Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Asyura, Simbol Perlawanan, dan Kemenangan Iran atas Israel

Asyura, Simbol Perlawanan, dan Kemenangan Iran atas Israel

Oleh: Ustadz Otong Sulaeman  (Ketua Dewan Penasehat ABI)

Ahlulbait Indonesia — Di tengah dentuman rudal dan kepulan asap perang 12 hari antara Iran dan Israel (13–24 Juni 2025), dunia menyaksikan sesuatu yang belum pernah terjadi sebelumnya: kekuatan militer Israel yang selama ini dianggap tak tertandingi, dipukul mundur secara strategis oleh Iran. Bukan hanya kekuatan senjata yang mengejutkan, tapi juga konsistensi moral dan keberanian eksistensial yang dipertontonkan Iran—konsistensi yang tak bisa dilepaskan dari akar spiritual Syiah: Asyura.

Hari-hari Asyura tahun ini hadir dengan resonansi yang sangat kuat. Asyura tahun ini bukan sekadar ritual mengenang tragedi sejarah yang penuh dengan kesedihan, melainkan sebuah pentas politik perlawanan yang elegan dan bermartabat. Inilah momen penting bagi komunitas Syiah untuk merefleksikan kembali: sejauh mana nilai-nilai Asyura bukan hanya menjadi ritual, tapi benar-benar menjadi basis moral, strategi sosial, dan fondasi eksistensial dalam kehidupan modern.

Perbedaan Iran dan Israel dalam Menggunakan Agama

Dalam banyak konflik di dunia, simbol agama digunakan oleh para aktor negara atau kelompok untuk membenarkan tindakan mereka. Namun tidak semua penggunaan simbol agama memiliki bobot moral yang sama. Ada perbedaan mendasar antara penggunaan agama oleh Iran dan oleh rezim Zionis Israel. Iran menggunakan simbol agama untuk membangkitkan semangat resistensi terhadap kezaliman, menginspirasi solidaritas, dan membela mereka yang tertindas, khususnya rakyat Palestina. Simbol seperti “Ya Husein” dan “Ya Zainab” menjadi bahasa moral perlawanan, bukan alat dominasi.

Sementara itu, Israel, sebaliknya, mengeksploitasi narasi keagamaan Yahudi—seperti “Tanah yang Dijanjikan” dan “Bangsa Terpilih”—untuk melegitimasi penjajahan, apartheid, dan pembersihan etnis terhadap bangsa Palestina. Dalam praktiknya, simbol agama Yahudi bukan lagi menjadi bahasa etika, melainkan telah menjadi alat rasisme struktural yang memisahkan hak-hak antara Yahudi dan non-Yahudi, antara warga Israel dan rakyat Palestina.

Di sinilah letak pembeda utamanya: Iran menggunakan agama untuk menantang kekuasaan yang menindas, sedangkan Israel menggunakan agama untuk memperkuat kekuasaan yang menindas. Dengan kata lain, agama dalam tangan Iran menjadi kekuatan pembebas, sementara dalam tangan Zionisme menjadi alat penaklukan.

Ketika Kritik Datang dari Sesama Pendukung Palestina

Sebagian aktivis pro-Palestina, termasuk dari kalangan Sunni dan sekuler, mengkritik Iran karena terlalu membawa narasi Islam (khususnya Syiah) dalam membela Palestina. Menurut mereka, perjuangan kemerdekaan bangsa Palestina adalah isu kemanusiaan, bukan sektarian. Maka penggunaan idiom-idiom seperti Karbala, Mahdawiyah, atau syiar-syiar duka dianggap kontra-produktif dan hanya menambah jarak dengan dunia Islam non-Syiah.

Namun, realitas lapangan membuktikan sebaliknya. Justru Iranlah yang menjadi negara pertama di dunia yang secara terbuka dan langsung menyerang Israel dengan rudal balistik, dan melakukannya dengan presisi dan keberhasilan yang mengejutkan. Iran tidak berhenti pada kecaman diplomatik, tidak hanya mengirim bantuan kemanusiaan atau memboikot produk—Iran menghantam jantung sistem pertahanan Israel dalam waktu singkat, merusak simbol superioritas militer Zionis yang selama ini dianggap tak tertandingi, dan membuat para pemimpin Israel terjebak dalam kepanikan yang disaksikan langsung oleh dunia internasional.

