Ikuti Kami Di Medsos

Opini

36 Tahun Wafat Imam Khomeini: Ruhullah Tak Mati, Ia Berubah Menjadi Perlawanan Global

36 Tahun Wafat Imam Khomeini: Ruhullah Tak Mati, Ia Berubah Menjadi Perlawanan Global

Oleh: Media ABI

Ahlulbait Indonesia — Teheran, 3 Juni 1989. Malam itu, kota yang menjadi jantung Revolusi Islam terdiam dalam kegelisahan yang tak terucap. Langit seperti menahan napas. Angin musim panas berembus pelan, membawa bisikan-bisikan resah dari lorong-lorong kota hingga ke bilik-bilik doa. Dan tepat pukul 22:20, sebuah kabar menyelinap keluar dari rumah sederhana di utara Teheran, lalu menyebar bagaikan gelombang yang menghantam seluruh daratan Iran:

Imam telah pergi…

Tak terdengar derap sepatu tentara. Tak ada letusan senjata. Hanya suara isak dan rintihan doa yang pelan namun dalam. Dalam sekejap, bangsa ini tahu, bahwa sejarah telah berbelok. Bukan karena revolusi pecah, tapi karena jantung peradaban baru, telah kembali kepada Sang Pemilik Kehidupan.

Imam Ruhullah al-Musawi al-Khomeini, ulama, pejuang, dan pemimpin spiritual yang mengubah arus sejarah dunia, telah wafat.

Di ruang redaksi harian Kayhan waktu itu, para jurnalis berjaga dengan wajah pucat. Belum ada internet, belum ada media sosial. Hanya teleks, radio gelombang pendek, dan stasiun berita asing yang terus dipantau dalam keheningan. Hossein Shariatmadari, direktur redaksi, mengenang malam itu dengan suara bergetar: “Associated Press (AP) pada 4 Juni menulis, “Khomeini, setelah kematiannya, kini bangkit kembali.”

Dan memang, esok paginya, Iran tidak hanya menangis. Iran berdiri tegak.

Hitam yang Bukan Sekadar Duka

Di fajar 4 Juni, jutaan warga berduyun-duyun turun ke jalan-jalan. Warna hitam menyelimuti kota-kota Iran bukan sebagai simbol ratapan semata, melainkan sebagai panji tekad. Dari desa-desa sunyi hingga pusat kota yang padat, dari para sesepuh hingga anak-anak kecil yang belum mengerti makna syahadah, semuanya hadir. Mereka tak datang untuk mengantar jenazah, melainkan untuk mengangkat kembali semangat yang ditinggalkan.

Baca juga : Pancasila: Ideologi Agung yang Terlupakan dalam Parade Seremonial

Musuh-musuh Republik Islam, yang selama ini menyimpan harapan akan berakhirnya sistem ini seiring wafatnya Imam, menyambut kabar itu dengan senyum dan liputan riang. Mereka menyangka bahwa dengan runtuhnya sosok Khomeini, bangunan Revolusi Islam akan ikut runtuh. Tetapi mereka salah baca. Yang meninggal adalah tubuhnya. Yang tetap hidup, adalah ruh perjuangannya.

Imam Khomeini: Arsitek Peradaban Baru

Ruhullah Khomeini bukan sekadar pemimpin revolusi. Khomeini adalah pencipta paradigma. Ia tidak datang dengan senjata, melainkan dengan keberanian untuk membalik arah sejarah. Ia menggulingkan dinasti monarki berusia dua milenium, bukan untuk menggantinya dengan rezim baru, melainkan untuk menghidupkan kembali Islam sebagai kekuatan pembebas.

Tiga pilar ajarannya; Spiritualitas, Rasionalitas, dan Keadilan bukanlah retorika podium, melainkan jalan hidup. Khomeini menolak Islam yang tunduk pada istana, menolak agama yang berkompromi dengan penindasan. Imam hidup dalam kesederhanaan, bersujud di malam hari dengan air mata, dan bangkit di siang hari sebagai pembela kaum tertindas. Baginya, Islam bukan hanya agama; Islam adalah gerakan, kesadaran, dan transformasi.

