Kegiatan ABI
Waketum ABI: “Kekuatan ABI Terletak pada Keyakinan Total dan Konsolidasi yang Rapi”
Jakarta, 7 Oktober 2025 — Wakil Ketua Umum Ahlulbait Indonesia (ABI), Ustadz Ahmad Hidayat, menyampaikan arahan penting dalam rapat evaluasi rutin Dewan Pimpinan Pusat (DPP) ABI, yang dihadiri oleh seluruh unsur pimpinan dan perwakilan departemen di Kantor DPP ABI, Selasa (7/10).
Dalam sambutannya sebelum rapat dimulai, Ustadz Ahmad menekankan dua hal mendasar yang menjadi fondasi kekuatan organisasi, yaitu keteguhan spiritual dan konsolidasi kelembagaan.
Beliau membuka arahannya dengan refleksi atas wiladah Imam Hasan Al-Askari as., yang bertepatan dengan 8 Rabiul Akhir, seraya mengajak seluruh jajaran pengurus untuk meneladani keteguhan dan ketegasan para Imam suci dalam menghadapi tekanan kekuasaan Bani Abbasiyah.
“Masa kepemimpinan Imam Hasan Al-Askari as. merupakan periode yang sangat berat dalam sejarah Ahlul Bait. Namun, menariknya, justru pada masa penuh tekanan itu dakwah Syiah berkembang dan semakin terorganisir dengan baik,” ujar Ustadz Ahmad, seraya mengutip gagasan Ayatullah Sayyid Ali Khamenei dalam karya monumentalnya, Manusia 250 Tahun — sebuah buku yang merangkum sejumlah khotbah dan analisis politik Ayatullah Ali Khamenei, Pemimpin Tertinggi Republik Islam Iran, mengenai perjalanan historis dan perjuangan politik para Imam suci Ahlul Bait.
Menurut Ustadz Ahmad, para Imam pada periode akhir telah mempersiapkan struktur kepemimpinan dan sistem komunikasi yang kemudian menjadi cikal bakal jaringan perwakilan Imam Mahdi as. pada masa Ghaibah Sughra. Langkah strategis itu menunjukkan betapa matang dan visionernya para Imam dalam memastikan kesinambungan dakwah dan bimbingan umat meski tanpa kehadiran fisik Imam maksum.
Iman yang Total, Bukan Sederhana
Mengulas wasiat Imam Ali bin Abi Thalib as. kepada putranya, Imam Hasan al-Mujtaba as., Ustadz Ahmad menekankan kembali pentingnya prinsip “wa’tasimu bihablillahi jami’an” — berpegang teguh kepada tali agama Allah secara utuh dan tanpa keraguan.
Beliau menegaskan bahwa keimanan sejati tidak boleh setengah hati, tidak bersandar kepada selain Allah SWT, dan harus dilandasi keyakinan penuh.
“Kalau keyakinan kita minimal, maka perhatian Allah pun akan minimal. Namun jika keyakinan kita total, maka pertolongan Allah akan datang secara total pula,” tegasnya.
Untuk memperkuat pesannya, Ustadz Ahmad mencontohkan kisah Ibunda Nabi Musa as., yang dengan penuh keyakinan kepada ilham Ilahi, berani menghanyutkan bayi Musa ke Sungai Nil—sebuah tindakan yang tampak berisiko, namun justru menjadi awal dari keselamatan dan kemuliaan Nabi Musa.
“Itu bentuk iman yang serius, bukan iman sederhana,” ujarnya.
Baca juga : Ustadz Zahir Yahya: Badai Al-Aqsa Menumbangkan Mitos “Israel Tak Terkalahkan”
Tali Agama Allah di Zaman Modern
Ustadz Ahmad kemudian mengaitkan pesan spiritual tentang “tali agama Allah” dengan realitas zaman modern melalui konsep Wilayatul Faqih yang dirumuskan oleh Imam Khomeini ra.
“Wilayatul Faqih adalah bentuk konkret dari tali agama Allah yang dibentangkan dari langit melalui para Imam Ma’shum, dan diteruskan hingga ke masa kita sekarang,” jelasnya.
Beliau menegaskan bahwa sistem kepemimpinan ini bukan sekadar struktur politik, tetapi manifestasi dari kesinambungan bimbingan Ilahi dalam kehidupan umat Islam pasca masa kehadiran para Imam maksum.
Ustadz Ahmad juga menyoroti keteguhan dan kebijaksanaan Ayatullah Sayyid Ali Khamenei, yang selama lebih dari tiga dekade memimpin Republik Islam Iran dan mempertahankan sistem Wilayatul Faqih di tengah tekanan global yang masif.
“Seluruh dunia menjadi lawannya, tapi beliau tetap berdiri tegak dan elegan, melanjutkan perjuangan dengan ketenangan dan keyakinan penuh. Itulah contoh nyata dari keyakinan ‘inna ma‘iya rabbi’, sungguh, aku bersama Allah,” tegasnya.
Menata Sistem Organisasi dari Pusat hingga Daerah
Dalam diskusi Dewan Pimpinan Pusat (DPP) tahun 2012, telah dibicarakan mengenai Road Map Pengembangan ABI yang dirancang dalam tiga fase bertahap, masing-masing dalam kerangka waktu sepuluh tahunan. Peta jalan ini dimaksudkan sebagai arah strategis jangka panjang yang dapat terus dikembangkan sesuai dinamika zaman dan kebutuhan organisasi.
