Opini
Abu Obaida dan Kritik Tajam Racun Sektarianisme
Oleh: Billy Joe
Ahlulbait Indonesia – “Dan kami berkata kepada mereka, para ulama dan para dai umat ini: Apakah kalian akan menunggu kabar bahwa Masjid Al-Aqsa yang diberkahi telah dihancurkan suatu pagi nanti, semoga Allah tidak mengizinkannya? Seluruh umat menanti penjelasan tentang hakikat konflik, penjelasan yang syar’i, jelas, tegas, dan terus-menerus mengenai bahaya yang dihadapi rakyat dan tempat-tempat suci kami. Juga seruan untuk menyingkirkan wacana sektarian yang memecah belah dan merusak umat. Inilah yang kami harapkan dari kalian.”
Begitulah penggalan pidato Juru Bicara Hamas, Abu Obaida, bukan dengan ancaman, bukan dengan senjata, tapi dengan satu pertanyaan sederhana yang menggetarkan jantung siapa pun yang masih merasa punya hati dan iman. Bagi siapa saja yang mengaku bagian dari umat ini—yang mungkin lebih sibuk berdebat soal cara shalat sedekap atau lurus—pertanyaan itu mestinya menggelegar lebih dari dentuman bom.
Tapi, anehnya, tidak. Yang menggema justru pertengkaran mazhabiah yang tak kunjung reda. Di saat rakyat Palestina berjuang mempertahankan hidup dan kehormatan, sebagian dari kita malah lebih giat menyerang saudara seiman hanya karena beda bacaan doa Qunut. Kita sibuk membedah identitas, bukan mengobati luka. Maka Abu Obaida, Juru Bicara yang biasanya berselimut topeng, kali ini membuka lebih dari sekadar wajah: ia membuka borok kita sendiri—racun sektarian yang diam-diam meracuni paru-paru umat.
Tidakkah ini ironis? Sementara zionis menyerbu dengan peluru, kita menyerbu saudara sendiri dengan dalil. Sementara anak-anak Gaza tak tahu besok bisa makan atau tidak, kita sibuk melabeli siapa yang halal darahnya karena “sesat”. Ketika Masjid Al-Aqsa terancam diratakan, masih ada dari kita yang merasa lebih terancam jika melihat seseorang salat pakai cara yang tidak “kita banget”. Dalam absurditas semacam ini, pertanyaan Abu Obaida bukan hanya teguran—ia adalah cermin yang memantulkan betapa rendahnya sebagian prioritas kita.
Abu Obaida tak sekadar menyeru perlawanan terhadap penjajah. Dia menyeru pembebasan diri dari kejumudan berpikir dan fanatisme kosong. Dia tahu, penjajah akan selalu menjajah, tapi yang lebih berbahaya adalah saat penjajahan dibantu oleh kebodohan dan sektarianisme internal. Betapa lucunya—dan menyedihkannya—melihat sebagian tokoh yang begitu galak bicara soal “bahaya Syiah” atau “konspirasi mazhab minoritas” tapi mendadak kelu ketika bicara soal zionisme. Mungkin karena mengkritik zionis itu berisiko, tapi mengutuk mazhab lain bisa panen like dan undangan ceramah.
Kita menyebut diri umat Muhammad, tapi tak segan memusuhi orang yang berbeda Fikih. Kita lantang menyuarakan ukhuwah Islamiyah di panggung, lalu berbisik membisikkan kebencian pada sesama muslim di belakang panggung. Kita seolah lupa bahwa bala tentara zionis tak pernah peduli siapa itu Sunni atau Syiah, siapa itu Salafi atau Sufi. Mereka tak akan menunda serangan untuk mengklarifikasi mazhab korbannya. Tapi sayangnya, kita masih sibuk menyortir siapa yang pantas disebut “Ahlus Sunnah sejati” atau siapa yang sudah “menyimpang dari manhaj”.
Baca juga : Transfer Data ke AS: Risiko Kedaulatan Digital di Balik Perjanjian Dagang
Di sinilah racun sektarian itu menjelma seperti kabut tipis yang perlahan-lahan mencekik. Tidak kentara, tapi mematikan. Racun yang menyelinap lewat mimbar, layar YouTube, kolom komentar, bahkan khutbah Jumat. Diberi nama-nama indah seperti “gairah menjaga akidah” atau “menjaga kemurnian ajaran”, padahal hakikatnya adalah semangat memecah belah, membakar jembatan persaudaraan, dan menggiring umat menjadi gerombolan yang saling mencurigai.
Kritik Abu Obaida itu bukan semata tentang Palestina, tentang kita semua. Tentang bagaimana kita telah menyia-nyiakan energi besar umat untuk saling menjatuhkan. Tentang bagaimana sebagian dari kita menjadi lebih Zionis daripada Zionis itu sendiri—dalam arti paling tajam dan satirisnya—karena turut membantu proyek pemecahbelahan dengan bungkus “Amar Makruf Nahi Munkar”. Tentu saja, yang dimaksud munkar adalah tahlilan atau ziarah kubur, bukan penjajahan dan pembunuhan anak-anak.
Saya tahu ini bukan narasi yang nyaman. Tapi kenyamanan bukan ukuran kebenaran. Sebab dalam dunia yang sedang terbakar, mereka yang merasa nyaman justru yang paling patut dicurigai. Narasi ini juga bukan tentang menyamakan semua mazhab atau menghapus perbedaan. Justru perbedaan adalah berkah—selama ia tidak dijadikan senjata untuk menusuk dada saudara sendiri. Abu Obaida, dengan segala keterbatasannya sebagai juru bicara perang, justru menyuarakan hal yang gagal diucapkan oleh banyak tokoh agama: bahwa sektarianisme bukan lagi soal perbedaan pendapat, tapi sudah menjadi alat pemecah kekuatan umat yang sebenarnya ditunggu-tunggu oleh musuh bersama.
Apakah kita masih bisa berharap pada para ulama dan dai untuk mengubah keadaan? Mungkin. Tapi bukan yang hanya sibuk selfie sambil membawa Al-Quran ke studio podcast. Bukan pula yang lebih sering mengkafirkan daripada mendoakan. Yang dibutuhkan adalah mereka yang berani bicara saat mayoritas memilih diam, yang lebih takut akan murka Allah daripada kehilangan follower. Yang mengerti bahwa membela Palestina bukan hanya dengan slogan atau donasi, tapi dengan memotong akar sektarianisme yang membunuh ruh solidaritas.
Narasi ini tak akan selesai dengan kesimpulan yang manis. Karena kenyataannya, kita masih jauh dari waras. Tapi setidaknya, jika pertanyaan Abu Obaida bisa membuat satu orang saja berhenti menyebar kebencian mazhab, atau membuat satu mimbar berani bicara soal zionis alih-alih membahas sesat tidaknya Syiah—maka ia sudah lebih berhasil dari ribuan ceramah panjang tanpa makna. Sebab terkadang, yang lebih memekakkan daripada ledakan bom adalah suara keheningan kita terhadap ketidakadilan. Dan yang lebih membakar daripada Napalm adalah api sektarianisme yang kita nyalakan sendiri—di masjid, di grup WhatsApp, dan di hati yang lupa bahwa semua ini bukan tentang menang argumen, tapi tentang menyelamatkan rumah suci kita yang nyaris roboh.[]
Baca juga : Dari Karbala ke Aqsa: Ritual Arbain Sebagai Maqma Muqawamah
