Opini
Analisis Strategis dan Filosofis Sambutan Ketua Umum DPP Ahlulbait Indonesia
Dalam Acara Rapat Pleno Semester I, 2025 sekaligus Pengukuhan Lembaga Falak
Oleh: Redaksi Media ABI
Pendahuluan: Pidato Sebagai Pilar Nilai
Ahlulbait Indonesia — Dalam dunia kepemimpinan organisasi, pidato bukan sekadar komunikasi, tetapi penegasan nilai, arah, dan keutuhan visi. Sambutan Ketua Umum DPP Ahlulbait Indonesia, Ustadz Zahir Yahya, dalam acara Pembukaan Rapat Pleno Semester I 2025 sekaligus Pengukuhan Lembaga Falak sebagai lembaga otonom di bawah DPP ABI pada 21 Juni di Jakarta, merupakan pidato strategis yang melampaui batasan administratif. Ini adalah peta jalan spiritual, ideologis, dan taktis bagi gerakan Ahlulbait Indonesia, sebuah pidato yang tidak sekadar disampaikan, tetapi dimaknai, diteladani, dan dijadikan sebagai rujukan gerakan ke depan.
Disampaikan dalam suasana penuh penghormatan, pidato ini menyatukan tiga simpul utama:
1. Evaluasi kinerja organisasi,
2. Pemurnian niat perjuangan, dan,
3. Peneguhan prinsip Muqawamah sebagai fondasi gerakan.
Tulisan analisis yang dibuat Redaksi Media ABI ini akan menguraikan ketiga simpul tersebut secara berurutan dan struktural.
I. Evaluasi Kinerja: Pujian yang Membesarkan, Bukan Memanjakan
Ketua Umum membuka pidatonya dengan menyampaikan capaian kinerja semester pertama kepengurusan DPP, yang mencapai 52% dari target tahunan. Apresiasi disampaikan dengan nada objektif dan membangun: “Hasil yang dipaparkan menunjukkan pencapaian di atas 50 persen. Artinya, ini sudah di atas ekspektasi.”
Namun, pujian tersebut tidak mengarah pada glorifikasi personal, melainkan berbentuk testimoni atas kualitas kolektif DPP.
Ustadz Zahir menyatakan: “Pada periode kepengurusan sekarang, kita memiliki teman-teman yang memiliki semua spesifikasi dan kriteria untuk menjadi individu pengurus yang sukses.”
Pujian ini tidak hanya memberikan motivasi, tetapi juga membentuk standar kinerja internal yang tinggi. Sebuah penghormatan yang bersifat edukatif, tidak hanya menyemangati, tetapi juga menuntut tanggung jawab yang berkelanjutan.
II. Rasionalisasi Partisipasi: Mengapa Kita Bertahan di ABI?
Salah satu kekuatan utama pidato ini terletak pada keberanian membedah motif keterlibatan. Di tengah situasi sosial yang sering menilai kerja Organisasi dari seberapa besar imbalan atau kemanfaatan material, Ustadz Zahir menyampaikan refleksi yang sangat tajam:
“Justru karena ABI tidak menjanjikan harta, tidak menjanjikan ketenaran, tidak menjanjikan jabatan, di situlah letak ujiannya.”
Ini bukan sekadar kalimat kritis, melainkan kristalisasi dari filosofi ikhlas fi sabilillah, berjuang tanpa kalkulasi untung-rugi duniawi. Bahkan ketika keterlibatan di ABI mengakibatkan gangguan bisnis, isolasi sosial, atau pengorbanan finansial, maka hal tersebut bukanlah kelemahan ABI, melainkan ujian keutuhan nilai kadernya.
Dengan pendekatan ini, ABI diposisikan sebagai gerakan nilai, bukan sekadar organisasi administratif. Ini menjadi ruang purifikasi niat dan kekuatan karakter, bukan tempat mencari kenyamanan, tetapi tempat menempa keluhuran.
Baca juga : Pidato Waketum ABI: Ahlulbait Indonesia, Wilayah, dan Cita-Cita Peradaban
III. Istiqomah dan Muqawamah: Pilar Spiritualitas Gerakan
Bagian terpenting dan paling filosofis dari sambutan ini adalah pembahasan dua konsep utama, yaitu Istiqomah dan Muqawamah.
