Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Arbain: Pilar Peradaban dan Amanah Sejarah Global

Arbain: Pilar Peradaban dan Amanah Sejarah Global

Oleh: Muhlisin Turkan

Dunia tengah dibangun kembali di atas puing-puing nilai yang runtuh. Di tengah riuhnya kegaduhan global, Arbain hadir sebagai revolusi sunyi, tak terbendung, tak terelakkan

Ahlulbait Indonesia — Ketika dunia dibanjiri propaganda, agresi, dan monopoli kekuasaan, Arbain hadir sebagai jawaban dari sebuah peradaban yang dibangun bukan dengan kekuatan senjata, melainkan keteguhan makna dan keberanian moral. Jutaan manusia berjalan kaki menuju Karbala setiap tahunnya bukan untuk berwisata spiritual, tetapi untuk menyatakan satu hal: “Kami bersama kebenaran, dan kami tidak akan pernah tunduk.”

Karbala dan Perlawanan Melawan Penghapusan Sejarah

Peristiwa Karbala tahun 61 H bukan hanya tragedi historis atas Syahid cucu kesayangan Nabi SAW. Peristiwa Karbala, adalah penolakan terhadap deformasi nilai-nilai Islam, yang coba dikukuhkan oleh rezim tiranik. Imam Husain a.s. berdiri tidak untuk merebut kekuasaan, tetapi untuk menyelamatkan integritas Islam dari degradasi kekuasaan. Dalam konteks ini, Karbala bukan semata konflik politik, melainkan krisis epistemik, siapa yang berhak mewakili kebenaran.

Dalam Ziarah Arbain tertulis: “Aku bersaksi bahwa engkau adalah pembawa amanat Allah, putra dari pembawa amanat-Nya. Kau hidup mulia dan wafat dalam keadaan terasing, dizalimi, dan syahid.”

Karbala adalah titik nol bagi lahirnya wacana peradaban alternatif yang tidak tunduk pada logika kekuasaan dominan. Sebuah narasi yang membebaskan, bukan membungkam.

Arbain Infrastruktur Cinta dan Kesadaran Umat

Arbain bukan peringatan ritual atau ziarah massal. Arbain adalah infrastruktur budaya dan spiritual yang membuktikan bahwa umat bisa mengelola logistik kolosal tanpa negara, tanpa pasar, dan tanpa pamrih. Lebih dari 20 juta peziarah etiap tahunnya, dari berbagai bangsa dan latar agama, berjalan kaki ratusan kilometer dan disambut oleh jutaan warga biasa yang menyediakan makanan, air, tempat istirahat, hingga pengobatan. Semua dilakukan tanpa imbalan, dan tanpa pamrih.

Ini bukan hanya fenomena sosial, tetapi eksperimentasi peradaban, ini tentang solidaritas horizontal, hospitality spiritual, dan ekonomi berbasis cinta kasih.

Ulama kontemporer, Hujjatul Islam Sayyid Mahdi Khamoushi, menyatakan: “Dampak spiritual dan material dari hubungan antara rakyat dan pemimpin Ilahi terwujud sempurna dalam kebangkitan Husaini.”

Namun, setiap gerakan bernilai selalu dibayangi oleh potensi penyimpangan. Komersialisasi religiusitas adalah salah satu bahaya yang, jika dibiarkan, akan mengikis substansi Arbain dan menjadikannya ritual yang hampa makna.

Baca juga : Abu Obaida dan Kritik Tajam Racun Sektarianisme

Narasi Arbain dan Politik Global Perlawanan

Dalam Khotbah 168 Nahjul Balaghah, Imam Ali a.s. berkata: “Bersabarlah hingga manusia tenang, dan hak-hak diambil dengan wajar… Jangan bertindak gegabah hingga melemahkan kekuatan.”

Hari ini, Karbala bukan hanya sebuah situs geografis, tetapi menjadi paradigma politik global, bahwa perlawanan harus berlandas pada nilai, kesabaran, dan kejelasan moral.

Di Palestina, semangat Husaini tercermin dalam batu-batu yang dilontarkan anak-anak Gaza sebagai simbol harga diri. Di Lebanon, strategi perlawanan Hizbullah mengusung logika Karbala, bertahan tanpa kehilangan martabat. Di Yaman, rakyat bertahan melawan blokade sebagai perwujudan prinsip, kehormatan tidak bisa dibeli.

