Kegiatan ABI
#PODCAST SPESIAL | Menelusuri Tabut Bengkulu: Warisan Spirit Karbala di Tanah Bencoolen Bersama Ketua KKT
Jakarta, 26 Oktober 2025 — Tradisi Tabut Bengkulu bukanlah hanya festival budaya tahunan, melainkan representasi spiritualitas Islam yang menautkan sejarah perjuangan Imam Husain a.s. di Karbala dengan kesadaran budaya masyarakat Nusantara.
Hal tersebut terungkap dalam Podcast Spesial Media ABI bertajuk “PODCAST SPESIAL | Di Balik Tabut Bengkulu: Jejak Spirit Karbala di Tanah Bencoolen Bersama Ketua KKT”, tayang pada Minggu malam (25 Oktober) dengan menghadirkan Ir. Achmad Syiafril Syahboeddin, Ketua Keluarga Kerukunan Tabut (KKT) Bencoolen, bersama host Abdul Hakim.
Program ini terselenggara atas kolaborasi DPP Ahlulbait Indonesia (ABI), DPW DKI Jakarta, dan DPD Jakarta Selatan, sebagai bagian dari upaya menghadirkan ruang dialog kebudayaan yang berakar pada nilai dan sejarah Islam di Nusantara.
Baca juga : Pimcab Muslimah ABI Balikpapan Gelar Pelatihan Tingkat Dasar (PTD): Perkuat Kaderisasi dan Soliditas Umat

“Tabut” sebagai Simbol Keselamatan, Bukan Kematian
Dalam penjelasannya, Achmad Syiafril menegaskan bahwa pemaknaan umum masyarakat terhadap “Tabut” kerap keliru. Istilah tersebut, menurutnya, tidak memiliki keterkaitan langsung dengan kematian, melainkan berakar pada konsep keselamatan dalam kisah para Nabi.
“Kata Tabut pertama kali muncul dalam Al-Qur’an, ketika ibunda Nabi Musa menempatkan bayinya dalam sebuah peti untuk menyelamatkannya dari kejaran Firaun. Jadi, Tabut adalah simbol perlindungan dan keselamatan, bukan kematian,” jelas Syiafril.
Lebih jauh, ia mengaitkan simbol tersebut dengan legitimasi kepemimpinan spiritual dalam sejarah Islam. Dalam kisah Thalut dan Jalut, Tabut menjadi penanda kebenaran dan keabsahan kepemimpinan Thalut. “Dalam konteks Imam Husain, Tabut menegaskan legitimasi moral kepemimpinan beliau yang menentang kezaliman Yazid bin Muawiyah,” imbuhnya.
Asal-Usul Historis Tabut di Bengkulu
Tradisi Tabut di Bengkulu diperkirakan berkembang sejak abad ke-14 Masehi, dibawa oleh komunitas Muslim keturunan India dan Persia yang bermigrasi ke kawasan Bangkah Hulu (sekarang Bengkulu) pasca-keruntuhan Baghdad tahun 1258 M.
“Para perantau dan ulama itu membawa ingatan kolektif tentang tragedi Karbala. Mereka menyebarkan nilai-nilai perjuangan Imam Husain yang kemudian bertransformasi dalam bentuk budaya lokal,” tutur Ketua KKT tersebut.
Jejak historis ini menjadikan Tabut sebagai satu dari sedikit tradisi di Asia Tenggara yang memadukan unsur spiritual Syiah dengan ekspresi sosial-budaya Melayu secara harmonis dan terbuka.
Tiga Nilai Fundamental Tradisi Tabut
Syiafril menjelaskan bahwa Tabut mengandung tiga nilai utama yang diwariskan lintas generasi:
1. Kecintaan kepada Ahlulbait. Peringatan atas syahidnya Imam Husain di Karbala menjadi ekspresi spiritual atas loyalitas kepada keluarga Rasulullah SAW.
2. Perlawanan terhadap Kezaliman. Peristiwa Karbala menjadi simbol moral melawan penguasa lalim di setiap zaman. “Nilai ini tetap relevan, terutama ketika kita melihat penindasan di berbagai belahan dunia, termasuk Palestina,” ujarnya.
3. Refleksi Tahun Baru Hijriah. Pelaksanaan Tabut yang bertepatan dengan bulan Muharram menjadi momentum evaluasi spiritual dan moral umat Islam.