Baca juga : Pidato Waketum ABI: Ahlulbait Indonesia, Wilayah, dan Cita-Cita Peradaban

Lebih dari sekadar aksi militer, serangan Iran telah menjadi katarsis kolektif bagi rakyat Palestina dan para pendukungnya di seluruh dunia. Selama berdekade-dekade, mereka menyaksikan bangsa Palestina dibantai, diusir, dan dipenjara, sementara dunia hanya mengutuk dengan kata-kata hampa. Kini, untuk pertama kalinya dalam sejarah modern, keangkuhan militer Israel dihukum secara nyata. Jalan-jalan di Palestina, Beirut, Sanaa, dan berbagai kota lain dipenuhi sorak-sorai. Media sosial dibanjiri ungkapan haru dan syukur. Banyak di antara mereka menyatakan: “Akhirnya, ada yang membalaskan luka kami. Iran melakukannya atas nama semua yang tertindas.”

Bagi mereka, serangan Iran bukan sekadar peristiwa geopolitik, melainkan momen keadilan yang tertunda. Dan inilah faktanya: momen itu lahir dari sebuah negara yang teguh dengan identitas keagamaannya, yang mengusung nilai-nilai Asyura sebagai ruh perjuangan. Sebuah bukti bahwa agama yang dijalankan dengan keberanian moral dan kesetiaan pada nilai keadilan dapat menjadi kekuatan paling revolusioner di dunia yang terus dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan profan.

Apa artinya ini? Artinya, identitas Syiah tidak menjadi beban, melainkan justru menjadi keunggulan strategis. Ketika simbol-simbol Karbala dipakai, itu bukan untuk menonjolkan mazhab, tetapi untuk menghidupkan nilai-nilai etis yang paling radikal dan revolusioner dalam Islam: keberanian melawan tirani meski sendirian, kesetiaan pada prinsip meski harus gugur, dan keyakinan bahwa kemenangan hakiki bukan diukur dari hidup atau mati, melainkan dari tegaknya kebenaran.

Nilai Asyura yang Terealisasi

Dalam Asyura, kita mengenang Imam Husein bukan hanya karena ia cucu Rasulullah SAW, melainkan karena ia menolak berkompromi dengan kekuasaan zalim. Ia tahu ia akan kalah secara militer, tetapi ia tidak mau diam secara moral. Inilah yang menjadi sumber energi politik Iran modern.

Ada banyak nilai Asyura yang terlihat jelas dalam perang 12 hari melawan Israel, dan berikut ini adalah beberapa di antaranya.

  1. Budaya Pengorbanan: Iran kehilangan pangkalan, jenderal, bahkan ilmuwan dalam perang ini. Tapi mereka tetap melanjutkan serangan. Tidak ada perhitungan untung rugi material seperti logika dunia Barat. Yang mereka bawa adalah logika Karbala: “Apakah kami akan hidup terhormat, atau mati mulia.”
  2. Harga Diri: Iran tidak mau hidup dalam ketakutan, dikendalikan oleh retorika ancaman nuklir, sanksi, atau tekanan Barat. Seperti Sayyidah Zainab yang berkata di hadapan Yazid: “Aku tidak melihat apa pun kecuali keindahan,” Iran tidak gentar menghadapi bahaya, karena mereka percaya martabat tidak bisa ditawar.
  3. Kesetiaan: Iran tidak pernah meninggalkan Palestina, meski dicaci, diboikot, atau dicurigai oleh sesama Muslim. Ini adalah cerminan dari Abul Fadhl Al-Abbas: setia hingga titik darah terakhir.

Hari-hari Asyura bukan sekadar pentas tangisan. Ia adalah hari berpikir dan menegaskan posisi. Kemenangan Iran atas Israel bukan karena teknologinya semata. Tetapi karena mereka membawa perlawanan ke tingkat spiritual, eksistensial, dan filosofis. Bukan hanya rudal, tapi juga ruh. Kita yang hidup di luar medan perang, terutama di Indonesia, perlu menanyakan hal ini kepada diri sendiri: apakah nilai-nilai Asyura juga menjadi fondasi kehidupan kita? Atau hanya menjadi dekorasi duka tahunan?

Karbala bukan hanya masa lalu. Ia adalah archetype (pola dasar) dari seluruh sejarah umat manusia: antara kezaliman yang terorganisir dan kebenaran yang sendirian. Palestina hari ini adalah Karbala modern. Dan Iran menunjukkan bahwa Asyura bukan sekadar pelajaran moral, tapi strategi perjuangan.

Kemenangan Iran adalah kemenangan nilai yang berakar dari darah Al-Husein, air mata Zainab, dan altruisme Abbas. Maka tugas kita bukan hanya merayakan kemenangan itu, tetapi memastikan nilai-nilai itu hidup dalam keluarga kita, komunitas kita, dan perjuangan kita.

Asyura adalah jalan. Kita tinggal memilih: berjalan di atasnya, atau hanya mengenangnya. []

Baca juga : Asyura, Simbol Perlawanan, dan Kemenangan Iran atas Israel