Opini
Arbain: Ziarah Cinta di Tengah Badai Sejarah
Oleh: Muhlisin Turkan
“Agar Allah memisahkan yang buruk dari yang baik, lalu menumpukkannya dan mencampakkannya ke dalam Jahanam. Mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS. Al-Anfal: 37)
Ahlulbait Indonesia — Ka’bah adalah rumah para ahli ibadah; Karbala adalah rumah para pecinta. Dan hanya cinta yang mampu memanggil jutaan manusia menempuh puluhan kilometer dari Najaf ke Karbala di bawah terik matahari yang membakar sekitar 50 derajat. Bukan untuk emas, bukan untuk kuasa atau popularitas. Sebab mereka tahu, kelak di akhir zaman, Najaf dan Karbala akan menjadi poros perubahan dunia, dan di sinilah bahtera keselamatan terakhir umat akan berlabuh.
Bagi mata yang hanya percaya pada yang kasat, Arbain adalah teka-teki tanpa jawaban. Mereka mencemooh sebagaimana kaum Nuh menertawakan ketika membuat bahtera. Logika mereka terpenjara di ruang indera, menolak rasionalitas metafisik. Namun, ketika banjir azab datang, bahkan gunung pun tak bisa menyelamatkan. Firman Allah tetap tegak: “Tidak ada pelindung pada hari ini dari azab Allah, selain Dia yang diberi rahmat.” (QS. Hud: 43)
Arbain adalah deklarasi iman sekaligus perlawanan. Kaum Mustadh’afin yang letih diterpa badai sejarah berjalan menuju bahtera al-Husain, kapal keselamatan tercepat dan terluas. Di bawah kubahnya, hijab antara bumi dan Arsy lenyap. Karbala menjadi tempat malaikat berhimpun lebih ramai dari manusia. al-Husain adalah dzikir yang tak habis, obat luka yang tak kering, sahabat setia yang menghapus dosa dengan setetes air mata. Dari tanah sucinya kita membuka mulut ketika lahir, dan dengannya pula kita menutupnya ketika wafat.
Baca juga : Bantuan ABI Tembus Gaza, kok Bisa?
Tahun ini, 1447 H (2025 M), bukan tahun biasa. Dunia sedang berada di persimpangan yang belum pernah terjadi sejak tiga milenia lalu, sejak kelahiran Bani Israil. Zionisme, pikiran durhaka yang mengalir dari darah Qabil terus menjadi biang makar, dari pembangkangan terhadap para Nabi hingga pembantaian manusia tak bersalah. Hari ini, menjelma dalam wajah rezim pendudukan yang tak hanya mencengkeram Palestina, tapi menyerang langsung jantung kekuatan dunia Islam.
Serangan ke Gaza, pembakaran tanah Muslim, agresi terhadap Iran, Lebanon, Suriah, dan Yaman, semua menyingkap bahwa penghalang kemunculan Imam Mahdi semakin terbuka kedoknya. Arbain tahun ini adalah medan doa, medan tekad, dan medan sumpah, doa-doa kehancuran kekuatan zalim, agar bumi segera diwarisi oleh kaum saleh yang tertindas, sebagaimana janji Allah yang tak pernah dusta.
Najaf dan Karbala kini bukan hanya nama untuk dua kota. Mereka adalah poros spiritual dan geopolitik akhir zaman. Di bawah panas yang mampu mengelupas kulit, para peziarah tegak melangkah bukan dengan kakinya, melainkan dengan hati yang berdegup menjawab seruan al-Husain: “Hal min naashir yanshuruni?” Dengan sabar, doa, dan keberanian, mereka berdiri di hadapan musuh-musuhnya.
Seperti Sulaiman yang mengangkat beban dari pundak semut, mereka memohon agar beban duka umat segera diangkat. Di pundak mereka tersimpan tekad yang lebih berat dari teriknya padang pasir yang membakar, sebuah tekad untuk menyaksikan fajar kemenangan kaum Mustadh’afin dan tegaknya keadilan di seluruh muka bumi. []
Baca juga : Kemerdekaan Tanpa Keadilan Sosial adalah Ilusi