Ayatullah Sayyid Ali Khamenei, dalam sidang Dewan Ahli di hari wafat Imam Khomeini, mengucapkan kalimat yang kini menjadi fondasi sejarah: “Seni agung Imam adalah membawa Islam keluar dari pengasingan.”

Kini, dunia menyaksikan bahwa seni itu telah menjadi arsitektur peradaban baru.

Baca juga : Bersuaralah untuk Palestina, Jangan Hanya Jadi Penonton

Revolusi yang Tak Mati Bersama Imam

Para pengamat Barat, yang membaca revolusi ini melalui teori karisma Max Weber, meramalkan keruntuhan tanpa figur sentral. Mereka lupa, bahwa dalam Islam, karisma tidak melekat pada individu, tapi pada kebenaran. Dan selama kebenaran itu dijaga, ruh revolusi akan terus hidup.

Ayatullah Khamenei, sebagai pemimpin penerus, bukan sekadar mewarisi, tetapi menyulut kembali api perjuangan. Republik Islam bertahan dari sabotase internal, perang delapan tahun, embargo ekonomi, dan agresi media global. Tapi revolusi tidak hanya bertahan. Ia berakar, bertunas, dan menjelma menjadi gerakan global.

Kini, dari Lebanon hingga Teheran, dari Damaskus hingga Sanaa, dari Najaf hingga Caracas, dari Jakarta hingga Gaza, lahir sebuah Poros Perlawanan. Bayang-bayang panjang dari cahaya yang pernah dinyalakan Imam.

36 Tahun Berlalu, Imam Masih Ada

Hari ini, tiga dekade lebih sejak kepergiannya, generasi baru justru tampil sebagai penjaga api. Di medan perang dan ruang kelas, di mimbar dan layar digital, ruh Imam hidup dalam langkah mereka. Mereka bukan hanya mengenangnya, mereka menjalankan cita-citanya.

Nama Khomeini terpahat di grafiti tembok Quds, dalam puisi Lagos, dalam zikir pemuda Asia Tenggara, dan dalam orasi mahasiswa di kampus-kampus Eropa dan Amerika. Dari Beirut ke Bamako, dari Caracas ke Jakarta, dari Gaza ke Johannesburg di mana pun ada penindasan, semangat Imam berbisik:

Berdirilah!

Imam Telah Pergi, Namun Ia Meninggalkan Jalan

Pada malam 3 Juni itu, bumi kehilangan seorang pemimpin, tetapi langit sejarah memperoleh bintang yang tak padam. Imam dimakamkan tiga hari kemudian, 6 Juni 1989, di Behesht-e Zahra, di antara Syuhada yang ia cintai. Tapi ia tidak pernah benar-benar pergi. Ia hadir dalam kesadaran. Dalam gerakan. Dalam doa.

Dan selama dunia ini masih membutuhkan keadilan, selama kaum tertindas masih mengangkat suara, selama ada satu jiwa yang berkata “tidak” kepada tirani, maka Imam Khomeini masih hidup. Bukan sebagai nama dalam buku sejarah, tetapi sebagai ruh yang membimbing umat menuju fajar yang dijanjikan.

Segala sesuatu yang kalian miliki adalah karena Allah dan untuk Allah,” demikian pesan terakhir Imam Khomeini.

Dan karena itu, Ruhullah akan terus bangkit, dimana saja dan kapan saja. Setiap hari. Dalam setiap jiwa.

Khomeini telah pergi. Namun revolusinya tetap menyala. Dan ruhnya, terus memimpin. []

Baca juga : Kedaulatan Energi: Pelajaran dari Ketegasan Iran untuk Indonesia