Ikuti Kami Di Medsos

Opini

Hijab: Gaya Hidup Kesadaran, Bukan Seragam

Hijab: Gaya Hidup Kesadaran, Bukan Seragam

Oleh: Uma Faza

Ahlulbait Indonesia — Di dunia yang kian gemar menilai manusia dari permukaan, ada bentuk kebebasan yang justru lahir dari kesediaan untuk menutup sebagian diri. Hijab, dalam makna terdalamnya, bukan semata batas visual, melainkan ruang reflektif, cara seseorang berbicara lembut kepada dirinya sendiri: “Aku yang menentukan bagaimana dunia memandangku.”

Hijab kini tak lagi dipahami sebagai seragam, melainkan sebagai manifestasi kesadaran, tenang, berakar, dan berwibawa. Hijab bukan kain yang memisahkan, tetapi bahasa sunyi tentang penghormatan terhadap diri. Di tengah budaya yang menjadikan citra sebagai ukuran nilai, hijab hadir sebagai pernyataan lembut bahwa keindahan sejati tidak selalu perlu diperlihatkan.

Ironisnya, di tengah wacana global tentang tubuh dan kebebasan, hijab sering kali disalahpahami. Bagi sebagian orang, ihijab dianggap simbol moralitas atau bahkan ideologi. Padahal jauh sebelum agama menegaskannya, menutup diri adalah naluri purba manusia, sebuah dorongan alami untuk menjaga yang berharga dari tatapan umum.

Jika dilihat dari akar kemanusiaannya, hijab bukanlah semata-mata praktik religius, melainkan bahasa universal tentang martabat, kesadaran, dan kendali diri. Sebuah kebebasan yang berakar pada pilihan sadar, bukan pada tekanan sosial.

Menemukan Makna Lama di Zaman Baru

Sejak awal sejarah, manusia berbusana bukan hanya untuk melindungi tubuh, tetapi untuk menegaskan nilai, martabat, dan identitas. Dalam peradaban mana pun, dari Persia hingga Nusantara, dari Yunani hingga Arab, kesopanan selalu dimaknai sebagai keindahan batin, bukan semata aturan sosial. Kesederhanaan, dalam bentuk apa pun, adalah cermin penghormatan terhadap diri sendiri sekaligus pengakuan atas kehormatan orang lain.

Namun kini, nilai-nilai itu tengah diuji oleh badai budaya modern. Media sosial, iklan, dan industri mode global menjadikan tubuh manusia sebagai etalase tak berujung, sebuah tempat citra yang dijajakan dan makna keindahan perlahan mengabur.

Di tengah arus yang menuntut keterbukaan tanpa batas, hijab, atau bentuk apa pun dari kesederhanaan menjadi perlawanan yang sunyi namun tegas. Hijab tidak menolak kemajuan, tetapi mengingatkan bahwa tidak semua yang terbuka berarti bebas, dan tidak semua yang tertutup berarti terbelenggu.

Dalam kebudayaan yang semakin menilai manusia dari tampilan luar, hijab hadir sebagai bisikan lembut bagi kesadaran modern, bahwa nilai sejati seseorang tidak ditentukan oleh sejauh apa ia terlihat, melainkan oleh seberapa dalam manusia mengenal dirinya.

Baca juga : Memento Mori: Refleksi Organisasi

Membumikan Kembali Nilai Kesederhanaan

Generasi muda hari ini tumbuh di tengah dunia yang serba cepat dan terbuka, dunia yang sering menafsirkan kebebasan sebagai hak untuk menampilkan segalanya. Sebuah zaman yang, dalam penggalan doa Iftitah, disebut “Tadhahur Zaman”, masa yang menipu dengan gemerlapnya, memperlihatkan banyak hal namun menyembunyikan makna.

Namun kebebasan sejati tak pernah lahir dari kepenuhan tampilan, melainkan dari kejernihan kesadaran,  kesadaran akan batas, kehormatan, dan kebijaksanaan dalam memilih.

Memperkenalkan makna hijab di era ini tidak lagi cukup dilakukan melalui perintah atau larangan. Bahasanya harus bergeser, dari nada normatif menuju nada dialogis. Kita tidak sedang membicarakan aturan, melainkan kesadaran; bukan tentang kepatuhan, melainkan penghormatan terhadap diri sendiri.

Seni, film, dan budaya digital kini membuka jalan baru untuk menghidupkan kembali nilai lama dalam bahasa zaman. Tokoh perempuan tangguh dalam film, figur publik yang memilih kesederhanaan di tengah sorotan, hingga desainer yang memadukan estetika dengan etika, semua menjadi penanda bahwa menutup diri bukan berarti menolak dunia, melainkan cara menaklukkannya dengan ketenangan dan kendali.

Keberagaman sebagai Keindahan

Kesalahan terbesar dalam memahami nilai spiritual adalah ketika dikurung dalam satu bentuk tunggal. Padahal, justru keberagamanlah yang memberi napas bagi makna dan menjaganya tetap hidup di setiap zaman.

Hijab tidak harus hadir dalam satu rupa, warna, atau potongan. Hijab bisa menjelma menjadi selendang lembut yang menjuntai di bahu, abaya yang anggun, atau mantel modern yang meneduhkan pandangan. Selama esensinya tetap terjaga, yakni penghormatan terhadap diri dan kesadaran akan nilai, keberagaman bentuk bukan penyimpangan, melainkan perayaan keindahan itu sendiri.

Keberagaman bukanlah kompromi terhadap nilai, melainkan cara nilai itu bertahan, menyesuaikan diri tanpa kehilangan jati. Di sinilah letak keabadian makna hijab: tidak membeku di masa lalu, tetapi terus berevolusi, menemukan wajah barunya di setiap budaya dan generasi.

Dari Kepatuhan ke Pemahaman

Kesadaran tidak selalu tumbuh dari perintah; bahkan sering kali,  bersemi dari pemahaman. Itulah sebabnya, mendekati generasi muda dengan dogma tidak lagi efektif. Mereka bukan menolak nilai, melainkan menolak cara nilai itu disampaikan.

Ruang dialog yang terbuka, diskusi kreatif, dan lokakarya reflektif jauh lebih bermakna dibandingkan instruksi satu arah. Ketika seseorang memilih untuk berhijab, atau berpakaian dengan kesadaran, sesungguhnya seseorang sedang menempuh perjalanan batin, sebuah perjalanan mencari keseimbangan antara kebebasan dan kedalaman.

Pilihan seperti ini tidak dapat dipaksakan, karena lahir dari pemahaman yang matang, bahwa tubuh bukan hanya tampilan, melainkan pernyataan diri. Sebuah wilayah yang patut dihormati, dijaga, dan dimuliakan.

Menjaga Keindahan dari Dalam

Hijab, atau nilai kesederhanaan dalam bentuk apa pun, adalah cara manusia menjaga keindahan dari dalam. Hijab bukan tirai pemisah, melainkan cermin yang memantulkan kehormatan. Hijab tidak lahir dari rasa takut, tetapi dari rasa hormat terhadap martabat diri.

Dalam dunia yang terus menuntut untuk dilihat, hijab mengingatkan kita bahwa sebagian keindahan justru hidup dalam hal-hal yang tidak ditampakkan. Hijab mengajarkan keseimbangan antara keinginan untuk terlihat dan kebutuhan untuk tetap memiliki ruang pribadi.

Mungkin di situlah keindahan manusia berawal, ketika seseorang memilih kesadaran, bukan semata penampilan. []

Baca juga : Dua Pikiran di Meja Makan Trump