Opini
Cinta dan Benci: Identitas Keberagamaan dalam Perspektif Ayyamul Fatimiyah
Ahlulbait Indonesia — Ayyamul Fatimiyah merupakan rangkaian hari peringatan syahadah Sayyidah Fatimah al-Zahra yang didasarkan pada dua periwayatan berbeda mengenai tanggal wafat beliau. Tradisi ini menjadi ruang reflektif bagi pengikut Ahlul Bait untuk menegaskan identitas keberagamaan melalui pemaknaan cinta yang tidak berhenti pada dimensi emosional, tetapi menjelma menjadi parameter etis, teologis, dan praksis.
Naskah ini merupakan analisa uraian dari ceramah panjang Ketua Umum Ahlulbait Indonesia, Ustadz Zahir Yahya, yang disampaikan dalam rapat reguler DPP ABI pada Selasa, 18 November 2025, di Kantor DPP ABI. Pembahasan berfokus pada bagaimana konsep cinta dalam riwayat-riwayat Islam, khususnya dalam tradisi Ahlul Bait, yang dipahami sebagai asas agama yang tidak dapat dipisahkan dari wilayah dan bara’ah. Dengan menelusuri riwayat, konteks sejarah, serta praktik Ayyamul Fatimiyah, analisa ini menjelaskan bahwa kecintaan kepada Ahlul Bait merupakan identitas substantif yang membedakan para pengikut Ahlul Bait dari pemaknaan cinta yang bersifat umum dalam komunitas Muslim.
Latar Belakang Peristiwa
Ayyamul Fatimiyah dilakukan sejak 13 Jumadil Ula hingga 3 Jumadil Tsaniyah, merujuk pada dua riwayat mengenai hari syahadah Sayyidah Fatimah al-Zahra a.s. Perbedaan sekitar dua puluh hari antara kedua periwayatan tersebut melahirkan keragaman praktik di kalangan pengikut Ahlul Bait: sebagian memperingati kedua tanggal secara terpisah, sementara yang lain memperluasnya menjadi rangkaian peringatan selama dua puluh hari.
Berbeda dengan peringatan Asyura yang bertumpu pada satu peristiwa historis yang jelas dan terverifikasi, Ayyamul Fatimiyah tidak bergantung pada satu momentum demonstratif. Tradisi ini bertumpu pada kesadaran kolektif mengenai kedudukan Sayyidah Fatimah sebagai figur sentral dalam struktur identitas Ahlul Bait. Karena itu, Ayyamul Fatimiyah berfungsi terutama sebagai tradisi spiritual yang memperkuat identitas dan kesadaran komunal, bukan semata ritual yang berpijak pada satu peristiwa sejarah tertentu.
Konsep Cinta dalam Teologi Islam
Salah satu gagasan yang paling sering dikutip dalam tradisi Islam adalah pandangan bahwa agama pada hakikatnya berakar pada cinta. Ungkapan “hal al-dinu illa al-hubb” (“tiadalah agama selain cinta”) kerap dijadikan rujukan untuk menempatkan cinta sebagai inti dari keberagamaan.
Dalam khazanah riwayat Syiah, konsep tersebut memperoleh penegasan yang lebih terarah. Imam Ja‘far al-Ṣadiq a.s. meriwayatkan:
“Inna fawqa kulli ‘ibadah ‘ibadatan, wa hubbuna Ahlal-Bayt afdhal al-‘ibadah.”
“Di atas setiap ibadah terdapat tingkatan ibadah lain, dan kecintaan kepada kami Ahlul Bait merupakan ibadah yang paling utama.”
Riwayat ini menjelaskan bahwa cinta bukan sekadar pengalaman emosional yang bersifat umum, melainkan bentuk ibadah yang memiliki objek khusus: Ahlul Bait. Penegasan serupa juga muncul dalam sabda Rasulullah SAW:
“Li-kulli shay’in asas, wa asas al-Islam hubbuna Ahlal-Bayt.”
“Segala sesuatu memiliki landasan, dan landasan Islam adalah kecintaan kepada Ahlul Bait.”
Dengan demikian, cinta di sini bukan sentimentalitas kosong, melainkan prinsip religius yang memiliki bobot epistemologis dan etis. Cinta yang mengatur struktur tindakan, sikap, dan orientasi moral seorang mukmin.
Baca juga : Ledakan di SMA Negeri 72 Jakarta: Mendidik Jiwa dan Menyembuhkan Luka Sosial
Cinta sebagai Prinsip Etis yang Menentukan Identitas
Beragam riwayat menegaskan bahwa cinta yang dimaksud dalam agama bukanlah semata pengalaman batin, tetapi parameter moral yang mengarahkan tindakan. Cinta yang disebut sebagai “asas agama” adalah cinta yang menggerakkan perilaku, menentukan orientasi nilai, serta menjadi dasar dalam menetapkan apa yang patut dicintai maupun ditolak. Cinta yang juga berfungsi sebagai ukuran sikap terhadap figur-figur lain, baik kawan maupun lawan.
