Kegiatan ABI
Waketum ABI: Deklarasi Jakarta, Kompromi Politik di Tengah Derita Palestina?

Jakarta, 17 Mei 2025 – Konferensi ke-19 Uni Parlemen Negara-Negara Anggota Organisasi Kerja Sama Islam (PUIC) resmi berakhir pada Kamis, 15 Mei 2025, di Jakarta. Namun di balik seremoni diplomatik dan retorika politik yang mengemuka, sejumlah pihak menilai bahwa hasil konferensi tersebut masih jauh dari cukup untuk menjawab tragedi kemanusiaan yang terus berlangsung di Palestina.
Wakil Ketua Umum Ahlulbait Indonesia (ABI), Ustadz Ahmad Hidayat, menyampaikan catatan kritis terhadap deklarasi tersebut dalam pernyataan tertulis yang diterima Media ABI pada Sabtu (17/5). Beliau menyebut bahwa meskipun deklarasi tersebut tampak konstruktif, terdapat sejumlah hal mendasar yang perlu dipertanyakan. “Seolah terjadi kompromi politik di tengah derita Palestina,” ujarnya.
Konferensi empat hari yang digelar di kompleks parlemen Senayan itu dihadiri oleh sembilan ketua parlemen, 14 wakil ketua, dan sembilan organisasi internasional pengamat. Ketua DPR RI, Puan Maharani, dalam konferensi pers penutupan menyatakan bahwa forum tersebut menghasilkan Deklarasi Jakarta yang memuat 26 poin rekomendasi, termasuk seruan dukungan terhadap perjuangan Palestina dan implementasi solusi dua negara.
Beberapa poin utama dalam Deklarasi Jakarta menekankan pentingnya diplomasi dalam penyelesaian konflik antarnegara. Secara khusus, deklarasi menegaskan dukungan terhadap perjuangan kemerdekaan Palestina dan menyerukan implementasi solusi dua negara. Dokumen tersebut juga memperingatkan ancaman dari Israel sebagai kekuatan pendudukan yang berupaya mencaplok wilayah Palestina, serta menolak segala bentuk pemindahan paksa penduduk atau aneksasi tanah Palestina.
Baca juga : Pandu ABI: Membangun Generasi Ahlulbait Tangguh dari Pondasi Perjuangan
Namun demikian, Ustadz Ahmad menilai bahwa sejumlah poin dalam deklarasi masih memerlukan penegasan lebih lanjut. “Tidak ada pernyataan tegas yang menyatakan komitmen negara-negara anggota PUIC untuk memutus atau menghentikan hubungan dagang dengan Israel, atau menolak normalisasi hubungan yang telah dilakukan oleh sejumlah negara Arab,” tegasnya.
Beliau juga mengkritik deklarasi yang dinilai belum menyentuh aspek strategis penyelesaian konflik Palestina-Israel. “Solusi dua negara sudah diusung selama puluhan tahun, namun tidak membawa kemajuan berarti. Justru, itu menjadi pintu masuk bagi Israel untuk melanjutkan agresi militer dan pendudukan, seraya mengabaikan berbagai resolusi PBB,” paparnya.
Lebih lanjut, Ustadz Ahmad menekankan pentingnya membangun solidaritas di antara negara-negara anggota PUIC dengan menyingkirkan isu-isu sektarian dan perpecahan mazhab.
Beliau juga menyayangkan tidak adanya sikap tegas dalam deklarasi terkait tuntutan terhadap Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, di pengadilan HAM internasional. “Tidak ada penegasan sikap PUIC untuk mendesak pelaksanaan keputusan pengadilan HAM internasional yang telah memerintahkan penangkapan Netanyahu atas kejahatan kemanusiaan dan genosida,” tandasnya.
Selain itu, Ustadz Ahmad mengkritisi ketiadaan pernyataan resmi dari PUIC yang secara eksplisit mengutuk pembantaian warga Palestina dalam dua tahun terakhir. “PUIC seharusnya menyerukan penghentian pembantaian terhadap anak-anak, perempuan, serta serangan terhadap fasilitas kesehatan. Juga perlu ada desakan kepada Mesir dan Yordania untuk membuka jalur suplai bantuan kemanusiaan internasional,” pungkasnya.
Di luar isu Palestina, Deklarasi Jakarta juga memuat penegasan pentingnya tata kelola pemerintahan yang baik. Deklarasi tersebut memberikan mandat kepada Sekretaris Jenderal PUIC untuk melakukan kajian dan analisis terhadap pelaksanaan misi deklarasi, serta melaporkannya kepada Troika Kepresidenan PUIC dalam waktu enam bulan sejak diadopsi.[]
Baca juga : Ustadzah Aminah bin Yahya Kembali Pimpin Muslimah ABI Jatim di Muswil III