Opini
Arbain Imam Husain: Menjaga Ingatan, Menyelami Kebenaran
Oleh: Sabara Nuruddin (Ketua Departemen Litbang DPP ABI)
Ahlulbait Indonesia – Peringatan Arbain Imam Husain as adalah salah satu momentum spiritual terbesar dalam tradisi Islam, khususnya di kalangan pecinta Ahlul Bait. Secara harfiah, Arbain berarti “40” dan merujuk pada hari ke-40 pasca tragedi Karbala yang terjadi pada 10 Muharram 61 H (680 M). Dalam peristiwa itu, cucu Nabi Muhammad Saw, Imam Husain bin Ali as, bersama keluarganya dan para sahabat setianya gugur sebagai syuhada dalam mempertahankan kebenaran, keadilan, dan kemurnian ajaran Islam dari distorsi kekuasaan tiran Bani Umayyah. Sejak itu, tanggal 20 Safar setiap tahunnya diperingati sebagai Arbain, hari ketika kepala suci Imam Husain dikembalikan dan dimakamkan di Karbala, bersamaan dengan kedatangan rombongan tawanan keluarga beliau dari Damaskus, serta ziarah pertama oleh sahabat setia Jabir bin Abdullah al-Anshari.
Namun, Arbain bukan sekadar mengenang sebuah peristiwa sejarah, Arbain telah berkembang menjadi ritual tahunan yang memadukan memori kolektif, kesetiaan spiritual, dan solidaritas kemanusiaan. Di era modern, jutaan peziarah dari berbagai penjuru dunia berjalan kaki menuju Karbala dalam tradisi yang dikenal sebagai Arbain Walk, menjadikannya salah satu pertemuan umat manusia terbesar di muka bumi. Fenomena ini menegaskan bahwa pesan moral Imam Husain melampaui batas mazhab, negara, bahkan agama, hidup sebagai panggilan universal untuk melawan tirani dan membela keadilan.
Arbain menjadi jembatan antara sejarah dan masa kini, menghubungkan tragedi Karbala dengan realitas moral umat manusia yang terus berulang.
Makna Angka Empat Puluh
Pertanyaan mengapa dipilih angka 40?, tentu memiliki landasan spiritual dan simbolik yang mendalam dalam khazanah Islam. Angka ini berulang dalam sejarah wahyu: Nabi Musa as berpuasa dan bermunajat di Sinai selama 40 hari (QS. 7: 142), Nabi Muhammad Saw menerima wahyu pertama pada usia 40 tahun, dan sejumlah hadis menyebutkan bahwa pemurnian jiwa membutuhkan periode 40 hari (arba’inah yauman). Empat puluh hari dipahami sebagai masa transisi yang memungkinkan kedukaan, pengalaman spiritual, atau proses transformasi jiwa mencapai kedewasaan maknawi. Secara psikologis, 40 hari adalah rentang di mana luka batin mulai berubah menjadi memori yang terpatri, dan secara spiritual, ia menjadi simbol penyempurnaan perjalanan rohani dari kehilangan menuju keteguhan.
Keterkaitan angka 40 dengan Arbain Imam Husain as dapat dipahami dalam dua dimensi:
Pertama, momen Arbain memberi ruang bagi umat untuk melewati fase awal kesedihan yang rawan terjerumus ke dalam keputusasaan, lalu memasuki fase kesadaran di mana kesedihan itu berubah menjadi tekad moral.
Kedua, momen Arbain menjadi simbol kematangan spiritual: bahwa tragedi Karbala bukan hanya harus dikenang, tetapi harus dipahami dan diinternalisasi sebagai pelajaran hidup. Dengan demikian, Arbain bukan sekadar peringatan historis, melainkan momen transformasi, mengubah duka menjadi daya, dari kehilangan menjadi kekuatan, dari tragedi menuju revolusi.
Mengapa Arbain Hanya untuk Imam Husain?
Pertanyaan yang sering muncul adalah mengapa Arbain hanya dilakukan untuk Imam Husain, para Imam Ahlul Bait lainnya, bahkan Rasulullah sendiri, tidak memiliki peringatan 40 hari yang sedemikian besar. Jawaban atas hal ini tidak lepas dari sifat tragedi Karbala yang unik, tragedi Karbala bukan sekadar wafatnya seorang pemimpin, melainkan pembantaian yang terencana untuk memutuskan garis risalah. Karbala adalah puncak perlawanan moral terhadap tirani yang membungkus dirinya dengan legitimasi agama. Imam Husain syahid mewariskan semangat membela keadilan, kebebasan, dan kebenaran. Oleh karenanya, ingatan atas beliau tidak sekadar mengenang individu, tetapi menghidupkan kembali roh agama itu sendiri.