Rangkaian Ritual Tabut: Napak Tilas Spirit Karbala
Prosesi Tabut dimulai sejak malam pertama Muharram hingga 10 Muharram. Ritual diawali dengan “Mengambil Tanah”, melambangkan hubungan simbolik dengan tanah Karbala yang dipercaya berubah warna menjadi merah sebagai tanda kesyahidan Imam Husain.
Berlanjut pada zikir, pembangunan Tabut, dan prosesi arak-arakan, yang mencapai puncaknya pada 10 Muharram melalui kegiatan “Tabut Bersanding” dan “Ziarah Tabut” di area yang disebut Padang Karbala Bengkulu.
Secara historis, prosesi ditutup dengan “Tabut Terbuang”, di mana Tabut dihanyutkan ke air sebagai simbol pembersihan diri dari kezaliman dan keburukan. Namun, tradisi ini kini jarang dilakukan karena perubahan kondisi lingkungan.
Fisik Tabut terbuat dari bambu dan pelepah rumbia, mencerminkan nilai kesederhanaan, keberlanjutan, dan kepedulian ekologis. Pada bagian puncak Tabut terdapat ornamen bulan dan bintang, simbol kejayaan Islam dan cahaya ketauhidan.
Baca juga : Pelantikan Pengurus Baru DPD ABI Samarinda: Menyatukan Langkah untuk Kemajuan Bersama
Antara “Tabut”, “Tabot”, dan “Tabuik”
Syiafril juga menekankan pentingnya ketepatan terminologi. “Istilah yang benar adalah Tabut. Ejaan Tabot berasal dari kesalahan transliterasi kolonial Inggris terhadap huruf ‘u’. Dalam catatan Belanda dan karya orientalis Thomas Walker Arnold, istilah aslinya ditulis Tabut atau Taboet, bukan Tabot,” terangnya.
Adapun di Pariaman, Sumatera Barat, tradisi serupa disebut “Tabuik”, sebuah adaptasi linguistik dari akar kata yang sama, menandakan keterkaitan historis antara komunitas Bengkulu dan Minangkabau.
Menjaga Ruh Tradisi di Tengah Modernisasi
Sebagai generasi kelima pelestari tradisi Tabut di Bengkulu, Syiafril menegaskan bahwa tantangan utama hari ini bukan pada keberlanjutan bentuk ritual, melainkan pada pendangkalan makna. “Banyak yang memandang Tabut hanya sebagai tontonan. Padahal, esensinya adalah pendidikan moral dan spiritual. Tradisi akan kehilangan makna bila dipisahkan dari nilai-nilai yang melahirkannya,” ujarnya.
Ia berpesan kepada generasi muda untuk membaca sejarah dari sumber primer, memahami nilai-nilai luhur, dan melestarikan Tabut bukan hanya sebagai rutinitas budaya, melainkan sebagai tanggung jawab kebudayaan dan spiritual.
Tabut sebagai Cermin Identitas dan Ketahanan Budaya
Dalam kesimpulan podcast, host Abdul Hakim menegaskan bahwa Tabut Bengkulu bukan hanya warisan lokal, tetapi manifestasi dialog antara iman dan budaya. Tradisi ini menjadi ruang hidup bagi pesan universal Karbala: keadilan, keteguhan, dan kemanusiaan. “Tabut adalah kitab budaya yang terbuka. Siapa pun yang membacanya dengan hati akan menemukan pelajaran tentang keberanian dan ketauhidan,” ujar Abdul Hakim menutup perbincangan.
Tentang KKT Bencoolen
Keluarga Kerukunan Tabut (KKT) adalah organisasi kemasyarakatan berbadan hukum yang berperan menjaga, meneliti, dan mengembangkan tradisi Tabut di Bengkulu. KKT berkomitmen melestarikan nilai-nilai spiritual Tabut sebagai bagian dari identitas kultural dan moral masyarakat Bencoolen.
Kesimpulan:
Podcast Media ABI kali ini tidak hanya mengulas sejarah sebuah ritual, tetapi membuka kembali kesadaran tentang sinkretisme spiritual Islam di Nusantara yang berakar kuat pada nilai tauhid dan keadilan. Tradisi Tabut Bengkulu berdiri sebagai bukti bahwa budaya bukan hanya ekspresi lahiriah, melainkan instrumen peradaban yang menjaga nurani sejarah. []
Baca juga : Muslimah ABI Gali Keteladanan Sayyidah Zainab as sebagai Inspirasi Kesehatan Mental
