Opini
Di Doha, AS dan Israel Jadikan Meja Perundingan Titik Koordinat Serangan
Oleh: Muhlisin Turkan
Ahlulbait Indonesia – Konflik modern di Timur Tengah sudah melahirkan banyak “inovasi”, tumpukan kertas resolusi PBB yang berdebu, konferensi internasional yang lebih mahal dari konser Coldplay, dan tentu saja, meja perundingan yang makin menyerupai meja judi. Bedanya, taruhannya di sini bukan chip kasino, melainkan nyawa manusia.
Selasa (9/9), Doha, Qatar, menjadi panggung utama ironi ini. Kota kecil superkaya gas yang suka dipromosikan sebagai simbol stabilitas regional, mendadak menjadi set film distopia diplomatik. Sepuluh jet tempur Israel meluncur menuju gedung yang baru saja dipoles untuk… perundingan damai. Diplomasi dan bom seakan kini pasangan serasi, yang satu menandatangani resolusi, yang lain mengunci target dengan laser.
Perundingan Sebagai Pra-Syarat Serangan
Secara teori, negosiasi adalah pintu menuju perdamaian. Tapi di Doha kemarin, dalam praktiknya kini berubah menjadi gimmick pengalih perhatian. Bahkan perundingan itu lebih mirip perpanjangan waktu dalam pertandingan sepak bola, bukan untuk mengakhiri konflik, tapi hanya untuk menunda babak berikutnya.
Kesyahidan Sayyid Hassan Nasrallah pada 2024 jadi preseden pahit, Hizbullah diundang ke meja perundingan, dipastikan hadir, lalu digempur rudal. Rumusnya sederhana, murah, praktis, dan konon “pintar.” Tak perlu mengerahkan agen rahasia atau operasi intelijen berliku, cukup kirim undangan resmi dan biarkan misil yang akan menutup perundingan.
Apa yang terjadi di Doha hanya menambah babak dalam pola ini. Ironisnya, serangan itu terjadi di kota yang juga rumah bagi CENTCOM, sebuah markas utama militer AS di kawasan. Jadi, serangan ke meja perundingan di Qatar bukan hanya tamparan geopolitik, tapi juga parodi strategis. Lepas serangan, Trump bilang dengan suara enteng dan polos; “Saya tak tahu itu akan terjadi, tapi langkah bagus.” Ya, tentu saja, langkah bagus kalau yang duduk di meja bukan Anda.
Amerika Serikat, sang “Hansip Dunia” itu, semakin lihai memainkan tiga peran sekaligus, sebagai mediator, provokator, sekaligus komentator dadakan. Dalam kasus Doha, pemerintah Qatar mengaku baru dapat kabar dari Washington sepuluh menit setelah serangan dimulai. Seperti koordinasi ala aplikasi ojek online, meski terlambat tapi tetap menagih untuk diberi bintang lima.
Jika sekutu setia macam Qatar saja hanya dapat notifikasi push alert setelah bom jatuh, siapa yang bisa merasa aman? Dan kalau meja perundingan buatan Washington bisa dihantam di wilayah udaranya sendiri, masihkah ada arti dari “komitmen terhadap perdamaian”?
Jawabannya jelas, bahwa perdamaian akan menjadi penting, selama tidak mengganggu taktik dan kepentingan.
Baca juga : Kemandirian Ekonomi: Jalan Berliku Menuju Harga Diri Komunitas Ahlulbait Indonesia
Israel dan Hak Istimewa Menentukan Medan
Sisi lain, Tel Aviv bahkan sudah terang-terangan, bahwa mereka berhak menyerang negara mana pun di Timur Tengah kalau “dirasa perlu.” Ini bukan lagi soal doktrin pertahanan pre-emptive, melainkan lisensi imperial mikro-regional, kedaulatan hanya berlaku bila tidak bertabrakan dengan jalur terbang F-35.
Pesan dari serangan di Doha jelas, tak ada tempat yang netral. Bahkan negara yang sudah menormalisasi hubungan, menghadiahkan tanahnya untuk pangkalan asing, dan menyuplai bahan bakar ke armada sekutu tetap bisa kena serangan. Alasannya sederhana, karena meja perundingan dianggap terlalu penuh dengan tamu yang tak diinginkan.
Humor Gelap ala Politik Internasional
Jika sejarah punya selera humor, peristiwa ini akan tercatat sebagai komedi geopolitik terbesar paling memalukan dekade ini, negara yang memfasilitasi perdamaian berubah jadi panggung perang, perundingan dipakai sebagai umpan, dan aliansi dibayar dengan ledakan. Inggris pun ikut cameo, kapal tanker mereka terlihat menyuplai udara saat serangan, lalu perdana menterinya muncul mengutuk aksi tersebut. Diplomasi holografik, satu negara bisa berperan sebagai korban, pelaku, sekaligus komentator dalam satu adegan.
Kini meja perundingan sudah kehilangan statusnya sebagai ikon peradaban pasca-konflik. Ini terlalu berat untuk diangkat, terlalu rapuh untuk jadi tameng, dan terlalu besar untuk menghindar dari rudal berpemandu.
Siapa yang masih mau duduk di meja seperti itu?
Mungkin saja tidak ada. Dan justru di situlah kejujurannya, bahwa dunia bukan sedang mencari perdamaian, hanya mencari jeda taktis sebelum babak berikutnya.
Dan sejarah mungkin akan menulis, bahwa meja perundingan, pernah jadi simbol perdamaian, hingga akhirnya oleh AS dan Israel dipakai sebagai titik kordinat untuk target bidikan bom dan rudal. []
Baca juga : ABI Sudah Tembus Gaza, Mari Kita Ikuti Jejaknya