Riwayat Imam Muhammad al-Baqir a.s. tentang seorang sahabat dari Khurasan menguatkan prinsip tersebut. Ketika sahabat itu menyatakan bahwa perjalanannya dilakukan demi kecintaan kepada Ahlul Bait, Imam al-Baqir menjawab:
“Wa hal al-dinu illa al-hubb.” “Dan tiadalah agama selain cinta.”
Ungkapan ini bersifat umum, namun dalam tradisi Syiah, selalu dibaca bersama riwayat lain yang menyatakan:
“Hal al-dinu illa al-hubb wa al-bughdh.” “Agama adalah cinta dan kebencian.”
Kedua teks ini memperlihatkan bahwa cinta dalam definisi keagamaan bukan cinta universal yang netral, melainkan cinta yang identitasnya dibentuk oleh objeknya, yaitu Ahlul Bait. Cinta tersebut berjalan beriringan dengan bara’ah, yakni penegasan jarak moral terhadap mereka yang memusuhi Ahlul Bait.
Dalam pandangan Ahlul Bait, cinta tidak dipahami sebagai kondisi batin semata, tetapi sebagai ukuran komprehensif yang merangkum rasa, akal, dan tindakan. Cinta seperti ini akan menentukan apa atau siapa yang layak dicintai dan ditolak; menata pertimbangan benar dan salah berdasarkan otoritas moral Ahlul Bait, serta menuntun sikap sosial, politik, dan spiritual seseorang.
Dimensi ini tampak secara eksplisit dalam formula ziarah Ahlul Bait:
Qalbi lakum musallam; hatiku berserah kepada kalian;
Ra’yi lakum taba‘; pandangan akalku mengikuti kalian;
Wa nushrati lakum mu‘addah; pembelaanku dipersiapkan untuk kalian.
Ziarah dalam tradisi Ahlul Bait bukan hanya pencarian keberkahan spiritual, tetapi deklarasi identitas dan komitmen moral. Ziarah Ahlul Bait menandai perbedaan mendasar antara ziarah yang hanya berorientasi pada keberkahan dan ziarah yang menegaskan kesetiaan normatif.
Cinta dan Tantangannya
Cinta sebagai asas agama bersifat menantang karena menyalahi kecenderungan alami manusia yang bertindak berdasarkan kepentingan pribadi. Dalam ajaran Ahlul Bait, cinta mengharuskan individu untuk:
1. Mengabaikan preferensi personal ketika bertentangan dengan kehendak sosok yang dicintai.
2. Menjadikan kecintaan kepada Allah dan Rasul sebagai parameter tertinggi dalam hubungan sosial maupun religius.
3. Melampaui kecintaan diri sendiri.
Contoh ideal ditunjukkan melalui kisah Nabi Ibrahim a.s. ketika ditanya oleh Allah siapa yang lebih ia cintai, dirinya atau Nabi akhir zaman. Nabi Ibrahim menjawab bahwa ia lebih mencintai Nabi Muhammad Saw. daripada dirinya sendiri, semata-mata karena Allah lebih mencintainya.
Sayyidah Fatimah sebagai Model Cinta dan Bara’ah
Syahadah Sayyidah Fatimah al-Zahra menunjukkan bentuk cinta yang disertai keberanian moral. Semua aksi beliau setelah wafat Rasulullah Saw., mendatangi rumah-rumah Anshar, berpidato di masjid, menyatakan sikap terhadap ketidakadilan, ditujukan untuk menjaga posisi Ahlul Bait dan memperingatkan umat.
Beliau mempraktikkan bentuk cinta yang memiliki konsekuensi moral yang tegas. Sikap-sikap berikut tercatat dalam riwayat sebagai ekspresi keteguhan beliau:
1. Tidak menjawab salam dari mereka yang menzhaliminya.
2. Tidak menjalin percakapan dengan para pelaku ketidakadilan.
3. Berwasiat agar pemakamannya dilaksanakan pada malam hari.
4. Meminta agar lokasi makamnya dirahasiakan.
Sikap-sikap ini menunjukkan bahwa cinta dalam ajaran beliau selalu beriringan dengan penegasan nilai dan keberpihakan moral.
Wilayah dan Bara’ah: Dua Asas Tak Terpisahkan
Riwayat Nabi Muhammad Saw. menegaskan: “Ya Ali, inna wilayatuka la tuqbalu illa bil-bara’ah min a‘da’ika“. “Wahai Ali, sesungguhnya wilayah kepadamu tidak akan diterima kecuali disertai bara’ah terhadap musuh-musuhmu.”
