapi karena bentuknya bukan bom atau rudal, maka banyak yang tidak sadar.” Menurutnya, perang ini hadir dalam bentuk:
1. Narasi yang memecah belah
2. Operasi intelijen ekonomi
3. Infiltrasi budaya
4. Manipulasi opini publik
Apa yang Harus Dilakukan? Jawaban Husni jelas: Ketegasan kepemimpinan. “Yang dibutuhkan sekarang adalah pemimpin yang tidak hanya tahu data, tapi punya sense of threat, kepekaan terhadap ancaman. Negara harus mulai dari sekarang: membenahi pertahanan terluar, menyusun sistem keamanan informasi, dan memperkuat imunitas ideologi rakyat.”
Karena dalam perang jenis ini, warganya adalah medan tempur. Dan jika tidak disiapkan, bangsa bisa kalah bahkan sebelum sadar sedang diserang.
Tentu saja, mengatakan Indonesia belum siap bukan bentuk pesimisme, tapi fondasi dari kesiapan itu sendiri. Bangsa yang mengira dirinya aman padahal rentan adalah bangsa yang sedang menunggu untuk dijajah, bukan oleh senjata, tapi oleh narasi.
“Kalau kita ingin damai,” terang Husni, “kita harus mempersiapkan perang. Karena tidak ada kedamaian yang gratis.”
Baca juga : #PODCAST: Kiprah ABI Jateng Membangun Toleransi di Tengah Tantangan Keberagaman
Tantangan Kepemimpinan Nasional
Husni membuka dengan mengkritisi kondisi politik Indonesia secara jujur: “Kalau kita lihat dari aspek politik, jumlah partai di Indonesia jauh lebih banyak dibanding negara-negara besar seperti Amerika Serikat, Cina, atau Rusia. Semakin banyak partai, semakin banyak pula kepentingan dan ‘mulut’ yang harus dijaga.”
Ia mempertanyakan apakah sistem demokrasi kita sudah berjalan secara ideal. Menurutnya, sejak era reformasi, fondasi bernegara Indonesia masih belum tersusun secara rapi dan baku. Akar sistemnya lemah, sehingga sistem politik pun masih rapuh secara periodik.
Di sinilah menurut Husni pentingnya ketegasan pemimpin nasional: “Seorang pemimpin harus tegas terhadap visi dan misinya. Jangan sampai terpengaruh oleh tekanan segelintir elit atau kepentingan partai.”
Namun di balik kritik tersebut, ia menyampaikan harapan: “Saya pernah beberapa kali bertemu dengan Presiden Prabowo Subianto. Dengan latar belakang militernya, saya cukup optimis bahwa beliau paham betul soal pertahanan dan ancaman perang asimetris. Mudah-mudahan, aspek-aspek strategis ini segera dibenahi di awal masa pemerintahannya.”
Modal Terbesar Masyarakat: Kesadaran
Saat ditanya apa bekal paling penting bagi masyarakat untuk menghadapi perang asimetris, Husni menjawab tanpa ragu: “Kesadaran. Itu yang paling utama.”
Kesadaran yang dimaksud bukan sekadar tahu bahwa ada ancaman, tapi kesadaran geopolitik dan kehidupan berbangsa. Ia menekankan pentingnya kesadaran akan pluralitas Indonesia: “Kita ini terdiri dari berbagai suku dan bangsa. Ini kekayaan, tapi sekaligus titik paling sensitif jika dimanfaatkan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab.”
Ia mencermati bahwa banyak konflik horizontal bermula dari gesekan antar suku atau kelompok, yang kemudian dimanfaatkan untuk membakar sentimen. Masalahnya, saat emosi sudah dimainkan, logika dan kesadaran bisa tertinggal jauh. “Kalau kesadaran itu sudah tertanam sejak awal, kesadaran bahwa kita semua dipersatukan oleh ideologi Pancasila, maka kita tidak akan mudah terprovokasi.”
Menjawab Perang Asimetris dan Lawan yang Tak Terlihat
Di bagian akhir, pembicara menegaskan bahwa provokasi berbasis SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) adalah bagian dari strategi musuh dalam perang asimetris. “Siapa pun yang mencoba memecah kita berdasarkan suku, ras, atau agama, sebenarnya mereka sedang bekerja untuk musuh.”
Ditegaskannya, Indonesia sedang menghadapi perang yang bentuknya tak selalu berupa rudal atau peluru. Tapi melalui opini, narasi, dan konflik sosial yang didesain. Oleh karena itu, tugas utama masyarakat adalah memperkuat kesadaran nasional. Sementara pemimpin dituntut untuk tegas, visioner, dan berani berdiri di atas semua kepentingan sektoral.
“Jika kita bersatu dalam kesadaran, musuh tak akan mudah masuk, bahkan dengan strategi paling licik sekalipun.”
Baca juga : DPP ABI Audiensi ke Kemendagri: Perkuat Komitmen Kebangsaan dan Jalin Kemitraan Strategis
Perang Asimetris: Konflik yang Tak Kasat Mata, tapi Sangat Nyata
Mengenai ancaman perang asimetris, Husni menggarisbawahi bahwa banyak pihak, sadar atau tidak, telah menjadi alat dari kekuatan musuh yang ingin menghancurkan Indonesia dari dalam.
“Sadar atau tidak sadar, mereka sebenarnya sedang bekerja untuk musuh dalam perang asimetris.”
