Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Baliho Bicara Lebih Lantang dari Diplomasi

Baliho Bicara Lebih Lantang dari Diplomasi
Foto: AbrahamShield25

Indonesia di ambang Gerbang Abraham dan ujian konsistensi sejarahnya terhadap Palestina

Oleh: Muhlisin Turkan

Ahlulbait Indonesia – Sejarah kerap tergores bukan hanya oleh dentuman meriam atau tinta traktat, tetapi juga oleh satu gambar yang mampu mengguncang imajinasi publik. Kali ini, sebuah baliho di jantung Israel sudah cukup untuk menyalakan bara perdebatan: wajah Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, terpampang tegas di sebuah billboard raksasa, disejajarkan dengan Donald Trump, Mahmoud Abbas, Benjamin Netanyahu, dan sejumlah pemimpin Arab.

Billboard tersebut jelas tak bisa dipandang semata gurauan dan iseng. Publikasinya bersifat resmi: ditayangkan melalui laman Abrahamshield dan diunggah pada akun X terverifikasi @AbrahamShield25 pada 28 September 2025, pukul 23.50 waktu Israel. Kehadirannya menyimpan muatan simbolik yang dalam, jauh melampaui batas promosi atau kampanye visual biasa.

Kronologi: Dari Pidato ke Baliho

Mari kita tarik garis waktunya dengan jernih.

1. 25 September 2025. Presiden Prabowo Subianto berpidato dan menyatakan bahwa, “Perdamaian hanya bisa datang kalau semua orang mengakui, menghormati, dan menjamin keamanan Israel.” (Kanal YouTube Sekretariat Kabinet RI).

2. 28 September 2025 malam. Baliho bergambar Prabowo terpampang di Israel, dipublikasikan oleh organisasi pro-Abraham Accords.

3. 30 September 2025 pagi. Kementerian Luar Negeri RI buru-buru memberi klarifikasi. Lewat CNN Indonesia, Kemlu menegaskan bahwa baliho tersebut “bukan normalisasi”, melainkan kampanye organisasi nirlaba. Posisi Indonesia, katanya, tetap sama: tidak ada pengakuan, tidak ada normalisasi dengan Israel kecuali Palestina merdeka.

Di atas kertas, rangkaian ini tampak rapi, dimulai pidato, kemudian baliho, lalu klarifikasi. Namun di situlah persoalannya. Pidato Presiden lebih dahulu membuka pintu, dan baliho hanyalah gema visual yang memperkuat resonansinya. Sementara klarifikasi Kemlu, seberapa panjang pun dituliskan, tak lebih dari usaha memadamkan api yang sudah terlanjur menyala dari Istana.

Kontradiksi yang Melelahkan

Diplomasi, pada hakikatnya, adalah seni menjaga konsistensi. Selama puluhan tahun, Indonesia berdiri tegak di garis yang jelas: kemerdekaan Palestina tanpa embel-embel, tanpa kompromi. Kini, garis itu mulai keropos.

Kementerian Luar Negeri bersuara lantang: “tidak ada normalisasi.” Namun di forum resmi dunia, Presiden justru menyerukan agar Israel diakui dan jaminan keamanannya dijamin. Dua nada yang berlawanan, saling bertubrukan di panggung internasional.

Dan dalam sejarah diplomasi, yang dicatat bukanlah klarifikasi terburu-buru dari pejabat kementerian. Yang terpatri adalah kalimat yang keluar dari mulut seorang kepala negara.

Ironi Logika Perdamaian

Kalimat Presiden Prabowo terdengar sederhana, bahkan sangat manis: “Perdamaian hanya bisa datang kalau semua orang mengakui, menghormati, dan menjamin keamanan Israel.”

Namun mari kita uji logikanya. Bagaimana mungkin penjajah justru ditempatkan sebagai pusat perlindungan? Bagaimana mungkin sebuah entitas yang mengokupasi tanah Palestina, melanggar hukum internasional, dan mengebiri hak asasi manusia, justru ditahbiskan sebagai pihak yang harus dihormati dan dijamin?

Logika ini jungkir balik. Ibarat meminta seluruh kampung menjaga keselamatan pencuri agar ia berhenti mencuri. Atau lebih parah lagi, memaksa korban berterima kasih kepada sang penjajah.

Baca juga : Iran Menelanjangi PBB: Barat Tersandung di Meja Diplomasi

Simbol Baliho: Tanda dan Sinyal, Bukan Kebetulan

Dalam politik internasional, simbol sering kali berbicara lebih lantang daripada seribu dokumen resmi. Baliho di Israel itu jelas bukan spanduk kampanye LSM nirlaba; itu adalah penanda yang sengaja dipancang: “Indonesia berikutnya.”