Di Eropa dan Amerika, pawai solidaritas untuk Palestina dan Gaza semakin menggema sebagai bentuk kritik terhadap hipokrisi kekuasaan global. Di balik poster dan seruan, tersirat semangat perlawanan yang tak jauh dari ruh Karbala, yakni pembelaan terhadap yang tertindas. Bahkan, kelompok-kelompok non-Muslim mulai mengadopsi nilai-nilai Husaini sebagai inspirasi perjuangan lintas agama dan identitas, bahwa keberpihakan pada keadilan tak memerlukan kesamaan teologis, cukup keberanian moral.

Kesyahidan Imam Husain bukan nostalgia religius, tetapi mandat eksistensial, sebuah ajakan untuk hidup bermakna, dan mati dengan harga diri.

Ketika Vatikan Melangkah Menuju Karbala

Pada 16 Desember 2013, media Al‑Alam dan Mehr News Agency melaporkan bahwa sebuah delegasi resmi Vatikan, sebagai representasi tertinggi otoritas Katolik Roma, ikut serta dalam rombongan peziarah Arbain, berjalan kaki sekitar satu kilometer menuju Karbala. Kepala delegasi, Monsignor Libero Andriata, menyatakan bahwa mereka bergabung secara spontan sebagai bentuk penghormatan dan solidaritas spiritual (Mehr News, 2013; Al‑Alam, 2013).

Langkah ini bukan basa-basi diplomatik. Ini adalah pengakuan spiritual, bahwa Imam Husain bukan milik satu mazhab atau agama, melainkan simbol universal keberanian melawan tirani. Sebagaimana Yesus melawan struktur penindas pada zamannya, Imam Husain juga bangkit melawan agama yang dijadikan alat kekuasaan.

Peristiwa ini menunjukkan bahwa Arbain membuka ruang dialog lintas iman, bukan untuk memperkuat sektarianisme.

Arbain, Dari Simbol Keberanian ke Peta Peradaban

Arbain menantang logika dunia modern yang kapitalistik dan transaksional. Di tengah sistem yang menjual keputusasaan sebagai takdir, Arbain menyodorkan harapan sebagai pilihan kolektif. Bahwa kematian bukan akhir, bahwa kesendirian bukan kelemahan, dan bahwa diam pun bisa menjadi bentuk perlawanan.

Arbain bukan retorika kosong. Arbain adalah revolusi tanpa peluru, yang memobilisasi nilai, membangun jaringan spiritual, dan menumbuhkan solidaritas global. Arbain mengajarkan bahwa keberanian bukan selalu tentang menang, tetapi tentang tetap berdiri di sisi yang benar.

Arbain dan Tugas Sejarah Kita

Bayangkan jika prinsip-prinsip Arbain diterjemahkan ke dalam kebijakan publik, ekonomi, dan sistem pendidikan, maka keadilan menjadi poros kebijakan, pengorbanan menjadi etos pelayanan publik, dan solidaritas lintas identitas menjadi dasar rekonsiliasi sosial.

Apakah dunia siap menyambut model peradaban ini? Ataukah sistem dominasi global akan terus menolak jalan sunyi ini karena takut pada nilai yang tidak bisa dibunuh dengan propaganda?

Arbain bukan sekadar peringatan. Sekali lagi, Arbain adalah peta jalan peradaban sesungguhnya yang berakar pada nilai, digerakkan oleh cinta, dan dipertahankan oleh keberanian.

Selama kedzaliman masih bercokol, jalan Karbala akan tetap terbentang. Selama manusia masih mampu berharap, Arbain akan terus menaklukkan dunia, bukan dengan kekerasan, tetapi dengan kebenaran yang tak bisa dibungkam. Dan dari semangat Arbain seperti inilah, jalan pembebasan al-Quds terbuka lebar, bukan sebagai mimpi, melainkan sebagai amanah sejarah yang menanti untuk segera ditegakkan. []

Referensi:

1. Al-Alam, 23 Desember, 2013: (EU, African delegations mark Arbaeen in Karbala)
2. Mehrnews, 16 Desember, 2013: (A Vatican delegation joins Arbaeen mourning procession)
3. Mehrnews, 29 Juli, 2025: (Khamushi: Arba’in yek marasem nist, harekat-e tamaddon-saz ast)

Baca juga : Transfer Data ke AS: Risiko Kedaulatan Digital di Balik Perjanjian Dagang