Opini
Bukan Genosida yang Mengusik Tidur Donald Trump, Tapi Laporan Francesca Albanese
Oleh: Muhlisin Turkan
Ternyata, membongkar genosida bisa lebih berbahaya daripada menjalaninya.
Ahlulbait Indonesia — Ada yang mengerikan dari pembantaian, yaitu ketika dunia memilih bungkam dan sibuk menghitung laba. Namun yang paling mengerikan adalah saat dunia tersenyum sopan, berpura-pura netral, lalu mencap siapa pun yang membongkar kebenaran sebagai ancaman.
Francesca Albanese, Pelapor Khusus PBB untuk wilayah pendudukan Palestina, kini menjadi target bukan karena menyebar kebohongan, melainkan karena terlalu akurat dalam mendokumentasikan siapa yang mendapat keuntungan dari penderitaan Gaza.
Dalam laporan berjudul “Forever-Occupation, Genocide, and Profit: Special Rapporteur’s Report Exposes Corporate Forces Behind Destruction of Palestine“, yang disampaikan antara 3 Juli 2025, Albanese membuka tabir keterlibatan lebih dari 70 perusahaan yang menopang proyek kolonialisme dan militerisme Israel. Mayoritas perusahaan itu berbasis di Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Israel sendiri.
Albanese secara gamblang menyatakan bahwa “genosida yang sedang berlangsung tidak hanya disponsori oleh kepentingan politik, tetapi juga oleh kepentingan ekonomi global yang sangat dalam” (OHCHR, 2025).
Pernyataan itu bukan berdiri sendiri, tapi puncak dari laporan resmi bertajuk “From Economy of Occupation to Economy of Genocide: Report of the Special Rapporteur on the Situation of Human Rights in the Palestinian Territories Occupied Since 1967“, yang telah dirilis dalam sidang Dewan HAM PBB sejak 16 Juni hingga 11 Juli 2025.
Apa yang disampaikan Albanese bukan sekadar kritik moral, melainkan bukti sistematis bahwa penderitaan Palestina telah menjadi industri global yang menguntungkan. Dan itulah yang paling ditakuti oleh mereka yang selama ini berdiri di balik tirai kekuasaan dan modal.
Salah satu kutipan paling mengguncang dari laporannya menyebutkan:
“One people enriched, one people erased,” “Satu bangsa diuntungkan, satu bangsa dimusnahkan,” tulisnya.
“Clearly, for some, genocide is profitable.” “Nyata, genosida ternyata mendatangkan keuntungan bagi sebagian pihak,” tambahnya.
Dan dalam dunia yang semakin dikuasai rezim impunitas global, yakni jaringan kekuasaan yang saling melindungi dari tuntutan hukum internasional, kejujuran seperti itu dianggap subversif.
Alih-alih dipuji karena membela hak asasi manusia, Albanese justru dijatuhi sanksi oleh pemerintah AS di bawah Presiden Trump. Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, menuduhnya “melancarkan perang politik dan ekonomi” terhadap AS dan Israel. Tuduhan ini tak hanya absurd, tapi juga mencerminkan logika koalisi politik-imperial, jika Anda menyebut kejahatan perang, maka Anda-lah kriminalnya.
Tentu, pemerintah AS berargumen bahwa keamanan sekutunya tidak bisa dikompromikan oleh laporan itu. Namun justru di situlah letak bahaya narasi ini, yakni ketika klaim kekebalan atas nama sekutu membenarkan pembungkaman terhadap pencari fakta.
Baca juga : Logika Perlawanan: Menghentikan Genosida, Menegakkan Keadilan
Rubio secara eksplisit menyoroti permintaan Albanese agar Mahkamah Pidana Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan Gallant sebagai “tindakan bias dan tidak berdasar.” Padahal, laporan tersebut menyebut bahwa tindakan militer Israel menyebabkan kematian lebih dari 37.000 warga Palestina dan kehancuran hampir total atas infrastruktur sipil Gaza, termasuk rumah sakit, universitas, hingga sistem air bersih.
Namun, yang lebih tragis dari semua ini adalah reaksi lembaga yang menaungi Francesca, yaitu Perserikatan Bangsa-Bangsa sendiri. Ketika salah satu pakarnya diserang secara frontal oleh negara adidaya, PBB hanya memberikan pembelaan formal dalam pernyataan pers, tanpa aksi yang setimpal. Ini menegaskan ironi institusional, bahwa sebuah badan internasional yang lebih takut pada negara donor ketimbang pada runtuhnya nilai-nilai yang mereka promosikan (UN News, 2025).
Sementara itu, negara-negara Uni Eropa justru membuka wilayah udaranya untuk Netanyahu, seolah-olah tuduhan kejahatan perang adalah tiket diplomatik, bukan alasan pembekuan hubungan. Seakan tidak cukup, beberapa dari mereka bahkan terus menjalin kerja sama ekonomi dan pertahanan dengan perusahaan-perusahaan yang disebut dalam laporan Albanese.
Kita tengah menyaksikan dunia di mana membongkar genosida dianggap lebih mengancam daripada melakukannya. Dunia di mana perusahaan bisa membantu penghancuran Gaza secara sistematis, selama mereka menyumbang pada kampanye pemilu yang tepat. Dunia di mana pelanggaran HAM adalah komoditas, dan keadilan bisa dibeli dengan paket investasi.
Trump sendiri melanjutkan tradisi lamanya dengan kembali menjatuhkan sanksi kepada empat hakim ICC, dan memperkuat perintah eksekutif yang melarang lembaga hukum internasional menargetkan sekutunya. Karena dalam republik impunitas ini, hukum hanya berlaku untuk lawan, bukan untuk mereka yang berinvestasi pada kekuasaan.
Namun sejarah tak pernah mencatat siapa yang paling keras bersorak, melainkan siapa yang tetap berdiri ketika semua memilih tunduk. Francesca Albanese telah membuktikan bahwa satu laporan yang jujur bisa mengguncang sebuah imperium. Sebab dalam perang narasi, kebenaran yang disampaikan dengan integritas jauh lebih mematikan daripada peluru kendali.
Dan ketika sebuah laporan menimbulkan lebih banyak ketakutan daripada ledakan rudal, mungkin yang benar-benar mematikan bukanlah senjatanya, melainkan keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya, tanpa jubah diplomasi dan basa-basi. []
Referensi:
1. OHCHR 2025. “Forever-Occupation, genocide, and profit: Special Rapporteur’s report exposes corporate forces behind destruction of Palestine”
2. UN News 2025. “UN calls for reversal of US sanctions on Special Rapporteur Francesca Albanese”
3. US Department of State 2025. “Sanctioning Lawfare that Targets U.S. and Israeli Persons”
4. Military 2025. “US Issues Sanctions Against UN Investigator Probing Abuses in Gaza”
5. United Nations 2025. “FROM ECONOMY OF OCCUPATION TO ECONOMY OF GENOCIDE: Report of the Special Rapporteur on the situation of human rights in the Palestinian territories occupied since 1967”
Baca juga : Ini Era Perlawanan: Ingatan Jadi Pilar, Etos Jadi Tenaga, Narasi Jadi Medan Tempur