Baca juga : Merajut Persaudaraan Sejati: Menyatukan Sunni, Syiah, dan Umat Beragama di Indonesia
Para ulama dan arif menyebut bahwa peringatan Arbain untuk Imam Husain bukanlah tradisi perayaan kematian, melainkan “perjanjian tahunan” umat untuk menjaga nilai-nilai yang beliau pertahankan: keadilan, keberanian, dan keteguhan di jalan kebenaran. Arbain adalah momen memperbarui ikrar, bahwa darah yang tertumpah di Karbala tidak akan dilupakan dan pesan moralnya tidak akan dikhianati. Sementara wafatnya Imam-imam lain, meski sama-sama suci dan mulia, tidak mengandung momentum perlawanan kolektif sebesar Karbala, sebagai peristiwa yang melibatkan pembelaan terakhir terhadap inti ajaran Islam di hadapan tirani yang mengatasnamakan agama.
Karena itu, Karbala memerlukan pengokohan memori publik setiap tahunnya, agar pesan moralnya tetap hidup lintas generasi dan tidak terkubur oleh narasi sejarah yang dibentuk penguasa.
Refleksi Filosofis atas Arbain
Secara filosofis, Arbain adalah upaya memelihara memori kolektif yang memberi identitas moral bagi sebuah komunitas. Ingatan itu tidak sekadar menyimpan cerita masa lalu, melainkan menjadi poros yang menjaga arah gerak sejarah agar tidak keluar dari jalur nilai-nilai luhur. Dalam pandangan filsafat sejarah, peristiwa besar yang mengubah arah peradaban memerlukan ritual of remembrance untuk memastikan pesan moralnya tidak lekang oleh arus waktu. Meminjam istilah Pierre Nora, Arbain berfungsi sebagai lieu de mémoire, yaitu ruang ingatan yang mengikat generasi pada prinsip-prinsip yang melampaui kepentingan sesaat.
Bagi seorang Muslim yang merenungkan Arbain, peringatan ini mengajarkan bahwa pengorbanan demi kebenaran tidak berhenti pada peristiwa itu sendiri, melainkan harus terus dihidupkan dalam kesadaran sosial yang nyata. Arbain bukanlah nostalgia, tetapi sebuah energi moral yang memperbarui komitmen untuk menegakkan keadilan, membela yang tertindas, dan melawan penyelewengan agama. Arbain adalah pengingat bahwa kebenaran memerlukan penjaga, dan pengorbanan memerlukan pewaris.
Dalam kerangka ini, Arbain dapat dipandang sebagai “dialog lintas zaman” demi mentransformasi pesan antara para syuhada Karbala dengan generasi yang hidup setelahnya.
Arbain Walk: Filosofi Sebuah Perjalanan
Dialog lintas zaman inilah yang menemukan wujud paling nyata dalam fenomena Arbain Walk, ziarah berjalan kaki menuju Karbala yang melibatkan puluhan juta peziarah dari seluruh dunia setiap tahun. Perjalanan ini bukan sekadar ziarah fisik, melainkan latihan spiritual yang menguji ketabahan, keikhlasan, dan solidaritas. Setiap langkah adalah deklarasi bahwa pesan Imam Husain tidak lekang oleh zaman, dan bahwa jarak geografis maupun ancaman keamanan tidak mampu menghalangi cinta kepada kebenaran.
Arbain Walk adalah simbol perjalanan hidup, manusia bergerak dari keterbatasan menuju tujuan transenden, melewati rintangan dengan motivasi yang murni. Arbain walk adalah bukti bahwa cinta kepada figur moral dapat menciptakan komunitas global yang saling menolong tanpa pamrih, di mana setiap rumah yang dilalui membuka pintunya untuk para peziarah tanpa melihat kebangsaan, mazhab, warna kulit, bahkan agama.
Renungan
Peringatan Arbain Imam Husain adalah dialog tahunan antara masa lalu dan masa kini, antara tragedi dan harapan, antara pengorbanan dan komitmen. Arbain mengajarkan bahwa sebuah nilai akan bertahan jika terus dihidupkan dalam memori kolektif yang dibangun melalui ritual, refleksi, dan aksi nyata. Di tengah dunia yang sering kehilangan orientasi moral, Arbain berdiri sebagai mercusuar yang memanggil manusia untuk kembali ke fitrah: mencintai kebenaran dan menolak kezaliman.
Arbain adalah pertemuan antara ingatan dan kesadaran, yang menguji sejauh mana sebuah komunitas sanggup mempertahankan nilai yang diwariskan para syuhada Karbala.
Momen ini menjadi cermin yang memantulkan pertanyaan paling mendasar; apakah kita hanya mengingat, ataukah kita juga mewarisi dan menghidupi? Arbain menegaskan bahwa tragedi yang dahulu terjadi tidak boleh sekadar menjadi sejarah beku, melainkan harus menjadi prinsip yang mengarahkan langkah moral di setiap zaman. []
Baca juga : Deklarasi New York: Babak Damai atau Penutup Sejarah Palestina?