Salah satu strategi utama perang ini adalah membenturkan sesama anak bangsa, termasuk di antaranya konflik antara Sunni dan Syiah, yang menurutnya justru tidak menjadi persoalan di kalangan para ulama.
“Konflik ini tidak ada di kalangan ulama. Tapi ada segelintir kelompok yang merasa keberadaan Syiah mengancam, lalu menuding mereka sebagai aliran sesat dan lain sebagainya.”
Husni mengutip pernyataan klasik Presiden Soekarno: “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian akan lebih berat karena melawan saudara sebangsa sendiri.”
Kalimat itu hari ini menjadi sangat relevan. Menurutnya, konflik yang muncul saat ini tidak terjadi secara alami, melainkan by design, dirancang oleh kekuatan tertentu dengan tujuan melemahkan bangsa dari dalam.
“Tidak ada sesuatu yang terjadi secara otomatis. Semua ada desainnya. Bahkan kalau ada yang ikut-ikutan, itu karena memang digerakkan.”
Literasi yang Lemah, Nalar yang Rentan Digiring
Husni menggarisbawahi bahwa salah satu akar kerentanan masyarakat kita adalah minimnya budaya literasi, terutama literasi keagamaan dan kebangsaan. “Kita perlu memahami kemampuan nalar mereka. Literasi kita lemah. Kalau seseorang sudah terdoktrin dengan ideologi radikal, maka mereka mudah digerakkan.”
Ia mengingatkan bahwa meskipun beberapa organisasi radikal sudah dibubarkan karena anti-Pancasila, akar ideologinya belum benar-benar dicabut. Masih banyak oknum yang menyimpan dan menyebarkan cara berpikir menyimpang tersebut. “Organisasinya dibubarkan, tapi akarnya belum tentu mati. Mereka tinggal menunggu pemicu untuk bergerak lagi.”
Konflik Horizontal, Luka Lama yang Dipelihara
Husni menyatakan bahwa konflik antara Sunni dan Syiah, atau konflik antar suku dan agama lainnya, pada dasarnya dimainkan oleh pihak-pihak kecil yang radikal. Ini bukan representasi mayoritas umat beragama di Indonesia. “Hanya segelintir orang yang punya pemahaman menyimpang dan mudah terbakar emosi lalu menuduh sesama saudara sebagai sesat.”
Ia kembali menekankan pentingnya kesadaran geopolitik dan literasi kebangsaan. Ketika masyarakat menemukan indikasi provokasi, mereka harus segera bertanya pada pihak yang kompeten atau melapor kepada otoritas. Diam dan ikut-ikutan hanya akan memperparah situasi.
2045 Hanya Akan Jadi Mimpi Jika Kita Masih Terjebak Konflik Klasik
Husnii mengakhiri dengan pesan yang tajam dan menggugah: “Umur Indonesia sudah cukup tua. Kita seharusnya lebih dewasa menyikapi isu-isu yang dapat memicu konflik horizontal. Kalau masih terjebak dalam konflik klasik yang terus dipelihara, bagaimana kita mau menuju Indonesia Emas 2045?”
Provokasi berbasis agama, suku, dan ideologi bukanlah isu sektoral. Ini bagian dari strategi besar perang asimetris yang tak terlihat. Bangsa ini hanya bisa bertahan jika setiap warga negara memelihara kesadaran, memperkuat literasi, dan menolak menjadi pion konflik.
“Kalau ada provokasi, cobalah tanya pada diri sendiri: Jangan-jangan ini bagian dari strategi musuh untuk menghancurkan kita dari dalam?”, pungkasnya.
Baca juga : LAPORAN KHUSUS #PODCAST ABI | Iran Pasca Konflik 12 Hari: Bagaimana Kondisi Sebenarnya di Iran Hari Ini?
Penutup dari redaksi:
Perang asimetris bukan sekadar strategi licik kekuatan adidaya. Ini adalah bentuk baru kolonialisme, tanpa seragam, tanpa panser, tapi lebih mematikan dan membunuh. Perang ini menyusup lewat opini, membenturkan lewat identitas, dan menjatuhkan bangsa dari dalam, tanpa perlu menjajah dari luar.
Dari Tehran ke Jakarta, medan ini sama: umat dipecah, sejarah dibelokkan, dan ideologi dikaburkan. Yang mereka takuti bukan senjata kita, tapi kesadaran kita. Karena begitu umat sadar, begitu bangsa ini sadar, tak satu pun kekuatan asing mampu menjatuhkan Indonesia.
Dan mereka yang hari ini membenturkan Sunni-Syiah, Islam-Nasionalis, suku demi suku, bukan sedang membela iman dan Islam, mereka sedang bekerja untuk musuh. Entah sadar, entah dijadikan alat.
Hari ini tugas kita bukan sekadar bertahan, tugas kita adalah membangkitkan, melawan dan memberikan pencerahan. Menyalakan kembali obor kesadaran, bahwa Indonesia bukan ladang eksperimen geopolitik. Indonesia adalah tanah tumpah darah yang harus dijaga, bukan dijual. Indonesia adalah rumah umat dan bangsa, bukan arena konflik buatan.
Inilah zamannya: antara menjadi bangsa merdeka berdiri di atas kaki sendiri, atau budak baru dalam skema perang yang tak tampak. Dan hanya mereka yang menjaga akidah, akal, dan arah yang akan tetap berdiri di sisi kebenaran. []
Baca juga: Perang Asimetris dari Tehran ke Jakarta
