Opini
ABI Sudah Tembus Gaza, Mari Kita Ikuti Jejaknya
Oleh: Billy Joe
Ahlulbait Indonesia — Beberapa bulan lalu, di sebuah sudut kota Indonesia, para relawan Ahlulbait Indonesia (ABI) berdiri di lampu merah, menggalang donasi untuk Palestina. Dengan penuh harap, mereka mengulurkan kotak kardus kepada pengendara yang berhenti. Seorang donatur sempat melontarkan pertanyaan yang membuat suasana terdiam sejenak: “Bantuan ini benar-benar sampai ke Gaza? Bukankah wilayah itu dikepung dari segala arah?”
Relawan ABI tersenyum, menatap dengan yakin, dan menjawab singkat: “Insya Allah sampai.” Saat itu, jawaban itu terdengar sebagai penguat hati. Hari ini, janji tersebut telah terbukti nyata.
Di tengah kebuntuan banyak lembaga internasional menyalurkan bantuan, ABI justru berhasil menembus Gaza dan Tepi Barat. Capaian ini bukan sekadar soal logistik, melainkan soal kepercayaan, membuktikan bahwa solidaritas Indonesia mampu menembus blokade yang tampak mustahil.
Pertanyaan “sampai atau tidak” memang selalu menghantui penggalangan donasi. Semua tahu betapa sulitnya akses menuju Gaza. Truk bantuan menumpuk di perbatasan, banyak yang akhirnya gagal masuk. Tantangan bagi lembaga kemanusiaan bukan hanya mengumpulkan dana, tetapi memastikan transparansi: bahwa setiap rupiah amanah benar-benar menjadi air, makanan, atau kebutuhan pokok di tangan rakyat Palestina.
ABI telah melewati ujian itu. Pada 17 Agustus 2025, bertepatan dengan Hari Kemerdekaan RI ke-80, mereka menyalurkan 25.000 liter air bersih ke Jabalia, Gaza, wilayah yang lama dilanda krisis air. 26 Agustus, mereka hadir di Tulkarem, Tepi Barat, membawa 100 paket sembako dan 100 tas sekolah untuk anak-anak keluarga syuhada dan tawanan. Menutup bulan, ABI kembali ke Gaza, membagikan 500 hidangan untuk warga sekitar RS Ma’madani.
Kontras dengan itu, laporan resmi PBB menggambarkan kondisi yang jauh lebih kelam. UNRWA melaporkan sejak Maret 2025 mereka kehabisan stok tepung dan makanan. 6.000 truk bantuan kini terhenti di luar Gaza, menunggu izin yang tak kunjung datang. Bahkan satu truk pun sulit menembus blokade.
Lebih tragis lagi, laporan OHCHR mencatat sejak Mei hingga Juli 2025, lebih dari 1.373 warga Palestina tewas ketika berusaha mengakses bantuan makanan. Mereka bukan kombatan, hanya orang-orang yang berjuang demi sekantong tepung untuk keluarga. Dunia menyebut ini sebagai kemungkinan kejahatan perang, bahkan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Baca juga : Kemandirian Ekonomi: Jalan Berliku Menuju Harga Diri Komunitas Ahlulbait Indonesia
Di tengah kegelapan itu, hadirnya bantuan dari ABI adalah cahaya kecil yang kontras. Tentu skalanya tidak sebesar ribuan truk PBB. Namun, esensinya jelas: jalan kemanusiaan masih bisa ditempuh jika ada keberanian, kreativitas, dan ketulusan.
Momentum ini kian bermakna karena bertepatan dengan bulan kemerdekaan Indonesia. Delapan puluh tahun silam, bangsa ini menolak tunduk pada penjajahan. Kini semangat itu hidup kembali dengan wujud solidaritas: mendampingi bangsa yang masih dirampas haknya. Ketua Umum ABI, Ustadz Zahir Yahya, menegaskan bahwa bantuan ini bukan sekadar logistik, tetapi juga pesan moral, bahwa kemerdekaan dan keadilan adalah hak semua manusia.
Perbandingan antara macetnya distribusi PBB dan keberhasilan ABI menimbulkan pertanyaan penting. Apakah hambatan bantuan semata-mata logistik? Ataukah ada faktor politik yang dengan sengaja menutup jalur kemanusiaan?
Pengalaman ABI membuktikan bahwa solidaritas tidak harus menunggu restu politik. Solidaritas bisa lahir dari komunitas yang berani menolak logika blokade. Bahwa air bisa sampai ke Jabalia, anak-anak di Tulkarem bisa tersenyum dengan tas sekolah baru, dan keluarga di Gaza bisa menyantap makanan hangat di tengah kelaparan, semua itu bukti nyata.
Kini pertanyaannya: apakah langkah ABI akan berdiri sendiri? Jawabannya seharusnya tidak. Justru keberhasilan ini harus menginspirasi organisasi lain, komunitas masyarakat, dan jaringan diaspora untuk bergerak. Jika ABI mampu menembus blokade, maka yang lain pun bisa. Rakyat Palestina tidak menunggu satu tangan, tetapi sebanyak mungkin tangan yang mau terulur.
Bantuan ABI mungkin belum menyelesaikan seluruh krisis. Namun ia membawa pesan yang lebih besar: bahwa dalam dunia penuh sekat, selalu ada celah untuk menyalurkan cinta dan solidaritas. Dalam dunia yang dikendalikan kepentingan, selalu ada ruang untuk ketulusan. Dan dalam perjuangan yang tampak tanpa ujung, selalu ada bukti bahwa secercah keikhlasan mampu menembus dinding paling tebal.
Solidaritas Indonesia untuk Palestina melalui tangan relawan ABI bukan lagi retorika. Ia nyata, ia sampai, dan ia hidup dalam senyum anak-anak Gaza maupun Tepi Barat. Dari senyum itulah dunia kembali belajar: kemanusiaan tidak pernah bisa diblokade. []
Referensi:
1. https://www.unrwa.org/resources/reports/unrwa-situation-report-186-situation-gaza-strip-and-west-bank-including-east-jerusalem
2. https://news.un.org/en/story/2025/08/1165552
3. https://www.ahlulbaitindonesia.or.id/berita/kegiatan/memperingati-hut-ke-80-ri-dan-bulan-maulid-nabi-abi-salurkan-donasi-untuk-palestina/
Baca juga : Amarah Rakyat, Musibah, dan Peringatan Bagi Bangsa
