Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Dari Karbala ke Aqsa: Ritual Arbain Sebagai Maqma Muqawamah

Dari Karbala ke Aqsa: Ritual Arbain Sebagai Maqma Muqawamah

Oleh: Ustadz Muhsin Labib (Anggota Dewan Syura ABI)

Ahlulbait Indonesia — Setiap tahun, lebih dari dua puluh juta jiwa dari seluruh penjuru dunia berkumpul di Karbala, Irak, dalam ziarah agung Arbain. Mereka melangkah, dipersatukan oleh cinta kepada Imam Husain yang gugur sebagai syahid teragung demi menegakkan keadilan melawan tirani. Langkah mereka menggetarkan bumi, zikir mereka menggema hingga langit, dan air mata mereka menjadi saksi abadi pengorbanan heroik sang Imam.

Apresiasi setinggi langit patut disampaikan kepada masyarakat Irak, terutama umat Syiah, yang dengan kedermawanan luar biasa menggelar suguhan makanan, menyediakan tenda penginapan, dan aneka pelayanan kesehatan sepanjang 100 kilometer bagi para penziarah. Keramahan mereka mencerminkan semangat pengabdian yang luhur, menjadikan mereka elemen penting dalam Poros Perlawanan, bersama milisi-milisi militernya yang telah berkontribusi gemilang dalam Badai Aqsa.

Namun, di tengah lautan kemanusiaan ini, tersimpan potensi maha dahsyat yang terlewat begitu saja—sebuah momentum yang mampu mengguncang dunia, menyatukan umat, dan menyulut api Muqawanah, perlawanan terhadap kezaliman. Sayang sekali bila energi agung ini hanya berlalu sebagai ritus tahunan, tanpa diarahkan menjadi gelombang perubahan yang menggetarkan singgasana tirani jagat dan para monster yang membantai ribuan bayi di Gaza dan Sanaa.

Dua puluh juta hati berdenyut dalam satu irama, dipersatukan oleh nilai kebenaran, keberanian, dan pengorbanan. Arbain bukan sekadar ziarah; ia adalah samudra kemanusiaan yang siap menjadi badai revolusi. Ia bukan hanya peringatan syahadat Imam Husain, tetapi seruan abadi untuk menentang tirani, sebagaimana ia melawan Yazid. Dalam zaman modern, semangat ini selaras dengan Muqawanah—perjuangan suci melawan penjajahan, eksploitasi, dan hegemoni global yang mencengkeram kaum lemah. Jika energi ziarah ini dibangkitkan, Karbala dapat menjadi mercusuar perlawanan, titik tolak revolusi moral dan politik yang tak terbendung, menyalakan bara keadilan dari Irak hingga ke setiap sudut bumi yang tertindas.

Namun, kenyataan pahit menyapa. Jutaan penziarah datang, berdoa, menangis, lalu pulang ke negeri masing-masing hanya membawa kisah mengesankan tentang pengalaman emosional dan spiritual personal, sementara dunia terus merintih di bawah roda ketidakadilan. Gaza masih berdarah, menjadi makam raksasa bagi harapan. Ansarullah dikepung, Hizbullah diterpa badai, dan hegemoni global terus merajalela. Padahal, lautan umat di Karbala dapat menjadi suara kolektif yang mengguncang. Kecaman terhadap Yazid dalam teks ziarah Husain mestinya ditransformasi menjadi deklarasi baraah global—penolakan tegas terhadap Zionisme, imperialisme, rasisme, dan kapitalisme predator. Dana yang mengalir ke pusara suci Imam Husain mestinya menjadi amunisi finansial untuk perjuangan nyata: dari medan media hingga aksi kemanusiaan di garis depan.

Baca juga : Bel Virtual: Dua Belas Hari, Serangan Hibrida, dan Kekalahan Para Pewaris Machuca

Muqawanah adalah kelanjutan napas Karbala—perlawanan yang bukan hanya spiritual, tetapi juga nyata, terorganisir, dan membumi. Konsolidasi di Karbala dapat dimulai dengan langkah sederhana namun mengguncang: menjadikan Arbain sebagai panggung deklarasi global untuk keadilan. Para penziarah dapat dihimpun untuk menyuarakan solidaritas dengan rakyat tertindas—Palestina, Lebanon, Yaman, dan setiap komunitas yang bergelut melawan penjajahan. Forum-forum diskusi, konferensi, dan kampanye dapat dihelat di sela ziarah, mengubah Karbala menjadi episentrum intelektual dan strategis Muqawanah global. Ulama, aktivis, dan cendekiawan dari seluruh dunia dapat merumuskan langkah konkret: boikot ekonomi terhadap entitas penindas, penggalangan dana untuk korban perang, hingga pembentukan aliansi global yang menegakkan martabat kemanusiaan.

Arbain adalah lambang persatuan yang melampaui sekat mazhab, etnis, dan politik. Di Karbala, Syiah, Sunni, Kristen, bahkan non-Muslim, bersatu dalam ikatan kemanusiaan dan perlawanan terhadap tirani. Ini adalah kekuatan tak tertandingi—koalisi global yang mampu menggoyahkan fondasi sistem penindas. Dua puluh juta penziarah yang pulang ke negeri masing-masing dapat membawa bara Muqawanah di dada, menyebarkan pesan perlawanan, mengorganisir komunitas, dan membangun jaringan solidaritas dunia. Karbala tak lagi hanya tempat ziarah, tetapi mercusuar harapan bagi dunia yang luka, nyala api yang membakar tirani hingga ke akarnya.

Namun, visi agung ini takkan terwujud tanpa kesadaran kolektif dan otoritas keagamaan tunggal. Penyelenggara ziarah, tokoh agama, dan aktivis mestinya melampaui ritus. Mereka mestinya melihat Arbain sebagai peluang strategis untuk membangun gerakan global. Pendidikan tentang Muqawanah mestinya meresap ke dalam narasi ziarah, mengingatkan bahwa mengenang Imam Husain berarti menghidupkan perjuangannya. Teknologi modern, seperti media sosial, dapat mengamplifikasi pesan ini, menciptakan gelombang digital yang membawa semangat Karbala ke setiap sudut bumi.

Hingga kini, potensi ini masih terlelap. Jutaan penziarah datang dan pergi, meninggalkan Karbala dengan hati penuh haru, namun tanpa aksi nyata yang mengguncang dunia. Momentum Arbain berlalu bagai air yang mengalir tanpa bekas. Padahal, di tangan yang tepat, lautan umat ini dapat menjadi badai yang menyapu kezaliman. Arbain adalah momen untuk menggemakan “Haihat minna-dzillah!”—seruan perlawanan yang tak hanya meratapi syahadat, tetapi menyalakan magma “tsa’r” (pembalasan) atas kezaliman dan menjadikan Karbala episentrum Muqawamah global.

Karbala bukan akhir, melainkan awal. Awal dari perlawanan yang tak pernah padam, persatuan yang tak terpecahkan, dan dunia yang lebih adil. Arbain adalah nyala api yang siap menyulut Muqawanah, hingga keadilan yang dicita-citakan Imam Husain terwujud di bawah panji Sang Pemimpin Suci, Al-Mahdi, menerangi bumi dengan cahaya kebenaran. []

Baca juga : Bagaimana Barat Mengalihkan Pandangan dari Genosida Gaza