Dan begitulah cara dunia membacanya. Sebab di panggung global, simbol lebih kuat dari klarifikasi birokratis. Ketika wajah Presiden Indonesia disejajarkan dengan Netanyahu, Trump, dan Abbas, pesan yang tersampaikan tak bisa ditutup-tutupi, bahwa Jakarta sedang digiring masuk orbit Abraham Accords, entah dengan restu, entah dengan keterpaksaan.

Konsekuensinya tidak kecil. Kredibilitas diplomasi Indonesia yang selama ini bangga dengan konsistensi Palestina bisa runtuh dalam sekejap. Reputasi sebagai juru bicara dunia Islam bisa tercoreng, dan arah diplomasi kita tampak berbelok tanpa mandat rakyat. Sejarah akan mencatat bukan bantahan Kemlu, melainkan bayangan baliho yang terpampang di jantung Israel itu.

Bayangan Geopolitik

Abraham Accords bukan proyek kecil. Ini adalah rancangan geopolitik Washington untuk menata ulang Timur Tengah: mengakui dan menyatukan Israel dengan negara-negara Arab sekaligus mengisolasi Iran.

Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko, dan Sudan sudah bergabung. Arab Saudi masih menimbang harga yang pas. Di tengah kalkulasi itu, Indonesia adalah trofi simbolis terbesar, negara Muslim terbesar di dunia, dengan sejarah panjang pembelaan tanpa kompromi terhadap Palestina.

Jika Jakarta bergeser, yang berubah bukan hanya peta politik, melainkan arah moral dunia. Amerika akan bersorak: “Bahkan Indonesia pun akhirnya mengakui Israel.” Israel akan menepuk dada, “Lihat, negara Muslim terbesar di dunia kini bicara dengan bahasa kami.”

Dan dari titik itulah, reputasi Indonesia bukan lagi milik rakyatnya, melainkan alat legitimasi bagi proyek geopolitik yang mengorbankan bangsa Palestina.

Dari Prinsip ke Pragmatisme

Sejak Orde Lama hingga Reformasi, Indonesia berdiri teguh pada prinsip, Palestina harus merdeka dan tidak ada bicara soal normalisasi. Namun dengan pidato Presiden Prabowo, nadanya bergeser, Israel lebih dulu dijamin kemerdekaannya, baru kita bicara perdamaian.

Apakah itu semata slip of the tongue? Sulit dipercaya. Dunia diplomasi terlalu paham bahwa setiap kalimat presiden bukan gumaman spontan, melainkan pesan yang dikalkulasi.

Konsekuensinya bisa berantai. Arab Saudi, misalnya, dapat menjadikan ini alasan ketika akhirnya masuk Abraham Accords: “Kalau Indonesia saja mulai lunak, mengapa kami tidak?” Sementara bagi Washington, Jakarta tak perlu lagi dipaksa menandatangani apa pun. Cukup satu kalimat dari presiden, dan dunia sudah membaca sinyalnya.

Menatap Sejarah Indonesia

Sejarah sering bergerak senyap, jarang diumumkan dengan fanfare. Dan kerap menyelinap lewat pidato yang terdengar sederhana, lewat klarifikasi yang tampak meyakinkan, atau bahkan lewat baliho yang disebut-sebut hanya kebetulan dipasang oleh sebuah LSM nirlaba.

Kini, Indonesia berdiri di ambang Gerbang Abraham. Dari Tel Aviv hingga Riyadh, dari Washington hingga Jakarta, semua menunggu, akankah langkah berikutnya diambil dengan kepala tegak, ataukah kita justru terseret oleh kata-kata presiden yang terlanjur meluncur?

Pertanyaan terbesar bukanlah hanya apakah Indonesia akan menandatangani Abraham Accords. Pertanyaan yang sejati adalah, apakah kita siap menggadaikan warisan moral sejarah bangsa kita, pembelaan teguh terhadap Palestina demi pragmatisme sesaat yang hanya menguntungkan Israel dan Amerika?

Sejarah akan menuliskan jawabannya. Dan sekali tertoreh, tinta itu tak mungkin dihapus selamanya. [MT]

Referensi:

1. CNN Indonesia: Kemlu soal Baliho Israel Pasang Foto Prabowo: Bukan Normalisasi (29/9/2025)
2. Kanal YouTube Sekretariat Kabinet RI: Keterangan Pers Presiden Prabowo Subianto soal Konflik Palestina-Israel (25/9/2025)
3. Unggahan viral di X (Twitter) menampilkan baliho Israel dengan foto Prabowo bersama Trump, Abbas, dan Netanyahu (29/9/2025) 

Baca juga : Analisis Pidato Imam Ali Khamenei: Persatuan, Ilmu Pengetahuan, Martabat, dan Cermin Bagi Indonesia