Opini
Deklarasi New York: Babak Damai atau Penutup Sejarah Palestina?
Oleh: Redaksi Media ABI
Ketika bahasa diplomasi menjadi alat pendudukan
Ahlulbait Indonesia — Di meja diplomasi, kata “perdamaian” sering terdengar indah. Tetapi di lapangan, kata ini bisa berarti perpanjangan derita bagi mereka yang tak punya daya tawar. Konferensi Tingkat Tinggi Internasional PBB di New York, 29 Juli 2025, melahirkan New York Declaration on the Peaceful Settlement of the Question of Palestine and the Implementation of the Two-State Solution.
Dokumen ini diteken 15 negara, termasuk Indonesia, sejumlah negara Arab, Turki, dan Uni Eropa. Tiga poin utama yang dipromosikan:
1. Kecaman terhadap serangan 7 Oktober 2023.
2. Dukungan terhadap solusi dua negara.
3. Seruan pelucutan senjata Hamas.
Sekilas terdengar seimbang. Namun di balik bahasa yang rapi, tersimpan jebakan yang menentukan siapa yang benar-benar diuntungkan.
Jebakan Bahasa: Damai yang Tidak Netral
Pelucutan senjata Hamas disebut sebagai syarat damai, tetapi tidak ada kewajiban bagi Israel untuk menghentikan operasi militer atau mengembalikan wilayah yang direbut.
Dengan begitu, pihak yang tertindas diminta menanggalkan pertahanan, sementara pihak yang menguasai wilayah dan senjata tetap bebas bergerak.
Dukungan terhadap “solusi dua negara” pun tanpa batas wilayah yang jelas dan tanpa status tegas bagi Yerusalem Timur. Tanpa detail ini, “dua negara” hanyalah slogan kosong yang melegitimasi status quo pendudukan.
Realitas yang Membantah Retorika
Data PBB (OCHA, Juli 2024) menunjukkan:
1. Pemukiman ilegal di Tepi Barat melonjak 15% hanya dalam tiga tahun terakhir.
2. Serangan pemukim bersenjata terhadap warga Palestina meningkat tajam.
Pasca-Oslo, wilayah Palestina yang tersisa hanya sekitar 22% dari tanah historisnya, dan terus tergerus oleh pemukiman baru, blokade, dan operasi militer.
Di Gaza, tragedi kemanusiaan memecah rekor kelam. Menurut UNRWA dan WHO (30 Juli 2025), lebih dari 63.000 orang tewas sejak Oktober 2023, 80% di antaranya warga sipil, termasuk tenaga medis, jurnalis, dan pekerja bantuan. Angka ini bukan “kerugian sampingan” perang. Ini adalah bukti penghancuran sistematis.
Baca juga : Arbain: Pilar Peradaban dan Amanah Sejarah Global

Gaza akan Menghapus Israel dari Peta Dunia
Ironi Indonesia: Mengobati Luka, Menggusur Negeri?
Tak perlu lama-lama usai Deklarasi New York, Presiden Prabowo dalam Sidang Kabinet 6 Agustus 2025, mengumumkan rencana menjadikan Pulau Galang sebagai pusat perawatan bagi 2.000 korban perang Gaza.
Kita tentu bangga disebut “negara penolong”. Namun sejarah pahit Palestina mengajarkan: setiap evakuasi tanpa jaminan pulang adalah langkah awal pengosongan permanen. Nyawa memang diselamatkan, tapi tanah, rumah, dan hak kembali bisa hilang selamanya.
Ketua Umum DPP Ahlulbait Indonesia, Ustadz Zahir Yahya, mengingatkan keras: di balik dalih kemanusiaan, kebijakan ini berisiko menjadi bagian dari strategi Israel–AS untuk mengosongkan Gaza dari rakyatnya.
“Meski niatnya kemanusiaan, kebijakan membawa korban luka Gaza ke Pulau Galang justru dapat memuluskan strategi Israel–AS untuk mengosongkan wilayah itu dari rakyatnya,” ujarnya kepada Media ABI, 11 Agustus 2025.
Ironisnya, bangsa yang dulu merebut kemerdekaan dengan darah dan pengorbanan kini, sadar atau tidak, ikut menandatangani skenario yang mengulang tragedi Nakba, dan kali ini, dengan tanda tangan kita sendiri dan bendera kemanusiaan berkibar di depannya.
Dua Negara yang Tak Pernah Disetujui
Dukungan internasional terhadap “solusi dua negara” terdengar kompak di atas panggung diplomasi. Konferensi gabungan Prancis–Arab Saudi bahkan dihadiri 125 negara termasuk Indonesia sepakat menyatakan dukungan pembentukan negara Palestina.
Namun faktanya:
1. Israel: PM Benjamin Netanyahu berulang kali menolak negara Palestina, berlindung di balik alasan keamanan dan klaim “hak historis” (ABC News, The Washington Post).
2. Amerika Serikat: Menyebut konferensi dua negara “tidak produktif dan tak tepat waktu” (Reuters), tanda absennya tekanan nyata pada Israel.
Hasilnya jelas: dukungan hanya berhenti di podium, tak pernah menyentuh tanah tempat rakyat Palestina berdiri, atau terusir.
Baca juga : Abu Obaida dan Kritik Tajam Racun Sektarianisme

Indonesia harus desak dunia akhiri penjajahan Palestina di forum Internasional PBB
Kemanusiaan Tidak Boleh Jadi Dalih Pengosongan Permanen
Memberi bantuan medis bukan sekadar pilihan moral, tetapi perintah hukum internasional. Namun tanpa jaminan hak mutlak untuk kembali, sebagaimana diabadikan dalam Resolusi PBB 194, maka setiap evakuasi hanya menukar penderitaan di tanah kelahiran dengan pengasingan tanpa akhir.
Pulau Galang, tanpa jaminan itu, berisiko menjadi halaman catatan kaki dari strategi lama, untuk mengosongkan Palestina selapis demi selapis, lalu menghapusnya dari peta, bukan dengan bom semata, tapi dengan paspor sementara dan label “pengungsi” yang tak pernah dicabut.
Perlawanan rakyat Palestina, baik dengan cara diplomatik, sipil, hingga bersenjata adalah satu-satunya tembok yang mampu mencegah tragedi ini berubah total menjadi sejarah yang dilupakan. Menghapus perlawanan tanpa menjamin kepulangan adalah membunuh sebuah bangsa dengan tangan yang bersarung tangan sutra.
Jika Deklarasi New York disebut “babak baru,” maka kita patut bertanya, dengan suara yang tak sudi dibungkam: Apakah ini babak baru bagi keadilan, atau surat kematian terakhir bagi Palestina? []
Referensi:
1. UNRWA Situation Report #183 on the Humanitarian Crisis in the Gaza Strip and the West Bank, including East Jerusalem.
2. WHO Situation Update on Gaza, July 2025.
3. OCHA West Bank Settlement Expansion Report, July 2024.
4. ABC News, The Washington Post: Netanyahu’s remarks on rejecting Palestinian statehood.
5. Reuters: US official comments on two-state solution conference.
6. Institute for Middle East Understanding: Historical analysis on displacement patterns.
Baca juga : Transfer Data ke AS: Risiko Kedaulatan Digital di Balik Perjanjian Dagang
