Opini
Bagaimana Barat Mengalihkan Pandangan dari Genosida Gaza
Oleh: Salman
Ahlulbait Indonesia – Lebih dari 21 bulan pembantaian sistematis berlangsung di Gaza. Korban terus berjatuhan, dan kemarahan publik, termasuk di Inggris Raya, kian memuncak. Namun, negara-negara Barat tetap bergeming, bukan sekadar diam, tetapi aktif terlibat dalam genosida yang sedang berlangsung.
Kemitraan Dalam Kejahatan
Pemerintah Inggris, misalnya, terus memasok komponen penting untuk jet tempur F-35 yang digunakan dalam serangan brutal terhadap warga sipil Gaza. Walau data ekspor resmi mengisyaratkan “penurunan”, bukti-bukti menunjukkan sebaliknya: pengiriman senjata justru meningkat secara diam-diam. Pangkalan udara RAF Akrotiri di Siprus bahkan digunakan sebagai jalur transit bagi persenjataan Amerika dan Jerman menuju Israel (Declassified UK).
Tak cukup dengan logistik, Inggris juga melancarkan operasi pengintaian udara di atas Gaza. Pemerintah menyebutnya sebagai “pengawasan kemanusiaan”, tetapi kenyataannya, hasil intelijen tersebut digunakan Israel untuk memperluas serangannya terhadap penduduk sipil. Lebih dari 58.000 warga Palestina telah gugur hingga Juli 2025, mayoritas adalah perempuan dan anak-anak. Sementara lebih dari dua juta lainnya hidup di bawah blokade total, dilanda kelaparan massal.
Di hadapan tragedi kemanusiaan ini, dukungan diplomatik Inggris terhadap Israel tetap tak tergoyahkan. Ini bukan hanya pelanggaran terhadap hukum internasional, melainkan cermin dari moral ganda yang mengakar dalam kekuasaan Barat.
Politik Pengalihan: MacGuffin di Tengah Genosida
Untuk mempertahankan narasi pro-Israel di tengah arus opini publik yang berubah, negara-negara Barat memainkan taktik klasik pengalihan perhatian, apa yang pernah disamakan oleh sutradara Alfred Hitchcock sebagai MacGuffin: unsur pengalih dari konflik utama.
Alih-alih membahas genosida yang sedang terjadi, media Inggris justru mengangkat isu remeh: komentar sinis dari band punk Bob Vylan terhadap tentara Israel, misalnya. Wacana nasional pun berpusat pada “keselamatan tentara dari penggemar musik”, sementara horor kemanusiaan di Gaza dipinggirkan.
Jika Bob Vylan dapat diselidiki karena kritiknya, mengapa aparat tidak mengusut warga Inggris yang bertempur bersama militer Israel? Mengapa pernyataan PM Rishi Sunak yang membenarkan pemadaman total atas Gaza sebagai “hak bela diri” tidak dianggap sebagai dukungan terhadap kejahatan perang?
Manipulasi Narasi dan Penghancuran Fakta
Ketika tekanan global terhadap Israel menguat, serangan terhadap Iran diluncurkan oleh Israel dan AS mengalihkan sorotan dunia tepat saat solidaritas internasional mulai memuncak. Narasi pun bergeser seketika: Israel kembali diposisikan sebagai korban, bukan pelaku.
Berbagai momentum diplomatik yang dapat memperkuat posisi Palestina—seperti pertemuan Prancis-Saudi atau tinjauan HAM Uni Eropa atas hubungan dagang dengan Israel—dibatalkan tanpa penjelasan substansial. Isu-isu pengalihan terus digencarkan: bayi dipenggal, rumah sakit dijadikan markas Hamas, atau tuduhan pencurian bantuan—semuanya dipropagandakan tanpa bukti yang kuat, namun tetap diulang dalam media arus utama.
Sebaliknya, fakta-fakta konkret justru dikaburkan: sistem kesehatan Gaza yang runtuh, dokumentasi visual tentang geng bersenjata yang mencuri bantuan di bawah perlindungan militer Israel (Sky News), dan kegagalan total jalur bantuan laut via dermaga terapung yang digagas AS.
Baca juga : Bukan Genosida yang Mengusik Tidur Donald Trump, Tapi Laporan Francesca Albanese
Genosida Sebagai Proyek Politik
Apa yang kita saksikan hari ini bukan sekadar konflik bersenjata. Ini adalah proyek pemusnahan etnis yang dijalankan dengan dukungan penuh dari kekuatan kolonial lama. Strateginya mencerminkan warisan kolonialisme Eropa: apartheid, pengusiran massal, penghapusan sistematis.
Amerika Serikat melakukannya terhadap penduduk asli. Australia terhadap masyarakat Aborigin. Afrika Selatan selama apartheid. Dan kini, Israel terhadap rakyat Palestina.
Jika pembebasan sandera adalah tujuan utama, maka diplomasi dan negosiasi sudah lama ditempuh. Tapi Israel tak menginginkan perdamaian. Mereka ingin penaklukan total atas rakyat yang tak pernah tunduk.
Membungkam Perlawanan Sipil
Di dalam negeri, Inggris kini mengkriminalisasi solidaritas. Palestine Action—kelompok yang secara damai menargetkan fasilitas industri senjata Israel resmi dicap sebagai organisasi teroris. Ini menjadikannya kelompok protes pertama dalam sejarah modern Inggris yang disamakan dengan ISIS dan Al-Qaeda (Middle East Eye).
Dukungan terhadap kelompok ini dapat berujung hukuman penjara 14 tahun. Artinya, menyuarakan keadilan bagi Palestina kini dikriminalisasi secara terang-terangan.
Sementara itu, para pelaku kejahatan perang—berseragam jas dan berdasi—duduk nyaman di kantor pemerintahan, meneken kontrak senjata, dan merancang jalur pembantaian demi ambisi “dominasi global penuh” ala Washington. Mereka adalah penguasa kekerasan yang sesungguhnya. Bukan mahasiswa, bukan jurnalis, bukan aktivis yang turun ke jalan.
Menjadi Penjaga Moral Saat Kekuasaan Bungkam
Karena itu, resistensi kini tumbuh di mana-mana—di ruang kelas, di jalan-jalan, dan di media alternatif. Selama pemerintah Barat terus melindungi Israel dari pertanggungjawaban, rakyat harus mengambil alih peran sebagai penjaga moralitas.
Dan selama dunia tetap terpaku pada MacGuffin—kisah palsu yang sengaja dihembuskan untuk menyesatkan perhatian—genosida itu akan terus berlangsung. Tetapi kekuatan untuk menghentikannya tidak hilang. Ia hidup dalam kesadaran publik, dalam keberanian sipil, dan dalam tekad untuk tidak dibungkam oleh sistem yang menormalisasi kekerasan.
Kita tidak bisa menunggu perubahan datang dari atas. Seperti yang ditunjukkan oleh sejarah perjuangan di berbagai belahan dunia, perubahan sejati hanya lahir ketika kebenaran dihidupkan oleh rakyat biasa—yang menolak lupa, menolak tunduk, dan menolak diam.[]
Rujukan:
1. Data kematian dan blokade dikutip dari laporan UN OCHA dan WHO.
2. Informasi tentang dukungan Inggris tersedia di Declassified UK.
3. Proskripsi terhadap Palestine Action dilaporkan oleh Middle East Eye dan The Guardian.
Baca juga : Logika Perlawanan: Menghentikan Genosida, Menegakkan Keadilan
