Opini
Amerika Mengambil Alih TikTok: Sensor, Simbol, dan Kolonialisme Digital Baru
Oleh: Muhlisin Turkan
Ahlulbait Indonesia — Trump teken perintah eksekutif, TikTok bakal dialihkan ke pemilik AS. “Saya telah menentukan bahwa divestasi ini akan memungkinkan jutaan warga Amerika tetap menggunakan TikTok, sambil menjaga keamanan nasional,” bunyi perintah eksekutif Donald Trump, dikutip CNN, Jumat (26/9).
Pernyataan itu mungkin terdengar administratif, tapi dampaknya politis, bahkan ideologis. Jelas, bukan semata-mata keputusan bisnis, melainkan langkah besar untuk mengendalikan pikiran global.
Imperium Digital Amerika
Di dunia modern, media bukan lagi hanya dipahami saluran informasi. Media adalah senjata strategis dalam membentuk opini publik dan perilaku kolektif. Negara-negara besar menyadari bahwa mengendalikan pikiran jauh lebih efektif daripada menguasai perbatasan.
Amerika Serikat paham betul pelajaran itu. Dengan menguasai infrastruktur media global, Washington membangun apa yang bisa disebut “imperium digital”, sebuah tatanan di mana istilah “akses” dan “kebebasan berekspresi” hanya berlaku sejauh tidak mengancam kepentingannya sendiri.
Kasus TikTok menjadi contoh paling mutakhir: perebutan kekuasaan geopolitik di medan siber, disamarkan dengan istilah “keamanan nasional” dan “perlindungan data.”
Keamanan Data atau Keamanan Dominasi?
Di balik jargon tersebut tersembunyi logika lama: “keamanan nasional” versi Amerika berarti keamanan politik, bukan keamanan teknis. Setiap platform yang tak tunduk pada korporasi atau kapital Amerika dianggap ancaman eksistensial. “Keamanan data” berarti menjaga monopoli narasi dan arus informasi agar tetap dapat diawasi, disensor, dan dimanipulasi bila perlu, oleh lembaga seperti NSA dan Komando Siber AS.
Masalah Washington dengan TikTok bukanlah soal kode sumber, tetapi soal kedaulatan algoritma. TikTok beroperasi di luar filter nilai-nilai Barat, memungkinkan munculnya suara generasi muda global yang tidak tunduk pada narasi hegemonik Amerika. Inilah “ancaman” sebenarnya, bahwa algoritma non-Amerika yang memengaruhi kesadaran publik dunia.
Dari Snowden ke ByteDance
Sejak kebocoran dokumen Edward Snowden, dunia tahu bahwa perusahaan-perusahaan seperti Meta, Google, dan X hanyalah ekstensi dari sistem pengawasan global AS. Dengan kombinasi pengaruh hukum, ekonomi, dan keamanan, Washington menciptakan arsitektur mata-mata digital di mana setiap klik, pencarian, dan percakapan bisa menjadi bahan intelijen.
Keberhasilan Tiongkok lewat TikTok (aplikasi non-Amerika yang mendominasi pasar domestik AS) tak bisa diterima. Maka, lewat tekanan hukum dan ancaman sanksi, Washington memaksa ByteDance menyerahkan sebagian besar kepemilikan ke investor Amerika. Sebuah pengambilalihan lunak, dibungkus narasi “perlindungan nasional.”
Baca juga : Memento Mori: Refleksi Organisasi
Sensor dan Simbol
Tak lama setelah pengambilalihan itu, muncul gelombang penyensoran simbol-simbol pro-Palestina. Kasus penghapusan emoji “jus” yang digunakan untuk menyindir rezim Zionis, menjadi contoh kecil dari perang besar atas makna. Ketika emoji bisa dianggap ancaman, berarti penyensoran telah bergeser dari “ucapan” ke “isyarat”; perang opini berubah menjadi perang persepsi.
Amerika terus menampilkan diri sebagai pembela kebebasan berekspresi, namun kebebasan itu bersyarat. Konten yang mendukung kepentingannya dipromosikan sebagai “aktivisme sipil,” sementara kritik terhadap Zionisme, solidaritas dengan Palestina, atau simbol perlawanan justru dibungkam dengan label “misinformasi” atau “ujaran kebencian.”
Inilah kemunafikan digital Washington, kebebasan hanya untuk sekutunya.
Kolonialisme Kognitif
Perselisihan soal TikTok bukan semata tentang keamanan siber. Ini adalah pertarungan atas monopoli makna dan kendali narasi global.
Amerika kini berperang bukan dengan rudal, melainkan dengan algoritma dan arus data.
Dominasi atas infrastruktur informasi berarti pendudukan atas kesadaran manusia.
Negara yang bergantung penuh pada jaringan media Amerika telah kehilangan kedaulatan digitalnya. Ini bukan kolonialisme teritorial, tapi kolonialisme kognitif, di mana masyarakat dunia hidup di ruang digital yang aturannya ditentukan oleh korporasi dan intelijen Amerika.
Melawan Hegemoni Digital
Jalan keluarnya hanya satu: kemandirian teknologi dan kedaulatan data. Negara-negara yang ingin tetap merdeka harus membangun platform lokal, menegakkan hukum data nasional, dan melindungi ruang digitalnya dari infiltrasi. Ini bukan hanya langkah ekonomi, melainkan tindakan eksistensial untuk mempertahankan identitas dan kebebasan berpikir.
Kasus TikTok hanyalah gejala dari penyakit yang lebih besar, tatanan digital dunia yang dikuasai satu kekuatan imperialis.
Selama dunia masih hidup dalam jejaring yang dikontrol dari Washington, kolonialisme lama akan terus hidup, hanya saja kini hadir dalam bentuk notifikasi, sensor algoritma, dan emoji yang hilang. [MT]
Baca juga : Dua Pikiran di Meja Makan Trump
