Kegiatan ABI
Wawancara Eksklusif | Fahmi Shahab: Komunikasi dan Negoisasi Efektif, Jalan Dialog Sehat
Jakarta, 27–28 September 2025 – Di tengah masyarakat yang rawan terbelah oleh perbedaan, Ahlulbait Indonesia (ABI) memilih jalan dialog. Melalui Pelatihan Komunikasi Efektif dan Negosiasi yang digelar di Jakarta, 27–28 September 2025, ABI menegaskan komitmennya: merawat kebhinekaan bukan dengan debat kusir, melainkan lewat percakapan sehat, keterampilan negosiasi, dan seni memahami perbedaan.
Sebanyak 29 peserta dari berbagai perwakilan, termasuk Dewan Pimpinan Pusat (DPP) ABI, Dewan Pimpinan Wilayah (DPW), Pimpinan Nasional Muslimah ABI, Pimpinan Nasional Pandu, Pimpinan Nasional ABI Responsif, serta DPW ABI dari DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, Kalimantan Timur, Sumatra Selatan, Sulawesi Utara, dan Maluku, mengikuti Pelatihan Komunikasi Efektif dan Negosiasi yang digelar di Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta, Sabtu–Minggu (27–28 September 2025).
Di sela-sela kegiatan, tim Media ABI, Moh Ali, berkesempatan melakukan wawancara eksklusif dengan pemateri utama, Fahmi Shahab, Ketua PSDM DPP ABI sekaligus Direktur Eksekutif Pusat Mediasi Nasional (PMN) sejak 2004. PMN merupakan lembaga nirlaba yang didedikasikan untuk memajukan praktik dan pelatihan mediasi di Indonesia, serta dikenal sebagai salah satu penyelenggara pelatihan mediasi paling senior yang diakui Mahkamah Agung RI.
Baca juga : Ketua Umum MUI DKI Jakarta Menerima Kunjungan Silaturahmi DPW ABI DKI Jakarta

Berikut petikan wawancara selengkapnya.
Bisa dijelaskan, apa tujuan kegiatan pelatihan ini?
Pelatihan ini merupakan program baru di PSDM. Kami mengusulkan agar keterampilan komunikasi efektif menjadi basic skill bagi semua orang. Namun, penerapannya dilakukan bertahap, dimulai dari pimpinan pusat, pimpinan DPW, atau minimal utusan DPW. Harapannya, setiap orang bisa berlatih komunikasi yang efektif.
Keterampilan ini penting bukan hanya untuk komunikasi sehari-hari, tapi juga dalam proses negosiasi. Setiap orang membutuhkannya.
Bagi organisasi, manfaatnya lebih besar lagi. Anggota memiliki pandangan dan cara berbeda, meski banyak kepentingan yang sama. Perbedaan cara komunikasi dan sudut pandang itulah yang sering membuat interaksi menjadi kurang nyaman.
Sebagai komunitas Syiah yang sering menghadapi persekusi, persoalan komunikasi juga kerap menjadi penyebab hubungan yang tidak baik. Karena itu, program ini bertujuan melatih kita menjalin dialog. Dialog bukan untuk mencari kesepakatan, melainkan untuk menciptakan percakapan yang kondusif dan saling memahami.
Apakah pelatihan ini bisa diterapkan dalam perbedaan pandangan agama, mengingat di Indonesia hal itu masih sering terjadi?
Sejauh ini jumlahnya memang masih terbatas. PMN bekerja sama dengan Pusat Paramadina telah menyelenggarakan tujuh angkatan pelatihan bagi tokoh agama dan tokoh masyarakat di FKUB, serta tiga angkatan untuk kalangan gereja. Sambutan yang kami terima sangat positif, baik dalam konteks penyelesaian masalah antartokoh maupun dalam menangani aduan kasus. Intinya tetap kembali pada komunikasi.
Bagaimana dengan pengikut Ahlulbait (Syiah) yang di sejumlah daerah masih mengalami persekusi? Apakah model pelatihan ini bisa diterapkan?
Untuk konteks Syiah, kita tidak bisa berharap terlalu jauh, karena perbedaan mazhab masih sangat sensitif di masyarakat Indonesia. Namun, pelatihan ini tetap memberikan keterampilan penting: bagaimana menghadapi pertanyaan, merespons kritik dengan bijak, dan menghindari cara-cara yang dapat memicu konflik lebih besar maupun sinisme yang tidak perlu.
Tetapi bila tujuannya sampai pada penyelesaian konflik yang lebih mendalam, tentu dibutuhkan pelatihan lanjutan.
Bukankah masyarakat kita memiliki kearifan lokal, cara-cara tradisional untuk meredam dan menyelesaikan masalah?
Kita memang harus bersyukur tinggal di Indonesia yang memiliki kearifan musyawarah untuk mufakat. Namun dalam praktiknya, menurut para ahli, tradisi ini mengalami banyak penurunan. Bisa karena kemajuan zaman, masuknya sistem digital, hingga masifnya media sosial yang justru melemahkan komunikasi interpersonal.
Di sisi lain, kearifan lokal ini harus terus diingatkan kembali. Kita punya budaya saling menghormati perbedaan pendapat dan bermusyawarah untuk mencapai mufakat. Sayangnya, semangat itu banyak yang hilang. Bhineka Tunggal Ika kerap tinggal slogan tanpa makna yang nyata.
Pelatihan ini menjadi salah satu upaya untuk memperbaiki pola komunikasi yang sudah rusak, sekaligus menghidupkan kembali nilai luhur tersebut.
Fenomena hoaks di media sosial sering mengganggu komunikasi antarindividu. Bagaimana sebaiknya menyikapinya?