Dengan demikian, cinta dalam ajaran Ahlul Bait tidak bersifat netral atau universal tanpa arah. Cinta seperti ini memiliki dua pilar:
1. Wilayah; yakni loyalitas kepada Ahlul Bait.
2. Bara’ah; yakni penolakan terhadap musuh-musuh mereka.
Keduanya membentuk kerangka identitas yang konsisten, tidak ambigu, dan tidak kompromistis.
Fenomena Ambiguitas dalam Tradisi Keagamaan
Dalam konteks masyarakat muslim tertentu, termasuk Indonesia, sering ditemukan pengagungan ganda kepada figur-figur yang secara historis saling berkonflik. Fenomena menyebut Imam Ali dan Muawiyah sebagai “tuan kami”, padahal keduanya saling berhadapan secara teologis dan politis, menjadi contoh inkonsistensi yang bertentangan dengan prinsip cinta yang diajarkan Sayyidah Fatimah.
Ayyamul Fatimiyah sebagai Penegasan Identitas
Menghidupkan Ayyamul Fatimiyah berarti menegaskan kembali struktur cinta dalam tradisi Ahlul Bait, menyadarkan identitas pengikut Ahlul Bait dari sisi teologis dan historis, serta menguatkan prinsip cinta yang beriringan dengan bara’ah sebagai bagian dari integritas spiritual. Peringatan ini tidak semata-mata ritual, melainkan deklarasi identitas dan komitmen terhadap prinsip-prinsip Ahlul Bait.
Dalam pandangan Ahlul Bait, cinta bukan emosi sentimental, melainkan prinsip epistemologis, moral, dan praktis yang membentuk identitas keberagamaan. Cinta yang tidak disertai bara’ah dipandang belum mencapai bentuknya yang sempurna. Ayyamul Fatimiyah berfungsi sebagai mekanisme kolektif untuk memastikan bahwa identitas pengikut Ahlul Bait tetap berpegang pada dua asas mendasar: loyalitas kepada Ahlul Bait dan penegasan jarak moral terhadap pihak yang memusuhi mereka.
Mencintai Sayyidah Fatimah al-Zahra bukan hanya kecintaan kepada pribadi beliau, tetapi juga penegasan sikap terhadap mereka yang berseberangan, menyakiti, atau memusuhi beliau. Inilah bentuk cinta yang beliau ajarkan dan wujudkan secara nyata. Demikian pula, mencintai Ahlul Bait, seperti mencintai Imam al-Husain a.s. mengharuskan kejelasan posisi moral terhadap pihak-pihak yang memerangi atau menganiaya beliau.
Diriwayatkan bahwa seseorang pernah berkata kepada Imam Ali a.s., “Aku mencintaimu dan mencintai fulan,” seraya menyebut nama seorang tokoh yang jelas berada di pihak yang berseberangan. Imam Ali menjawab, “Ama la‘an fa anta a‘war.” “Kalau begitu, engkau juling.”
(Catatan redaksi: Kata a‘war secara harfiah berarti juling atau tidak melihat dengan benar. Kata ini bukan hinaan fisik, tetapi kiasan untuk pandangan moral atau posisi batin yang tidak utuh. Dalam konteks riwayat, Imam Ali a.s. menggunakan istilah ini untuk menegaskan bahwa seseorang tidak mungkin mencintai dua pihak yang saling bertentangan. Pandangan seperti itu dianggap “tidak lurus” atau “tidak jernih”). Ungkapan itu menegaskan bahwa pandangan seperti itu tidak utuh; seseorang tidak mungkin menempatkan dirinya pada dua posisi yang saling bertentangan sekaligus. Analogi ini menjelaskan bentuk cinta yang tidak disertai bara’ah, cinta yang kehilangan ketegasan moralnya.
Di sinilah urgensi Ayyamul Fatimiyah yang memperjelas identitas pengikut Ahlul Bait melalui konsep cinta yang paripurna. Cinta yang disertai prinsip moral untuk tidak menyamakan antara pihak yang setia kepada Ahlul Bait dan pihak yang memusuhi mereka.
Sangat problematis apabila seseorang hanya mengutip bagian “hal al-dinu illa al-hubb” tanpa konteks riwayat lainnya. Pernyataan itu hanyalah satu fragmen. Riwayat lain secara tegas menyatakan, “hal al-dinu illa al-hubb wa al-bughdh”, agama adalah cinta sekaligus penegasan nilai melalui penolakan. Mencintai sosok tertentu namun tetap mendukung atau menyayangi pihak yang memusuhinya bertentangan dengan konsep cinta teologis yang dijelaskan oleh riwayat-riwayat tersebut.
Cinta yang sejati adalah cinta yang disatukan dengan komitmen moral sebagaimana dirumuskan dalam formula tersebut.
Dengan memahami kembali esensi cinta menurut ajaran Sayyidah Fatimah al-Zahra, umat dapat meneguhkan identitas keagamaannya dengan landasan teologis dan historis yang jelas, konsisten, dan bermartabat. []
Baca juga : Siti Fatimah dan Stereotipe ‘Solihah’
