Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Dari Proklamasi ke Realitas: Tafsir Profetik Ketum ABI atas 80 Tahun Kemerdekaan Indonesia

Dari Proklamasi ke Realitas: Tafsir Profetik Ketum ABI atas 80 Tahun Kemerdekaan Indonesia

Oleh: Redaksi Media ABI

Ahlulbait Indonesia — Fajar 17 Agustus 1945 menyingsing dalam ketegangan bersejarah. Di kediaman sederhana, Pegangsaan Timur Nomor 56, dua putra terbaik bangsa, Bung Karno dan Bung Hatta, membacakan Proklamasi Kemerdekaan dengan suara yang mengguncang pondasi kolonialisme. Peristiwa itu bukan hanya deklarasi politik, melainkan ikrar kolektif untuk memutus rantai penjajahan dan berdiri tegak di atas kaki sendiri.

Delapan dekade berlalu, gema “Merdeka!” masih membelah langit Nusantara. Namun pertanyaan mendasar yang disampaikan Ketua Umum Ahlulbait Indonesia (Ketum ABI), Ustadz Zahir Yahya, dalam pidato resmi HUT RI ke-80, mengetuk kesadaran kita semua: Sudahkah bangsa ini meraih kemerdekaan sejati, ataukah masih terjebak dalam kemerdekaan semu yang rapuh dan nisbi?

Kemerdekaan sebagai Anugerah Ilahi

Dengan lugas, Ustadz Zahir menegaskan bahwa kemerdekaan bukanlah pemberian penguasa dunia atau legitimasi komunitas internasional, melainkan anugerah Ilahi yang melekat pada hakikat manusia sejak penciptaan. Hak mendasar ini tidak dapat digadaikan, diperdagangkan, atau diserahkan kepada siapa pun.

Sabda Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib, “Janganlah engkau menjadi budak bagi selainmu…” … menjadi pengingat bahwa kebebasan adalah bagian utuh dari martabat manusia, setara dengan hak hidup dan harga diri.

Dua Dimensi Kemerdekaan

Ketum ABI membedakan kemerdekaan dalam dua ranah yang saling melengkapi:

1. Kemerdekaan Personal dan Sosial: kebebasan berfikir, berkeyakinan, berekspresi, dan bertindak dalam bingkai hukum yang adil. Di ruang inilah manusia dapat mengaktualisasikan potensinya tanpa intimidasi atau penindasan.

2. Kemerdekaan Nasional: kedaulatan penuh bangsa dalam menentukan arah politik, mengelola ekonomi untuk rakyat, serta melestarikan budaya tanpa subordinasi atau hegemoni asing.

Kedua dimensi ini meniscayakan keberanian untuk menolak dominasi eksternal, menegakkan kemandirian ekonomi, serta membentengi jati diri bangsa dari penetrasi nilai-nilai yang merusak karakter.

Misi Kenabian dan Perjuangan Kemerdekaan

Bersandar pada Al-Quran, Ustadz Zahir mengingatkan bahwa misi para Nabi adalah membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan: politik, ekonomi, sosial, maupun spiritual. Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-A’raf ayat 157, Rasulullah SAW “…melepaskan beban berat dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka…”.

Dalam garis sejarah ini, perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa tertindas, termasuk Indonesia, adalah kelanjutan dari semangat profetik. Para ulama dan tokoh agama yang berdiri di garda terdepan melawan kolonialisme bukan semata pejuang politik, melainkan pewaris misi spiritual untuk menegakkan keadilan.

Baca juga : Bantuan ABI Tembus Gaza, kok Bisa?

Kemerdekaan Sejati versus Kemerdekaan Nisbi

Pidato Ketum ABI menantang bangsa ini untuk mengukur kembali status kemerdekaannya dengan parameter yang lebih substansial. Kemerdekaan autentik tidak berhenti pada pengakuan diplomatik atau ritual seremonial, melainkan diwujudkan dalam kemampuan bangsa merumuskan visi strategis, mengambil keputusan fundamental, dan melaksanakan pembangunan tanpa intervensi asing.

