Opini
Generasi Beta: Generasi yang Ingin Bertahan, Bukan Hanya untuk Ditoleransi
Refleksi tentang pentingnya kepercayaan sebagai fondasi keberlanjutan lintas generasi menuju era Generasi Beta. Gagasan di dalamnya lahir dari diskusi bersama kawan-kawan Himpunan Komunitas Peduli Ummat (HIKDMAT) pada malam peringatan ulang tahun ke-18 komunitas, Sabtu, 18 Oktober 2025, di Omah Emen, Bangsri.
Oleh: Muhlisin Turkan
Ahlulbait Indonesia, 24 Oktober 2025 — Generasi muda bukan beban yang menunggu giliran, melainkan kekuatan yang perlu dipercaya hari ini. Tanpa kepercayaan antargenerasi, bangsa kehilangan arah sekalipun memiliki banyak rencana.
Di tengah derasnya perubahan zaman, generasi muda berdiri di persimpangan sejarah. Mereka tumbuh dalam arus informasi yang melimpah, hidup di dunia yang terbuka, namun sering merasa terjebak dalam sistem yang tertutup. Mereka disebut “harapan bangsa”, tetapi kerap hanya diajak mendengar, bukan turut menentukan arah.
Ironisnya, di era keterbukaan, banyak anak muda justru merasa paling terasing. Mereka memiliki akses terhadap pengetahuan, teknologi, dan jejaring global, tetapi kehilangan sesuatu yang jauh lebih penting, yaitu kepercayaan.
Ketidakamanan yang Tak Terlihat
Ketidakamanan generasi tidak selalu hadir dalam bentuk kemiskinan atau ancaman fisik. Ini sering menjelma dalam bentuk yang lebih halus, perasaan bahwa keberadaan mereka tidak sungguh berarti dalam proses sosial.
Ketika suara mereka tak dihiraukan, ketika peluang terasa disusun tanpa mereka, timbullah rasa tidak diakui.
Dari sinilah lahir fenomena yang sering kita saksikan seperti apatisme, sinisme, atau kelelahan sosial yang pelan tapi nyata. Bukan karena mereka tidak peduli, melainkan karena mereka berhenti untuk berharap. Dan ketika sebuah generasi berhenti berharap, bangsa akan kehilangan salah satu sumber energi sosialnya yang paling vital.
Rasa kehilangan makna itu tidak selalu tampak. Rasa itu bisa hadir dalam bentuk diam yang panjang di ruang publik, di balik layar gawai, atau di tengah riuhnya kampanye pembangunan. Seperti api kecil yang meredup tanpa suara.
Rasa Memiliki sebagai Fondasi Keberlanjutan
Dalam literatur pembangunan, modal manusia sering dipuji sebagai aset utama bangsa. Namun, modal itu tidak akan berarti tanpa rasa memiliki antargenerasi, rasa bahwa yang muda dan yang tua bergerak dalam tujuan yang sama.
Rasa memiliki tumbuh ketika kaum muda tahu bahwa suara mereka didengar, keputusan mereka dihargai, dan kerja keras mereka diakui. Sebaliknya, ketika rasa ini hilang, kepercayaan ikut tergerus. Tidak ada rencana ekonomi atau kebudayaan yang cukup kokoh menahan keretakan sosial jika kepercayaan telah hilang dari dasarnya.
Bagi Indonesia yang tengah memanfaatkan bonus demografi, kepercayaan bukan hanya etika, tetapi juga infrastruktur sosial yang menentukan arah sejarah. Keberlanjutan bangsa tidak hanya bergantung pada kebijakan, melainkan pada ikatan psikologis antar generasi. Ketika generasi muda diberi ruang untuk berperan, mereka tidak hanya menjadi tenaga pembangunan, tetapi juga penjaga harapan. Namun, ketika mereka tersingkir dari ruang kepercayaan, yang tersisa hanyalah rutinitas tanpa arah dan kompas.
Paradoks Generasi Global
Kita hidup di masa yang paling tercerahkan, yaitu generasi muda kini lebih berpendidikan, lebih sadar, dan lebih terkoneksi daripada generasi mana pun sebelumnya. Namun, di tengah keunggulan itu, muncul paradoks yang mungkin menyakitkan, semakin banyak yang mereka tahu, semakin kecil rasa berdaya mereka terhadap sistem.
Mereka berdiri di persimpangan informasi, tetapi rambu-rambu kepercayaan belum jelas terlihat. Pengetahuan yang seharusnya menumbuhkan rasa berdaya justru berubah menjadi beban kesadaran. Mereka ingin berbuat, tetapi tak tahu dari mana harus memulai. Mereka ingin terlibat, tetapi tak merasakan ruang untuk melangkah.
Energi kreatif pun menumpuk tanpa saluran, berubah menjadi kelelahan kolektif. Dalam jangka panjang, stagnasi ini jauh lebih berbahaya daripada keterbelakangan, karena hal ini akan menggerogoti semangat, bukan kemampuannya.
Namun, di balik pergulatan ini, sejarah tidak berhenti pada generasi hari ini. Sebuah babak baru telah menunggu, Generasi Beta.