Pertama, kita harus kritis. Kedua, selalu tabayun. Jika ada kabar buruk tentang saudara kita, carilah seribu satu alasan untuk menutupinya, bukan malah menikmatinya.
Kita berharap setiap Muslim menerapkan ajaran ini: tidak mudah percaya begitu saja. Dalam pelatihan, kami juga mengajarkan reframing, mengulang apa yang kita dengar dengan lebih halus, agar informasi tidak berkembang menjadi bola liar.
Menjadi mediator memang membutuhkan kematangan, kebijaksanaan, dan penerimaan dari semua pihak yang berselisih. Jangan sampai tujuan mediasi gagal hanya karena mediator tidak kompeten atau sekadar mengaku-aku.
Baca juga : DPW ABI NTB Hadir dalam Rapat Pembinaan dan Pengawasan Ormas
Seberapa optimistis ABI ke depan bisa berperan sebagai mediator dalam berbagai konflik di masyarakat?
Kita sebagai Muslim, khususnya komunitas Ahlulbait, harus berkompetisi dalam kebaikan bersama ormas dan komunitas lain, tidak terbatas pada sesama Muslim saja. Ini teladan Nabi Muhammad SAW.
Contohnya, jika ada kabar buruk, jangan mudah menyebarkannya. Biarkan masyarakat menilai sendiri. Bila hal ini dilakukan secara konsisten, akan memberi warna positif bagi masyarakat, para tokoh, maupun pemangku kebijakan.
Apa pesan utama dari pelatihan ini bagi komunitas Ahlul Bait?
Apa yang kita lakukan ini berangkat dari nilai-nilai kemanusiaan sekaligus memperjelas ajaran agama. Intinya, kita harus bermanfaat bagi orang lain.
Komunitas Ahlulbait juga memiliki kewajiban dan amanah yang harus ditunaikan, yaitu melaksanakan ajaran-ajaran para Imam Ahlulbait. Mereka adalah teladan dan panutan bagi kita, sehingga kewajiban ini bukan hanya tanggung jawab moral, tapi juga bentuk pengabdian.
Suara Peserta
Media ABI juga berkesempatan mewawancarai beberapa peserta pelatihan.
Ustadzah Hayati Muhammad, Ketua Pimpinan Nasional Muslimah ABI
“Pelatihan ini sangat menarik dan membantu. Kami belajar bagaimana bernegosiasi untuk menyelesaikan permasalahan dalam kondisi yang lebih tenang, terutama ketika kedua pihak sedang emosi.
Dengan keterampilan komunikasi dan negosiasi yang efektif, kita bisa menemukan solusi bersama dengan tenang, mengidentifikasi permasalahan, dan menyepakati jalan keluar yang bisa diterima para pihak.
Sebagai pimpinan Muslimah ABI, saya menilai pelatihan ini sangat penting. Karena itu saya mengusulkan agar PSDM memperluasnya untuk seluruh pimpinan wilayah dan cabang Muslimah ABI. Dengan begitu, setiap masalah dapat diselesaikan tanpa emosi, baik terkait kepengurusan maupun persoalan keluarga.
Misalnya, ketika pasangan mengalami masalah yang tidak bisa diselesaikan sendiri, diharapkan mereka bisa dimediasi dan dibantu menemukan jalan keluar.
Di Muslimah ABI sendiri sudah ada program konseling keluarga, yang terdiri dari pakar konselor lintas disiplin ilmu serta para asatidz yang mumpuni. Program ini membantu menyelesaikan persoalan keluarga maupun persoalan fikih yang dihadapi masyarakat Ahlul Bait.”
Muhammad Makhtum, Humas dan Media DPW Kaltim
“Sebelumnya saya belum punya gambaran jelas tentang pelatihan ini. Namun setelah mengikuti, saya mulai memahami bagaimana cara memediasi para pihak jika terjadi permasalahan, baik di internal komunitas Ahlulbait maupun dengan pihak eksternal.
Selama ini DPW Kaltim sudah menjalin komunikasi yang baik dengan berbagai lembaga, termasuk dengan pemerintah provinsi. Dengan bekal dari pelatihan ini, saya merasa lebih mampu melanjutkan komunikasi yang sudah terbangun, sekaligus meningkatkan kualitasnya.
Banyaknya simulasi yang dilakukan membuat saya semakin tertarik untuk melanjutkan ke pelatihan mediator lanjutan secara lebih serius. Harapannya, saya bisa menularkan keahlian ini kepada pengurus lain, baik di DPW maupun DPD. Dengan begitu, komunitas kita akan memiliki negosiator dan mediator yang tersertifikasi.
Sebagai guru pesantren, saya melihat pelatihan ini sangat aplikatif. Seorang ustadz tidak hanya menghadapi santri, tetapi juga para asatidz dari luar pesantren, bahkan dari mazhab dan pandangan berbeda. Dalam kondisi seperti itu, komunikasi yang baik sangat penting: kita harus banyak mendengar pihak lain, memilih momen yang tepat untuk menjawab, dan merespons seperlunya dengan bijak.”
Penutup
Pelatihan komunikasi efektif dan negosiasi yang diprakarsai PSDM DPP ABI bukan hanya agenda peningkatan kapasitas organisasi, tetapi juga ikhtiar membangun peradaban dialog. Di tengah masyarakat yang kian rentan terbelah oleh perbedaan, Ahlulbait Indonesia menegaskan bahwa keterampilan komunikasi bukan hanya alat bertahan, melainkan jalan untuk menghadirkan maslahat, merawat kebhinekaan, dan menjaga martabat bangsa. [Moh. Ali/MT]
Baca juga : Spirit Perlawanan dalam Haul Syahadah Sayyid Hassan Nasrallah Bergema di Jepara