Istiqomah diartikan oleh beliau sebagai keteguhan dalam menapaki jalan kebenaran, secara konsisten dan ajeg, baik dalam karakter maupun tindakan. Muqawamah adalah daya juang untuk melawan segala bentuk rintangan yang berpotensi menggoyahkan istiqomah tersebut.
Secara bersamaan, beliau menyatakan bahwa Istiqomah tidak mungkin tercapai tanpa Muqawamah. Perlawanan adalah prasyarat konsistensi. Dalam bahasa beliau:
“Orang untuk istiqomah memerlukan muqawamah. Harus ada kekuatan pada diri Anda untuk menghadapi berbagai masalah dan tantangan dalam rangka Anda bisa istiqomah.”
Kutipan Al-Qur’an, “Wa al-law istaqâmû ‘ala ath-tharîqah, la-asqainâhum mâ’an ghadaqâ” (QS Al-Jinn: 16) dimaknai secara progresif, bahwa keberkahan, kemudahan, dan keberhasilan hanya datang ketika seseorang (atau sebuah komunitas) teguh pada jalan kebaikan, meski diterpa berbagai kesulitan.
“Kalau Anda bertahan, Anda istiqamah menetapi jalan yang benar, hanya pada saat itu Anda akan merasakan: Urusan Anda teratasi, kelemahan Anda tersingkirkan, kelemahan dan masalah, tantangan dan kesulitan yang Anda hadapi mulai menghilang. Dan Anda berpeluang benar-benar menjadi sebuah komunitas yang besar, berkembang, mandiri, dan bahkan disegani oleh yang lain.”
IV. Ghadir: Model Kepemimpinan yang Melawan Risiko
Dalam bagian puncak, Ustadz Zahir mengangkat peristiwa Ghadir sebagai prototipe keberanian dalam kepemimpinan. Peristiwa Ghadir bukan sekadar peristiwa pelantikan, tetapi keputusan politis dan spiritual yang sarat dengan risiko.
Ketika Rasulullah hendak mengumumkan Imamah Ali bin Abi Thalib, Allah sendiri menenangkan hatinya:
“Wallahu yasimuka minannas” (QS Al-Maidah: 67)
(Dan Allah akan menjagamu dari gangguan manusia.)
Pesan yang ingin disampaikan adalah: bahkan kepemimpinan Ilahiah pun hanya bisa tegak melalui semangat Perlawanan terhadap tekanan dan ancaman. Dengan meneladani keberanian Rasul, ABI diarahkan agar tidak bersandar pada popularitas atau kenyamanan, melainkan pada keberanian menegakkan kebenaran, meski tidak populer.
V. Muqawamah Kontemporer: Melawan Inferioritas, Bukan Hanya Agresi
Dalam konteks masa kini, Ustadz Zahir membawa semangat Muqawamah pada medan yang lebih relevan, yaitu melawan inferioritas internal. Bukan rudal, bukan represi fisik, melainkan:
1. Kekurangan SDM
2. Keterbatasan teknologi
3. Lemahnya literasi kader, dan
4. Minimnya fasilitas pendukung
Karena itu beliau menegaskan:
“Muqawamah hari ini adalah kekuatan untuk menolak tunduk pada keterbatasan, dan keberanian untuk tidak menjadi biasa.”
Pesan ini sangat strategis, karena ABI akan bertahan dan berkembang hanya jika para penggeraknya memiliki kesanggupan untuk terus melawan ketertinggalan, stagnasi, dan rasa cukup diri. Dengan begitu, organisasi kecil ini akan bertumbuh bukan karena besar anggaran, tetapi karena besar tekad.
Penutup: ABI sebagai Manifestasi Gerakan Nilai
Sambutan ini ditutup dengan penegasan bahwa kerja organisasi, seperti Rapat Pleno, bukanlah rutinitas, tetapi bagian dari proses penyusunan peradaban. ABI, sebagai gerakan spiritual dan sosial, akan hanya menjadi besar dan disegani jika terus berakar pada keikhlasan dan Muqawamah kader-kadernya.
Dengan kata lain, ABI bukanlah jalan untuk mencapai sesuatu, tetapi ABI adalah jalan itu sendiri. Jalan yang harus ditempuh dengan Istiqomah dan ditembus dengan Muqawamah.[]
Baca juga : Asyura, Simbol Perlawanan, dan Kemenangan Iran atas Israel