Namun realitas hari ini menunjukkan paradoks. Meski penjajah telah pergi, jejak dominasi mereka masih tertanam dalam sistem politik, ekonomi, dan budaya kita:

• Politik: kebijakan strategis kerap dipengaruhi kepentingan geopolitik global ketimbang aspirasi rakyat.

• Ekonomi: aset strategis nasional masih dikuasai korporasi asing, sementara pasar domestik rapuh terhadap guncangan global.

• Budaya: ruang publik dibanjiri nilai-nilai yang kerap bertentangan dengan kepribadian bangsa.

Visi Para Pendiri Bangsa

Para pendiri bangsa tidak menumpahkan darah demi mengganti bendera penjajah dengan bendera merah-putih semata. Mereka memperjuangkan lahirnya negara berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Cita-cita luhur Pancasila ini hanya mungkin terwujud melalui kedaulatan politik yang orisinil, kemandirian ekonomi yang kokoh, dan kepercayaan diri budaya yang tangguh. Tanpa itu semua, kemerdekaan hanyalah formalitas kosong yang mudah tergadaikan.

Diagnosis Kemerdekaan Semu

Inilah kritik mendasar Ketum ABI: kemerdekaan formal pasca-proklamasi tidak otomatis menjamin kemandirian substantif. Kolonialisme modern hadir dengan wajah yang lebih halus, namun cengkeramannya justru lebih dalam dan sistematis.

Selama ketahanan pangan bergantung pada impor, pertahanan mengikuti blueprint asing, sistem pendidikan tunduk pada standar luar yang tak sesuai kebutuhan bangsa, dan kebijakan ekonomi diarahkan lembaga finansial internasional, maka kemerdekaan kita masih bersifat nisbi yang mudah diguncang dan dipermainkan.

Kemerdekaan Sejati

Kemerdekaan sejati tidak cukup berhenti pada slogan dan upacara. Kemerdekaan sejati harus diwujudkan dalam keberanian politik mengambil keputusan yang strategis meski tidak populer, dalam kemandirian ekonomi yang didukung penguasaan teknologi, dan dalam kepercayaan diri budaya yang mampu berinteraksi tanpa kehilangan jati diri.

Kemerdekaan sejati adalah sikap jiwa: menolak subordinasi, berani berkata “tidak” pada dominasi, dan bertekad mengarahkan haluan bangsa sesuai kehendak rakyat, bukan aktor asing yang menyamar dalam rupa “bantuan” atau “kerjasama”.

Panggilan Sejarah

Kini Indonesia berada di persimpangan sejarah. Satu jalan mengarah pada zona nyaman kemerdekaan semu, semangat proklamasi yang tinggal ritual tahunan. Jalan lain, meski terjal, adalah jalan menuju kemerdekaan paripurna: sebuah perjalanan yang menuntut keberanian moral, ketekunan, inovasi, dan kesediaan berkorban demi martabat bangsa.

Janji yang Belum Tuntas

Pekik “Merdeka!” yang menggema dari Pegangsaan hingga Sabang–Merauke bukanlah hanya nostalgia atau euforia tahunan. Pekik itu adalah janji suci yang hingga kini belum sepenuhnya ditunaikan, sebuah janji bahwa Indonesia akan berdiri tegak, berdaulat, dan memimpin dirinya sendiri, sebagaimana dicita-citakan para pendiri bangsa, dan kembali diingatkan melalui suara profetik Ustadz Zahir Yahya.

Kemerdekaan sejati masih menanti untuk diwujudkan. Kemerdekaan ini masih setia menunggu ketegasan generasi yang berani bertindak melanjutkan perjuangan, generasi yang tidak puas dengan kemerdekaan nisbi, tetapi siap menuntaskan amanat agung bangsa ini, untuk meraih kemerdekaan yang utuh, merdeka lahir dan batin. []

Baca juga : Kemerdekaan Tanpa Keadilan Sosial adalah Ilusi