Fase Pertama (2010–2020): Konsolidasi dan Penguatan Struktur
Fase sepuluh tahun pertama difokuskan pada penguatan fondasi organisasi melalui proses konsolidasi, koordinasi, komunikasi, dan fasilitasi di seluruh tingkatan. Pada tahap ini, dilakukan pembentukan struktur kepengurusan di semua level yang dianggap perlu dan memungkinkan, guna membangun dasar yang kokoh bagi keberlanjutan organisasi.
Fase Kedua (2020–2030): Penataan Sistem dan Tata Kelola Profesional
Fase kedua merupakan periode penyusunan kerangka konsideran serta sistem tata kelola organisasi yang profesional dan modern, berpijak pada nilai-nilai ajaran Islam sebagai control of conduct (pengendali perilaku organisasi). Pada tahap ini, dilakukan penyempurnaan pemahaman dan penerapan prinsip-prinsip tersebut secara konsisten di seluruh struktur organisasi, termasuk lembaga-lembaga otonom di bawahnya. Tujuannya adalah terciptanya keseragaman dan keserasian sikap, sehingga setiap kebijakan yang dihasilkan di tingkat pusat dapat diterjemahkan dan dijalankan secara selaras di seluruh tingkatan kepengurusan.
Baca juga : ABI dan ITB Ahmad Dahlan Jajaki Kerja Sama Beasiswa dan Kolaborasi Ekonomi
Fase Ketiga (2030–2040): Penguatan Eksistensi dan Kehadiran Publik
Fase ketiga merupakan periode penguatan eksistensi dan kehadiran ABI secara maksimal namun tetap elegan di berbagai lapisan masyarakat. Fokus utama adalah memperluas peran dan khidmat organisasi, baik di lingkungan internal komunitas, di tengah sesama anak bangsa, maupun dalam kemitraan konstruktif dengan pemerintah.
“Kita berharap pada tahun 2030 sistem tata kelola ABI sudah tertata rapi. Apa yang berbunyi A di DPP, harus berbunyi A juga di DPD, seragam, terukur, dan profesional,” ujarnya menegaskan.
Beliau menambahkan bahwa keberhasilan tata kelola organisasi sangat bergantung pada kerja simultan antar-departemen, serta keseragaman pola manajemen di seluruh struktur kelembagaan, termasuk di lembaga-lembaga otonom di bawah ABI.
“Kalau target 2030 ini tercapai, maka pada fase berikutnya ABI akan tampil sebagai organisasi yang diperhitungkan secara nasional, baik di hadapan negara maupun di tengah masyarakat,” tutur Ustadz Ahmad dengan nada optimistis.
Kemitraan dan Posisi ABI di Masa Depan
Dalam bagian lain sambutannya, Ustadz Ahmad menyinggung pentingnya hubungan kemitraan dan dialog konstruktif antara Ahlul Bait Indonesia (ABI) dengan ormas-ormas Islam lainnya di Indonesia. Beliau kemudian mengisahkan kembali pertemuannya dengan Prof. Din Syamsuddin, tokoh terkemuka Muhammadiyah, yang menilai bahwa ABI memiliki potensi besar untuk menjadi mitra strategis Muhammadiyah di masa depan.
“Beliau mengatakan, jika Muhammadiyah telah modern dan sistematis, maka ABI pun dapat mengambil peran serupa, dengan pengelolaan yang tertib, profesional, dan terintegrasi dari pusat hingga daerah,” kenang Ustadz Ahmad.
Pandangan tersebut, menurutnya, menunjukkan adanya ruang sinergi yang luas antarormas Islam, terutama dalam membangun peradaban Islam Indonesia yang berkeadaban, rasional, dan berorientasi pada kemaslahatan umat.
Keyakinan Kolektif sebagai Sumber Kekuatan
Menutup sambutannya, Ustadz Ahmad menegaskan bahwa kekuatan sejati sebuah organisasi tidak hanya terletak pada struktur atau kerja administratif semata, melainkan pada keyakinan kolektif yang total kepada Allah SWT.
Beliau mengajak seluruh jajaran pengurus untuk menyempurnakan iman, memperkuat komitmen terhadap prinsip Wilayatul Faqih, serta bekerja dengan visi jangka panjang menuju kematangan organisasi pada tahun 2030.
“Kita berada di jalan ini bukan kebetulan. Kita dipilih untuk menguatkan tali agama Allah di masa penantian Imam Mahdi as. Maka keyakinan kita tidak boleh minimalis,” ujarnya dengan nada penuh keyakinan dan keteguhan spiritual.
Sambutan kemudian ditutup dengan doa dan harapan agar seluruh jajaran kepengurusan, dari DPP, DPW, DPD, hingga lembaga otonom, senantiasa menjaga ritme kerja, menyatukan visi, dan meneguhkan keyakinan maksimal dalam menjalankan khidmat organisasi di jalan Ahlul Bait. []
Baca juga : Beragama Maslahat dalam Pelestarian Lingkungan: Dari Spiritualitas ke Kesadaran Publik
