Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Haidar Ali Aljufri: Menyemai Kemanusiaan di Tengah Kemajuan

Haidar Ali Aljufri: Menyemai Kemanusiaan di Tengah Kemajuan

Ahlulbait Indonesia, 29 Oktober 2025 — Bagi Haidar Ali Aljufri, kader ABI asal Solo, Sumpah Pemuda bukanlah event seremoni tahunan. Dia memaknainya sebagai panggilan untuk merawat nilai kemanusiaan di tengah derasnya arus modernitas. Dan pada Selasa, 28 Oktober 2025, Media ABI berkesempatan mewawancarai sosok muda yang menolak dikotomi antara kemajuan dan nilai-nilai kemanusiaan, baginya, keduanya justru harus berjalan seiring.

Suara Haidar terdengar seperti jeda yang menenangkan. Dia berbicara pelan, namun setiap katanya mengandung bobot, bukan karena kerasnya suara, melainkan karena ketulusannya.

Haidar tidak menolak kemajuan, justru mendukungnya penuh semangat. Namun baginya, kemajuan tanpa kemanusiaan hanyalah bangunan tinggi tanpa penghuni. Dia ingin melihat Indonesia tumbuh bukan hanya dalam angka ekonomi, tapi juga dalam moral, empati, dan keadilan.

Bangsa yang Maju Secara Moral dan Adab

“Saya berharap Indonesia menjadi bangsa yang adil, beradab, dan maju, bukan hanya secara teknologi, tapi juga secara moral dan ilmu,” katanya lembut tapi tegas.

Bagi Haidar, kemajuan sejati diukur bukan dari megahnya infrastruktur, tapi dari integritas warganya. “Pemuda hari ini harus menegakkan nilai kejujuran dan empati. Tanpa itu, semua kemajuan akan hampa.”

Dia percaya, akar masalah bangsa ini bukan pada kurangnya sumber daya, tapi pada hilangnya nurani. “Kemajuan bukan soal seberapa cepat kita berlari, tapi seberapa manusiawi kita melangkah.”

Ketika Citra Menggantikan Cinta

Haidar menyoroti budaya pencitraan yang menguasai ruang publik. “Kita hidup di zaman di mana politik menjadi panggung sandiwara,” katanya. “Banyak orang berbicara tentang kebaikan hanya untuk didengar, bukan untuk dijalankan.”

Dia mengingatkan generasi muda untuk tidak hanyut dalam arus viralitas. “Tidak semua yang ramai itu penting, dan tidak semua yang penting itu ramai.”

Menurutnya, pemuda harus menilai pemimpin dari gagasannya, bukan popularitasnya. Ruang publik perlu diisi dengan pemikiran jernih, bukan sekadar penampilan palsu.

Baca juga : IKO dan Refleksi DPW ABI DKI Jakarta: Membangun Ormas Berdaya, Akuntabel, dan Bermartabat

Pendidikan yang Menumbuhkan Jiwa

Ketika berbicara tentang pendidikan, mata Haidar berbinar. “Pendidikan kita terlalu sering berhenti di kepala, padahal seharusnya sampai ke hati,” ujarnya.

Dia menolak sistem pendidikan yang hanya mencetak lulusan tanpa menanamkan tanggung jawab. “Kita butuh pendidikan yang menumbuhkan manusia, bukan sekadar mencetak tenaga kerja.”

Haidar juga menegaskan pentingnya literasi digital yang beretika. “Teknologi adalah alat, bukan arah. Arah itu harus datang dari nilai.”

Meneladani Ahlul Bait: Cinta dan Keadilan

Sebagai pemuda Syiah, Haidar meneladani semangat Ahlul Bait melalui tindakan nyata. “Teladan mereka bukan hanya dalam ibadah, tapi dalam memperlakukan manusia dengan cinta, keberanian, dan keadilan,” ujarnya.

Dia menekankan bahwa pemuda Syiah harus menjadi jembatan persaudaraan, bukan tembok perbedaan. “Kalau kita ingin bangsa ini kuat, kita harus belajar mencintai lagi, cinta yang melahirkan keadilan.”

Menyemai Harapan

Di akhir pembicaraan, Haidar menatap jauh ke depan. “Kita semua sedang menanam benih. Mungkin tidak semua akan melihat hasilnya, tapi tugas kita adalah menanam dengan keyakinan bahwa Indonesia akan tumbuh menjadi bangsa yang beradab.”

Dan ketika dia tersenyum, kalimatnya menutup dengan ketenangan:

“Bangsa ini tidak butuh orang yang paling cepat, tapi orang yang paling sadar ke mana dia melangkah.” []

Baca juga : Musa Kadzim Musawa: Membangun Indonesia dari Integritas dan Pikiran yang Jernih