Baca juga : Peringatan Hari Santri dan Luka Santri: Saat Adab Diuji di Ruang Kaca Trans7
Menatap Generasi Beta: Bayangan Masa Depan
Di tengah dinamika generasi masa kini, hadir babak baru yang tengah menyiapkan panggungnya, yaitu Generasi Beta (2025–2039). Mereka sudah dan akan lahir di dunia yang sepenuhnya digital-native, sebuah generasi yang tidak mengenal masa tanpa teknologi. Bagi mereka, kecerdasan buatan (AI), realitas virtual (VR), dan otomatisasi bukan lagi alat, melainkan lingkungan hidup itu sendiri.
Kelompok ini tumbuh di tengah percepatan teknologi yang menyentuh hampir seluruh aspek kehidupan. Dilansir dari CNBC Indonesia (06/12/2024), Generasi Beta memiliki sejumlah ciri khas yang membedakannya dari generasi sebelumnya. Berikut tiga karakteristik utamanya:
Pertama, keterhubungan teknologi yang tinggi, hidup berdampingan dengan sistem pintar yang membentuk cara berpikir dan bekerja mereka.
Kedua, nilai keberagaman dan inklusivitas yang kuat, karena mereka tumbuh di tengah masyarakat global yang semakin majemuk.
Ketiga, kemampuan adaptasi luar biasa terhadap perubahan iklim, transformasi sosial, dan ketidakpastian ekonomi.
Namun, di balik potensi besar itu, tantangan mereka tidak ringan. Kecanduan teknologi dapat menggerus kesehatan mental, perubahan iklim mengancam ruang hidup yang mereka warisi, dan disrupsi ekonomi membuat masa depan kerja penuh ketidakpastian. Mereka adalah generasi yang mewarisi dunia yang lebih canggih, tetapi juga lebih rapuh.
Mereka mungkin lahir di dunia yang lebih pintar, tetapi apakah dunia itu juga akan lebih percaya? Karena itu, tugas generasi sekarang bukan hanya menyiapkan infrastruktur fisik, melainkan meninggalkan warisan kepercayaan. Generasi Beta hanya bisa tumbuh menjadi pelaku perubahan jika mereka lahir dalam ekosistem yang percaya pada kolaborasi, bukan dominasi.
Tanpa fondasi kepercayaan antargenerasi, teknologi secanggih apa pun tak akan melahirkan peradaban, justru hanya akan melahirkan kegaduhan digital.
Dari Partisipasi Simbolik ke Kemitraan Nyata
Membangun kembali kepercayaan antargenerasi tidak bisa hanya dilakukan lewat pidato atau simbol-simbol. Generasi muda tidak menghendaki perlakuan istimewa, tetapi mereka hanya menginginkan ruang yang wajar untuk dipercaya.
Kemitraan sejati dimulai ketika pengalaman dan keberanian berjalan berdampingan. Keterlibatan mereka tidak harus dimulai dari panggung besar. Mereka bisa lahir dari keputusan-keputusan kecil dan sederhana, misalnya melibatkan anak muda dalam penyusunan kebijakan lokal, memberi peran dalam riset sosial, atau dalam program komunitas yang memberi ruang belajar dari kesalahan.
Kepercayaan bukan hasil dari janji, melainkan dari pendelegasian tanggung jawab yang nyata. Dan tanggung jawab itu tidak menekan mereka, tetapi justru membuat mereka tumbuh.
Menulis Masa Depan Bersama
Masa depan bukanlah tanggal di kalender atau slogan pembangunan. Masa depan hadir setiap kali seorang anak muda merasa bahwa dirinya bisa, dan diizinkan ikut menentukan arah bangsanya. Selama keyakinan itu hidup, rasa aman sosial akan bertahan. Tetapi jika kepercayaan itu padam, yang tersisa hanyalah tatanan kosong tanpa jiwa.
Alih-alih terus membicarakan “generasi masa depan”, sudah waktunya bangsa Indonesia yang besar ini menulis masa depan bersama generasi masa kini, agar Generasi Beta nanti tidak tumbuh di tanah yang retak. Keberlanjutan sejati bukan tentang menggantikan yang lama dengan yang baru, melainkan tentang membangun jembatan antara pengalaman dan visi.
Itulah makna regenerasi yang sesungguhnya, yakni sebuah proses saling mempercayai, bukan saling menyingkirkan.
Epilog
Bangsa tidak akan runtuh karena kehilangan sumber daya, melainkan karena putusnya kepercayaan antar generasinya. Jika yang muda merasa tak dipercaya dan yang tua merasa tak dibutuhkan, maka jurang di antara keduanya akan menjadi retakan sejarah.
Namun, selama masih ada ruang untuk percaya, selalu ada alasan untuk bertahan. Generasi yang ingin bertahan hidup tidak menunggu untuk diakui, mereka menunggu untuk dipercaya. Dan di sanalah, di titik perjumpaan antara pengalaman dan harapan, sebuah bangsa menemukan makna kelahirannya kembali. []
Baca juga : Ponsel: Teman Setia atau Saingan Keluarga?
